Parodi:
Rumah Sakit Samuel Mulia ; Penulis Kolom
“PARODI” Kompas Minggu |
KOMPAS, 9 Mei 2021
Belakangan, tepatnya sepanjang minggu
terakhir Maret sampai koran ini tiba di tangan Anda, saya sudah mondar-mandir
ke rumah sakit seperti seringnya saya masuk-keluar mal. Kondisi kesehatan
sayalah yang telah membuat rumah sakit menjadi tujuan ”wisata”, sejak
larangan mudik diberlakukan. Hasil
lab dan siapa saya Rumah sakit. Sebuah istilah yang selalu
membuat saya keder. Meski saya sudah mondar-mandir, bolak-balik ke tempat
ini, selalu denyut jantung bertambah. Itu telah terbukti setiap kali
memeriksa tekanan darah sebelum saya menghadap dokter. Demikian juga dengan kadar gula darah.
Karena saya harus memonitor kondisi gula darah saya, maka di mana pun saya
berada, saya selalu siap dengan alat kecil nan praktis untuk memonitornya. Termasuk di lokasi bernama rumah sakit.
Sudah dapat saya pastikan gula darah saya melonjak kalau sudah berada di
rumah sakit. Semua karena saya stres. Di rumah sakitlah saya berpikir tentang
kematian, kelumpuhan, soal kanker, soal penyakit mematikan, atau yang akan
mengantar masa tua saya dengan banyak masalah. Belum lagi kalau sudah
mengambil hasil laboratorium. Badan rasanya lemas, jantung berdetak kencang.
Persis seperti sedang menunggu hasil pengumuman ujian. Lulus atau tidak.
Kalau lulus, lulusnya seperti apa? Seperti biasa, saya hanya deg-degan kalau
sedang mengambil hasilnya. Tetapi, sebelum semua terjadi, sebelum dilakukan
pemeriksaan darah, saya hidup seenaknya sendiri. Hasil laboratorium bukanlah
sekadar memberi gambaran pasti soal keadaan kesehatan saya, tetapi bagaimana
saya mengelola hidup saya selama ini. Bagaimana saya melihat penting atau
tidaknya saya mencintai diri sendiri. Hasil laboratorium merupakan gambaran
pasti saya itu orangnya seperti apa. Bayangkan, untuk mengelola kesehatan
saja saya enggak peduli, bisakah Anda membayangkan apa lagi yang akan saya
prioritaskan untuk dipedulikan kalau hidup sehat yang diimpikan banyak orang
saja saya enggak merasa penting? Saya merasa penting dan kemudian merasa
ditampar kalau dokter sudah mengatakan ini dan itu. Kemungkinan-kemungkinan
yang akan saya alami. Nah, kalau sudah begitu, dalam waktu beberapa bulan
saya bisa seperti manusia yang sangat memedulikan kesehatan saya. Tetapi
hanya untuk beberapa bulan saja, ketika saya melihat hasil laboratorium saya
sudah membaik. Ruang
VIP Dalam masa bolak-balik ke tujuan ”wisata”
itu, saya sempat harus melakukan operasi kecil. Dengan demikian, saya harus
opname di rumah sakit. Setelah sekian belas tahun sejak saya melakukan
transplantasi ginjal, saya tak pernah lagi menginap di rumah sakit. Hari itu, saat harus terbaring sebelum dan
sesudah operasi, saya merasa bahwa rumah ini memang pantas disebut rumah
sakit. Bukan hanya semata-mata untuk menampung orang sakit, tetapi telah
membuat saya sakit secara pikiran. Saya boleh saja berbaring di kamar untuk
para very important person, saya boleh saja memiliki kamar dengan pemandangan
yang sedikit lebih baik, pendingin ruangan yang tersedia 24 jam, karangan
bunga dengan kalimat semoga lekas sembuh yang dapat saya lihat sambil
berbaring, yang katanya karangan bunga itu seperti memberi warna untuk
hari-hari istirahat saya. Tentu menjadi berbeda ketika ruangan ada
bunganya, tetapi kalimat semoga lekas sembuh itu membuat bunga warna-warni
sama sekali tidak memberi warna pada hari-hari penuh tekanan itu. Tentu keberadaan rumah sakit dengan dokter
dan perawatnya, yang memandikan saya pukul 05.30 pagi saat saya lebih memilih
tidur, tak bisa disalahkan. Semua memang dibuat untuk mereka yang
sakit. Sebuah rumah penuh dengan rasa sakit. Kalau sudah begitu, saya merasa,
berada di rumah sendiri adalah hal yang sangat mewah dan dirindukan. Meski
rumahnya kecil dan biasa-biasa saja. Rumah sendiri adalah rumah kesembuhan.
Maka, saya suka bersedih kalau ada beberapa orang merasakan rumahnya sendiri
seperti neraka. Sering saya bertanya, di mana mereka akan mencari ”rumah”
sesungguhnya? Sepulang dari rumah sakit setelah dua hari
opname, dalam perjalanan pulang, di dalam taksi, entah tiba-tiba saya berkaca
pada rumah sakit. Apakah saya ini sebagai manusia, teman, saudara kandung,
pimpinan, manusia sosial, seperti sebuah rumah sakit? Seseorang yang mendatangkan stres kepada
lawan bicaranya, meski seperti layaknya rumah sakit, kesembuhan dapat
diperoleh. Apakah saya seseorang yang tak dapat memberi rasa tenteram dalam
setiap pertemuan, yang mampu menaikkan tekanan darah sehingga orang lebih
memilih untuk sesekali saja bergaul dengan saya, persis seperti hanya
sesekali saya berniat ke rumah sakit. Apakah saya ini seperti karangan bunga yang
diharapkan memberi warna pada hari-hari kelabu, tetapi ucapan saya sering
kali membuat rangkaian bunga itu menjadi jauh dari menarik hati untuk
dinikmati. Dan, hari yang kelabu bertambah kelabu. Apakah saya ini seperti ruang VIP di rumah
sakit itu? Kelihatan wah dan terlihat menyenangkan pada awalnya, tetapi
kemudian orang menyadari bahwa itu hanya satu kamar tempat menampung orang
sakit. Seperti ruang VIP itu, saya hanya seorang yang memesona pada awalnya,
kemudian membuat orang atau sebuah keadaan menjadi kegerahan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar