Minggu, 04 Oktober 2015

Hidupkan Kesaktian Pancasila

Hidupkan Kesaktian Pancasila

Muhammadun ;   Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
                                               KORAN JAKARTA, 02 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tanggal 1 Oktober  diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Harapannya, peringatan  bukan sekadar seremonial, tapi menanamkan  dalam hati untuk melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila adalah produk bangsa sendiri sebagaimana  ditegaskan Bung Karno. Katanya, “Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan  bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila dari bumi Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan  persembahkan  di atas persada.”

Di masa revolusi, Soekarno selalu mendengungkan  persatuan bangsa hanya bisa tegak apabila berlandaskan  atas dasar yang lebih besar dan luas dari bangsa itu sendiri.  Pancasila diperkenalkan pertama kali sebagai sebuah konsep berbangsa, medium pemersatu mencapai kemerdekaaan, falsafah negara  yang di atasnya akan dibangun negara Indonesia.

Nilai penting Pancasila yang disampaikan Soekarno meliputi beberapa  persoalan pelik  tokoh-tokoh pejuang. Kemerdekaan  membutuhkan pondasi sebagai identitas berbangsa karena  kelak dapat menjadi  pandangan hidup Indonesia merdeka. Filsafat, pikiran, atau dalam bahasa Belada, philosofische grondslag Indonesia. Dia juga  sebagai medium pemersatu ragam budaya, tradisi, adat, etnis, dan agama. Itulah yang melatar belakangi perumusan Pancasila oleh Soekarno. Bagaimanapun, Indonesia tidak akan pernah bisa mencapai political independence tanpa merumuskan terlebih dulu philosofische grondslag.

Dalam pidatonya Soekarno menunjukkan betapa vitalnya dasar negara. Dengan lebih dulu merunut makna kemerdekaan, Soekarno  memberi pandangan tentang posisi Pancasila pascamerdeka nantinya. Kemerdekaan harus diraih secepatnya demi kesejahteraan yang menjadi cita-cita seluruh rakyat.
Intinya, demi kesejateraan, pembebasan dan keadilan, sebuah bangsa harus dimerdekakan. Demi kemerdekaan, maka dasar, identitas, pandangan hidup, jati diri, falsafah seluruh rakyat yang di atasnya akan didirikan konstruksi negara Indonesia,  harus disusun. 

Di tengah serba keterdesakan dalam menentukan persetujuan paham kebangsaan,  organ pendukung harus cepat dirampungkan. Dalam pidato tahun 1945 Soekarno mengemukakan prinsip paham kebangsaan yang mengandung  nilai nasionalisme serta  sikap saling memiliki Indonesia. Ini  menegaskan,  sejak awal berdiri, republik  tidak menghendaki tumbuhnya primordialisme sempit.

Satu Indonesia bukan untuk golongan tertentu, tetapi  buat semua,  seluruh rakyat yang beraneka ragam secara etnis, tradisi, budaya, letak georafis, dan  agama. Republik ini dipersembahkan  founding fathers untuk seluruh tumpah darah, tanpa sekat ideologi. Bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu, Indonesia

Namun kebangsaan  bukan paham  sempit,  chauvinis seperti Hitler yang rasis mengangungkan bangsa, ras Arya, sebagai  terpilih di dunia. Paham seperti itu   tereduksi sikap fanatisme, terjebak chauvinistis, serta antipati pada orang/kelompok  lain. Bangsa sendiri paling superior. Bangsa lain dianggap subordinat/inferior.

Universal

Justru Soekarno mentransformasikan paham kebangsan dengan mainstream nasionalisme universal,  yang sanggup menghargai semua bangsa sebagai sebuah komunitas kemanusiaan yang disebut paham internasionalisme atau paham perikemanusiaan. Hal ini sejalan dengan yang pernah disuarakan Gandhi. "Saya seorang nasionalis, tapi kebangsaan saya adalah peri kemanusiaan," kata Gandhi. Itulah prinsip lain Soekarno. Pendeknya,  berupa nasionalisme tanpa chauvinisme. Kemanusiaan atau internasionalisme, tanpa kosmopolitanisme. Sikap terakhir ini secara frontal tidak mengakui perbedaan alamiah bangsa-bangsa dunia.

Soekarno juga menjelaskan pentingnya mufakat atau demokrasi. Hak-hak tiap orang harus bisa diperjuangkan secara politik dan hukum. Manusia berhak mendapat penghidupan yang layak serta hak menyuarakan pendapat. Dalam parlementaire democratie setiap orang berkewajiban serta berkebebasan yang sama, temasuk apolitik.

Soekarno menunjukkan sebagai negarawan dengan mengandaikan pembentukan semacam dewan pemusyawaratan yang akan menampung seluruh bentuk aspirasi rakyat demi peningkatan kesejateraan. Prinsip ini juga praktis menolak paham monarki di mana kontrol politik terpusat hanya kepada satu orang. Prinsip mufakat ini beriringan dengan prinsip kesejahteraan sosial yang diposisikan di urutan sila keempat: kesejahteraan yang bertumpu pada nasionalisme serta demokrasi.

Akan tetapi, perlu diperhatikan, demokrasi politik saja menurut Soekarno belum cukup memadai untuk sampai kepada tujuan itu. Masih dibutuhkan seperangkat sistem lain yang harus disepakati lebih dulu untuk mencapai cita-cita kesejahteraan sosial. Apakah indonesia akan menjadi penganut mazhab kapitalisme dengan strategi pasar bebasnya, atau justru mengadopsi pandangan orang-orang sosialis demi terciptanya kesejahteraan sosial yang dicita-citakan?

Pertanyaan ini penting dijawab karena kondisi sosio-politk, terlebih sosio-ekonomi memang terbelah ke dalam dua polarisasi tajam antara mendukung sosialisme atau kapitalisme. Soekarno mengambil sintesis dari dua pandangan yang secara diametral bersebarangan tersebut. Yaitu kesejahteraan yang dibangun atas dasar demokrasi ekonomi, suatu economische democratie yang bukan demokrasi barat. Tetapi politik demokrasi ekonomi yang menjunjung demokrasi dengan kesejahteraan, tetap mendukung hak milik dan kesetaraan. Namun tetap dibatasi moral-etis demokrasi yang otomatis mengedepankan keadilan dan nasionalisme.

Prinsip kelima ialah menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Singkatnya prinsip Ketuhanan yang tidak menginginkan bangsa Indonesia memandang Tuhan seperti cara orang-orang ateis memandang Tuhan. Yang ditekankan kebebasan ber-Tuhan menurut kepercayaan dan keyakinan masing-masing, tanpa egoisme agama dan klaim kebenaran yang memecah.

Itulah pandangan Soekarno yang layak direfleksikan dalam momentum hari kesaktian Pancasila yang kemarin diperingati seluruh negeri. Ini sebuah episode sejarah yang amat penting bagi bangsa. Sutardji Calzoum Bachri menilai teks Sumpah Pemuda 1928 sebagai "puisi" besar nanrevolusioner, pidato-pidato Soekarno juga tak kalah visionernya karena di dalamnya terkandung esensi, falsafah, cita-cita, jati diri, termasuk dasar negara. Pancasila dan Soekarno menjadi manuskrip yang mendiskripsikan visi tatanan imagined society yang ideal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar