Kembalinya
Peran Regional Mesir Pasca-Perang Gaza Musthafa Abd Rahman ; Wartawan
Kompas di Kairo, Mesir |
KOMPAS, 04 Juni 2021
Perang Gaza selama 11 hari
dari 10 Mei hingga 20 Mei 2021 telah mengantarkan Mesir ke posisi peran
regionalnya yang alami, yakni sebagai pemimpin di dunia Arab. Mesir dalam
sejarah modern Arab tercatat sebagai negara yang memimpin dan memiliki
pengaruh kuat di kawasan. Mesir dengan penduduk
sekitar 101 juta jiwa, negara Arab terbesar dalam jumlah penduduk, senantiasa
memainkan peran kunci dalam semua isu Arab, khususnya isu Palestina, sejak
era Presiden Gamal Abdel Nassser sampai saat ini. Secara geografis, posisi
Mesir berada di tengah atau pusaran dunia Arab. Markas besar Liga Arab pun
berada di Kairo yang menunjukkan peran sentral Mesir. Namun, musim semi Arab
2010-2011 yang menggulingkan rezim Presiden Hosni Mubarak dan lalu kesibukan
Mesir menata situasi dalam negeri, membuat negeri itu banyak kehilangan peran
baik di regional maupun internasional. Pemerintah Presiden Mesir
Abdel Fatah el-Sisi cukup cerdik memanfaatkan momentum perang Gaza untuk
mengembalikan peran regional Mesir yang
melorot selama hampir 10 tahun terakhir. Keberhasilan Presiden El-Sisi
menciptakan stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan di dalam negeri Mesir,
membuka peluang Mesir mengembalikan peran regionalnya. Perang Gaza seperti puncak
momentum bagi Mesir untuk mengembalikan peran regionalnya secara maksimal.
Negara ini segera menyadari bahwa dalam konteks Perang Gaza, mereka memiliki
semua kelebihan yang tidak dimiliki negara lain. Mesir memiliki hubungan
diplomatik dengan Israel sejak perjanjian damai Israel-Mesir di Camp David
tahun 1979. Ini membuat mereka bisa melakukan komunikasi langsung dengan
Israel. Mesir juga menjalin
hubungan baik dengan Hamas dan faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza, lantaran
wilayah ini secara tradisional berada di bawah pengaruh Mesir, karena faktor
geografis dan sejarah. Secara geografis, Mesir
adalah tetangga langsung Jalur Gaza. Wilayah negara ini juga merupakan
satu-satunya akses darat dari Jalur Gaza ke dunia Arab. Secara historis,
Jalur Gaza sebelum perang Arab-Israel tahun 1967, berada di bawah ororitas
Mesir. Karena itu, Jalur Gaza
sangat tergantung kepada Mesir. Hal ini dipahami secara baik oleh Hamas dan
faksi-faksi Palestina lainnya di Jalur Gaza. Semua kelebihan tersebut
dimainkan secara cantik oleh Mesir pada saat perang Gaza lalu. Masyarakat
internasional pun memahami kelebihan negara itu. Maka, mereka sejak awal
meletusnya perang Gaza, langsung melakukan aktivitas lobi dengan Israel
maupun Hamas untuk upaya gencatan senjata. Hanya Mesir yang bisa
melakukan komunikasi dua arah sekaligus dengan Israel dan Hamas itu. AS punya
pengaruh sangat kuat atas Israel namun mereka tidak bisa berkomunikasi
langsung dengan Hamas. Qatar punya pengaruh kuat atas Hamas, tetapi tidak
bisa berkomunikasi langsung dengan Israel, karena negara itu tidak memiliki
hubungan diplomatik dengan Israel. Isu gencatan senjata itu
menjadi titik temu kepentingan Mesir dengan masyarakat internasional,
khususnya AS. Inilah awal kisah banyak
pemimpin internasional segera melakukan komunikasi dengan Presiden El-Sisi
membahas isu gencatan senjata di Jalur Gaza. Posisi Mesir segera menjadi
sangat penting di mata internasional. Inilah kemenangan dan
sekaligus keuntungan politik yang langsung diraih Mesir dari perang Gaza.
Namun, yang terpenting bagi Mesir adalah komunikasi langsung Presiden AS Joe
Biden dengan Presiden El-Sisi soal isu gencatan senjata di Jalur Gaza.
Presiden Biden menelepon Presiden El-Sisi pada 24 Mei lalu membahas gencatan
senjata di Jalur Gaza dan menyampaikan terima kasih atas jasa Mesir yang
turut berandil mewujudkannya. Kemudian, Menteri Luar
Negari AS Antony Blinken juga singgah di Kairo pada 26 Mei lalu dalam
lawatannya ke Timur Tengah yang meliputi Israel, wilayah Palestina, dan
Jordania. Disini terlihat betapa AS menjadi sangat butuh Mesir. Mesir sempat khawatir
Presiden Biden akan mengabaikan mereka, setelah negara itu mendapat posisi
khusus pada era Presiden Donald Trump. Bahkan Presiden Trump mengundang
Presiden El-Sisi berkunjung ke Washington DC
pada April 2019. Apalagi, pemerintah
Presiden Biden sering mengangkat isu HAM dalam hubungan internasionalnya. Isu
HAM sering menjadi sasaran kritik oleh media Barat terhadap pemerintah Mesir
terakhir ini. Namun, komunikasi langsung Biden dan El-Sisi cukup mencairkan
rasa khawatir Mesir tersebut. Mesir saat ini sangat
butuh dukungan AS dan masyarakat internasional untuk kepentingan keamanan
nasional mereka di ranah regional, khususnya terkait isu bendungan GERD
(Grand Ethiopian Renaissance Dam). Mesir kini tampak menghendaki
keberhasilannya mewujudkan gencatan senjata di Jalur Gaza yang menjadi kepentingan
AS dan masyarakat internasional, dengan imbalan AS dan masyarakat
internasional mendukung sikap Mesir dalam isu GERD. Apalagi, isu GERD saat ini
sedang dalam masa genting karena Etiopia bersikeras melakukan pengisian air
tahap kedua bendungan tersebut pada bulan Juli nanti. Jika Etiopia
melaksanakan pengisian air tahap kedua, pasti akan mengurangi kuantitas debit
aliran sungai Nil dari Etiopia ke Sudan dan Mesir. Ini yang akan dicegah
Mesir dan Sudan. Kedua negara bersikeras ada perjanjian yang mengikat antara
mereka dan Sudan soal mekanisme pengisian air bendungan tahap kedua itu
sebelum pelaksanaan pengisian air. Dalam konteks ini, Mesir telah meminta AS
turun tangan menekan Etiopia agar bersedia mencapai kesepakatan tentang
mekanisme pengisian air bendungan tahap kedua itu. Oleh karena itu, Mesir
akan terus meningkatkan pengaruhnya dalam isu Palestina agar nilai
strategisnya di mata regional maupun internasional semakin kuat, sehingga
kepentingan regional Mesir bisa diakomodasi oleh masyarakat internasional. Dalam upaya meningkatkan
pengaruhnya atas isu Palestina itu, Mesir menyampaikan undangan kepada semua
faksi Palestina untuk menggelar pertemuan di Kairo pekan depan, membahas
tentang pentingnya menjaga gencatan senjata di Jalur Gaza dan upaya
rekonsiliasi Hamas-Fatah serta isu pembentukan pemerintah persatuan nasional
Palestina. Negara itu juga sedang
berusaha menggelar lagi perundingan damai Israel-Palestina yang macet total
sejak 2014. Mereka juga menyatakan siap menjadi tuan rumah konferensi
internasional tentang pembangunan kembali Jalur Gaza dan proses perdamaian
Timur Tengah. Sebelumnya pada 19 Mei
lalu, Presiden El-Sisi mengumumkan, negaranya akan menyalurkan dana 500 juta
dollar AS untuk proyek pembangunan kembali Jalur Gaza. Pada saat perang Gaza
berkecamuk, mereka membuka pintu gerbang Rafah antara Jalur Gaza dan Mesir
untuk evakuasi korban luka-luka. Mesir sedikitnya
mengerahkan 50 mobil ambulans ke pintu gerbang Rafah untuk mengevakuasi
korban luka-luka. Pemerintah negara itu juga menyediakan 11 rumah sakit di
berbagai kota untuk menampung korban luka-luka. Mesir melakukan semua itu
untuk Jalur Gaza, di tengah kebutuhan dana negara itu untuk pembangunan
ekonomi, terutama pembangunan megaproyek ibu kota baru. Itulah harga politik
yang Mesir telah bersedia membayarnya,
demi kembalinya peran regional Mesir dan terakomodasinya kepentingan nasional
Mesir, khususnya isu GERD. Mesir melihat isu GERD
sebagai pertarungan hidup-mati, karena air sungai Nil bagi rakyat Mesir
adalah sumber kehidupan sejak era Mesir kuno sampai saat ini. Di sini bisa
dipahami, salah satu faktor di balik Mesir ingin mengembalikan peran
regionalnya, khususnya lewat pintu isu Palestina. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar