Hidupkan Kesaktian Pancasila
Muhammadun ; Analis Studi Politik pada Program
Pascasarjana UIN Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 02 Oktober 2015
Tanggal 1 Oktober
diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Harapannya,
peringatan bukan sekadar seremonial,
tapi menanamkan dalam hati untuk
melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila
adalah produk bangsa sendiri sebagaimana
ditegaskan Bung Karno. Katanya, “Aku
bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya
menggali Pancasila dari bumi Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi
Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan persembahkan di atas persada.”
Di masa revolusi, Soekarno selalu mendengungkan persatuan bangsa hanya bisa tegak apabila
berlandaskan atas dasar yang lebih
besar dan luas dari bangsa itu sendiri.
Pancasila diperkenalkan pertama kali sebagai sebuah konsep berbangsa,
medium pemersatu mencapai kemerdekaaan, falsafah negara yang di atasnya akan dibangun negara
Indonesia.
Nilai penting Pancasila yang disampaikan Soekarno meliputi
beberapa persoalan pelik tokoh-tokoh pejuang. Kemerdekaan membutuhkan pondasi sebagai identitas
berbangsa karena kelak dapat
menjadi pandangan hidup Indonesia
merdeka. Filsafat, pikiran, atau dalam bahasa Belada, philosofische grondslag Indonesia. Dia juga sebagai medium pemersatu ragam budaya,
tradisi, adat, etnis, dan agama. Itulah yang melatar belakangi perumusan
Pancasila oleh Soekarno. Bagaimanapun, Indonesia tidak akan pernah bisa
mencapai political independence
tanpa merumuskan terlebih dulu philosofische
grondslag.
Dalam pidatonya Soekarno menunjukkan betapa vitalnya dasar
negara. Dengan lebih dulu merunut makna kemerdekaan, Soekarno memberi pandangan tentang posisi Pancasila
pascamerdeka nantinya. Kemerdekaan harus diraih secepatnya demi kesejahteraan
yang menjadi cita-cita seluruh rakyat.
Intinya, demi kesejateraan, pembebasan dan keadilan,
sebuah bangsa harus dimerdekakan. Demi kemerdekaan, maka dasar, identitas,
pandangan hidup, jati diri, falsafah seluruh rakyat yang di atasnya akan
didirikan konstruksi negara Indonesia,
harus disusun.
Di tengah serba keterdesakan dalam menentukan persetujuan
paham kebangsaan, organ pendukung
harus cepat dirampungkan. Dalam pidato tahun 1945 Soekarno mengemukakan
prinsip paham kebangsaan yang mengandung
nilai nasionalisme serta sikap
saling memiliki Indonesia. Ini
menegaskan, sejak awal berdiri,
republik tidak menghendaki tumbuhnya
primordialisme sempit.
Satu Indonesia bukan untuk golongan tertentu, tetapi buat semua,
seluruh rakyat yang beraneka ragam secara etnis, tradisi, budaya,
letak georafis, dan agama. Republik
ini dipersembahkan founding fathers
untuk seluruh tumpah darah, tanpa sekat ideologi. Bertanah air satu,
berbangsa satu, berbahasa satu, Indonesia
Namun kebangsaan
bukan paham sempit, chauvinis seperti Hitler yang rasis
mengangungkan bangsa, ras Arya, sebagai
terpilih di dunia. Paham seperti itu
tereduksi sikap fanatisme, terjebak chauvinistis, serta antipati pada
orang/kelompok lain. Bangsa sendiri
paling superior. Bangsa lain dianggap subordinat/inferior.
Universal
Justru Soekarno mentransformasikan paham kebangsan dengan
mainstream nasionalisme universal,
yang sanggup menghargai semua bangsa sebagai sebuah komunitas
kemanusiaan yang disebut paham internasionalisme atau paham perikemanusiaan.
Hal ini sejalan dengan yang pernah disuarakan Gandhi. "Saya seorang
nasionalis, tapi kebangsaan saya adalah peri kemanusiaan," kata Gandhi.
Itulah prinsip lain Soekarno. Pendeknya,
berupa nasionalisme tanpa chauvinisme. Kemanusiaan atau
internasionalisme, tanpa kosmopolitanisme. Sikap terakhir ini secara frontal
tidak mengakui perbedaan alamiah bangsa-bangsa dunia.
Soekarno juga menjelaskan pentingnya mufakat atau
demokrasi. Hak-hak tiap orang harus bisa diperjuangkan secara politik dan
hukum. Manusia berhak mendapat penghidupan yang layak serta hak menyuarakan
pendapat. Dalam parlementaire democratie setiap orang berkewajiban serta
berkebebasan yang sama, temasuk apolitik.
Soekarno menunjukkan sebagai negarawan dengan mengandaikan
pembentukan semacam dewan pemusyawaratan yang akan menampung seluruh bentuk
aspirasi rakyat demi peningkatan kesejateraan. Prinsip ini juga praktis
menolak paham monarki di mana kontrol politik terpusat hanya kepada satu
orang. Prinsip mufakat ini beriringan dengan prinsip kesejahteraan sosial
yang diposisikan di urutan sila keempat: kesejahteraan yang bertumpu pada
nasionalisme serta demokrasi.
Akan tetapi, perlu diperhatikan, demokrasi politik saja
menurut Soekarno belum cukup memadai untuk sampai kepada tujuan itu. Masih
dibutuhkan seperangkat sistem lain yang harus disepakati lebih dulu untuk
mencapai cita-cita kesejahteraan sosial. Apakah indonesia akan menjadi
penganut mazhab kapitalisme dengan strategi pasar bebasnya, atau justru
mengadopsi pandangan orang-orang sosialis demi terciptanya kesejahteraan
sosial yang dicita-citakan?
Pertanyaan ini penting dijawab karena kondisi
sosio-politk, terlebih sosio-ekonomi memang terbelah ke dalam dua polarisasi
tajam antara mendukung sosialisme atau kapitalisme. Soekarno mengambil
sintesis dari dua pandangan yang secara diametral bersebarangan tersebut.
Yaitu kesejahteraan yang dibangun atas dasar demokrasi ekonomi, suatu
economische democratie yang bukan demokrasi barat. Tetapi politik demokrasi
ekonomi yang menjunjung demokrasi dengan kesejahteraan, tetap mendukung hak
milik dan kesetaraan. Namun tetap dibatasi moral-etis demokrasi yang otomatis
mengedepankan keadilan dan nasionalisme.
Prinsip kelima ialah menyusun Indonesia Merdeka dengan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Singkatnya prinsip Ketuhanan yang tidak
menginginkan bangsa Indonesia memandang Tuhan seperti cara orang-orang ateis
memandang Tuhan. Yang ditekankan kebebasan ber-Tuhan menurut kepercayaan dan
keyakinan masing-masing, tanpa egoisme agama dan klaim kebenaran yang
memecah.
Itulah pandangan Soekarno yang layak direfleksikan dalam
momentum hari kesaktian Pancasila yang kemarin diperingati seluruh negeri.
Ini sebuah episode sejarah yang amat penting bagi bangsa. Sutardji Calzoum
Bachri menilai teks Sumpah Pemuda 1928 sebagai "puisi" besar
nanrevolusioner, pidato-pidato Soekarno juga tak kalah visionernya karena di
dalamnya terkandung esensi, falsafah, cita-cita, jati diri, termasuk dasar
negara. Pancasila dan Soekarno menjadi manuskrip yang mendiskripsikan visi
tatanan imagined society yang
ideal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar