Lansia
Baru di Era Digital Lilis Heri Mis Cicih ; Pengajar di
FEB UI, Peneliti Senior di Lembaga Demografi, dan Pengajar di FKM UMHT |
KOMPAS, 06 Juni 2021
Digitalisasi sedang
melanda berbagai wilayah di dunia, dan juga semua golongan. Apalagi saat
pandemi Covid-19, dengan adanya pembatasan sosial mendorong setiap orang
untuk menggunakannya di berbagai bidang kehidupan. Tidak hanya digunakan
untuk komunikasi, pertemuan, tetapi juga untuk keperluan belanja, konsultasi
medis, dan juga teknologi finansial atau fintech. Kondisi seperti ini
memerlukan kemampuan untuk mengoperasikannya, selain juga harus memiliki
alatnya. Suatu tantangan besar bagi negara kita, apakah ini sudah dapat
diakses semua orang? Termasuk oleh warga lanjut usia (lansia). Bagaimana era
digital ini dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mewujudkan kelanjutusiaan
sehat pada Decade of Healthy Ageing 2021-2030? Pada 10 tahun ini,
berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkannya, dengan sasaran bukan
semata kepada lansia, juga generasi calon lansia. Meningkatkan pemahaman
generasi muda untuk mempersiapkan diri menjadi lansia masa depan yang lebih
sehat, berpendidikan, dan didukung literasi teknologi digital. Wawasan ke depan, bahwa
lansia harus lebih maju dibanding lansia saat ini. Konsep the new old age
yang sudah lebih dari 20 tahun didengungkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO)
perlu dipromosikan kembali. Untuk mencapainya perlu terobosan-terobosan dan
komitmen dari berbagai pihak terkait, dan menjadi suatu keharusan yang tidak
bisa ditunda-tunda lagi. Era pandemi seperti ini
selayaknya dapat dimaknai sebagai momentum untuk peningkatan kualitas hidup
lansia melalui penguasaan teknologi digital. Sehingga, lansia masih bisa beraktivitas,
berkomunikasi dengan keluarganya, kerabat, dan terhindar dari rasa kesepian
(gangguan psikis) lainnya. Seperti diketahui, pandemi
berdampak pada berbagai aspek kehidupan lansia. Dari hasil penelitian penulis
tahun 2020, lansia yang kehilangan pendapatan di atas 50 persen sebanyak 40,5
persen. Selain itu, menurunnya hubungan sosial (52 persen), dan 53,4 persen
merasa khawatir akan situasi yang terjadi. Bahkan dari data
Kementerian Kesehatan, lansia terutama dengan komorbid (penyakit penyerta),
merupakan kelompok yang paling berisiko kematian terkait Covid-19. Suatu
tantangan untuk mengatasinya, sehingga lansia terhindar dari semua itu,
minimal melalui penggunaan teknologi digital. Sayangnya lansia Indonesia
kondisinya mengkhawatirkan karena masih banyak yang tergolong sosial ekonomi
rendah. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, tingkat pendidikan lansia
masih didominasi rata-rata sekolah hanya sampai kelas lima SD (67,51 persen).
Umumnya mereka berada pada kelompok ekonomi 40 persen terbawah (59,24
persen). Akses terhadap teknologi
informasi dan komunikasi telepon genggam (46,68 persen), internet (11,44
persen), dan hanya sedikit sekali yang menggunakan komputer (1,47 persen).
Artinya literasi digital lansia masih cukup rendah. Kelompok ini perlu
mendapat perhatian dengan memberikan kesempatan yang sama untuk
memanfaatkannya. Apalagi jika mengacu pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDGs) dengan prinsip tak meninggalkan satu orang pun (leave no one behind). Perubahan
paradigma Langkah untuk memanfaatkan
momentum ini salah satunya melalui perubahan paradigma terkait lansia. Sampai
saat ini masih berkembang persepsi salah terhadap lansia, dengan menganggap
mereka sebagai beban. Juga terjadi pengucilan sosial, dan berkembangnya
ageism (tindakan yang berupa stereotip, prasangka, dan diskriminasi terhadap
lansia). Bahkan disinyalir tindakan tersebut cenderung meningkat saat pandemi
ini. Kejadian ini tidak
terlepas dari orang yang dekat dengan lansia, misal pasangan, anak, menantu,
cucu, atau pendampingnya. Sehingga perlu peningkatan pemahaman terkait
lansia, bahwa mereka masih berharga, bukan hanya tinggal menunggu giliran
dipanggil Tuhan. Mereka yang sehat masih berharga di dalam keluarga,
pekerjaan sukarela, bisnis, politik, atau berbagi pengalamannya yang berharga
untuk generasi muda. Hal lain yang penting
dalam kehidupan lansia adalah hubungan antar generasi yang harmonis. Jika
tidak harmonis, adanya perbedaan kohor kelahiran dapat menyebabkan konflik,
dan komunikasi yang tidak lancar. Terkait dengan pemanfaatan
teknologi, harapannya generasi muda dapat menjadi mitra. Umumnya lansia masih
banyak yang “gaptek” karena tingkat pendidikannya rendah. Mereka yang lebih
muda dapat memberikan bantuan cara menggunakan teknologi digital, dan kemudahan
mengaksesnya. Di sisi lain, pemerintah juga perlu upaya untuk peningkatan
mutu jaringan, sehingga semua wilayah dapat mengakses teknologi digital
dengan baik. Memiliki literasi digital
dan akses terhadap teknologi merupakan keharusan dan tidak bisa ditunda. Ini
juga hal yang sangat diperlukan terutama jika ingin mencapai 5.0 society.
Saat ini Jepang sedang mengupayakan ke arah itu. Pada era ini, teknologi
digital diaplikasikan dan berpusat pada kehidupan manusia. Setiap orang
termasuk lansia diharapkan dapat bertransformasi mengaksesnya sehingga
memudahkan dalam berinteraksi dan melakukan kegiatan sehari-hari. Jika melihat kondisi
negara kita yang sedang mengupayakan industri 4.0, tentunya ini merupakan
tantangan yang cukup besar. Persoalan kepemilikan, dan akses terhadap
teknologi digital seiring dengan adanya ketimpangan (pendapatan, desa-kota,
jender) perlu ditangani dengan baik oleh pemerintah. Harmonisasi antara pusat
dan daerah suatu hal yang menjadi keharusan, dan perlu implementasi nyata
dalam menyelesaikan persoalan tersebut. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar