Berbagi
Kasih Jean Couteau ; Penulis kolom “UDAR RASA”
Kompas Minggu |
KOMPAS, 06 Juni 2021
Pagi ini, entah kenapa aku
teringat pengalamanku, sembilan tahun yang lalu, di kuburan yang secara khusus aku
datangi. Waktu itu, tepat di
belakang gereja tua Mouzillon, desa Perancis nun jauh di Barat sana. Di desa
itu makam-makam berderet, keluarga demi keluarga, dari tanggal kematian yang
satu ke tanggal kematian yang lain, dari salib yang satu ke salib yang lain,
dari onggokan berumput kering ke makam bermarmer megah. Di antara makam itu
aku mencari dia, ya dia itu, yang dulu
menyediakan bahu untukku menangis, ketika teriakan-teriakan skizofrenia kakak
meraung-raung mengisi kesunyian pagi dan kegelapan malamku. Ya, sembilan
tahun lalu itu, aku mencari makam ibu pengasuh kami yang miskin harta, namun
kaya hati. Si Mbok kata orang
sini, yang mengajarkan aku menanjak
dewasa. Kuburan itu pasti masih
ada di sini, aku yakin. Maka di
gang-gang kuburan negeriku, dengan seikat bunga di genggaman tangan, aku berjalan merunduk-runduk, lama
berputar-putar, mencari-cari kuburan
itu, demi masa lalu, demi tak lagi mempertanyakan makna. Namun aku sial. Kuburan
bertuliskan: "Bahuaud" –Bao bagiku--yang khusus aku datangi untuk meratapinya, juga
dengan angka tahun 1899-1962 diterakan di batu nisannya, tidak
kutemukan. Tidak ada waktu mencarinya
lebih lama. Kereta api ke Paris dan pesawat terbang ke Jakarta tak akan
menungguku. Aku gundah, air mata berlinang, dan bergegas menuju gerbang. Tiba-tiba di pojok timur, aku melihat satu
makam berbeda: sebuah batu nisan Islam dengan foto orang hitam. Ini tanda
orang “lain” telah lama hadir di negeri kelahiranku. Kini berselang sembilan
tahun aku teringat kenangan itu semua. Lalu
kuingat lagi “Bao”, sekitar
tahun 1965. Bao dan orang hitam. Pada
waktu itu, ayahku, dokter hewan di kota Clisson, harus menjalankan kampanye
tahunan untuk penyuntikan sapi di seluruh daerah, yang konon terancam
penyakit “Tangan, Kaki dan Mulut”. Jumlah hewan yang harus disuntik puluhan
ribu. Maka untuk itu dia membutuhkan asisten, yang biasanya dicarinya di
sekolah tinggi kedokteran hewan di dekat Paris. Setiap tahun sekolah itu
mengirim seorang dokter hewan muda yang perlu praktik. Tetapi, tahun 1965
itu, dokter muda yang dikirim sedikit “berbeda”: dia adalah orang “hitam”,
orang Afrika dari negara Mali, negeri
bekas jajahan Perancis. Dia akan tinggal di sayap khusus rumah besar
keluargaku. Namun, dia akan datang ketika keluarga kami di luar daerah. Maka,
selama beberapa hari dia akan ditangani oleh
“Bao”, Si Mbok tua yang baik itu. Namun benak Mbok Bao itu,
yang janda perang berijazah SD saja, tidak dipenuhi impian manis
universalisme Perancis; lebih diisi cerita Tarzan dan berita misionaris yang
disantap orang tak beradab berkulit hitam menakutkan. Mendengar bahwa dia
harus melayani dokter hewan seperti itu, yaitu “hitam”, Bao kontan menghadap
ibuku dan berkata: “Maaf Nyonya, aku takut. Lebih baik aku meletakkan
jabatan." "Okay," sahut
ibuku kaget, "kalau mau berhenti, berhentilah, tetapi kasih tahu padanya
paviliun tempat tinggalnya. Baru boleh atur semua dengan sekretaris
Bapak...." Tiba harinya untuk
menyambut si dokter hewan “hitam” itu. Hari itu berlalu, kami tak mendapat
berita. Hari kedua, melihat belum ada berita juga, ibuku menelepon untuk
mengetahui bagaimana sambutan si “hitam” itu. Tahu-tahu yang mengangkat
adalah Simbok Bao, yang bahkan sebelum ditanya sudah langsung berkata: “Maaf,
Nyonya, ternyata si Daouda –itu namanya—adalah seperti seorang santo.” Ajaib,
kan! Bao kemudian tetap menjadi
sahabat Daouda sampai ajalnya. Ternyata prasangka rasial dan etnis wong cilik
yang baik bisa menghilang di hadapan senyuman orang yang baik hatinya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar