Demokrasi dan Defisit Pemimpin Autentik
Mohammad Nasih ; Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu
Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute
|
KORAN
SINDO, 03 Oktober 2015
Dalam politik,
demokrasi seolah telah menjadi kata yang teramat sangat berharga. Demokrasi
oleh sebagian besar ilmuwan politik dianggap sebagai sistem politik terbaik.
Oleh sebagian
pengkritiknya pun, demokrasi dianggap sebagai sistem yang buruk di antara
yang lain yang lebih buruk. Ujungnya, oleh mereka itu, pilihan kepada
demokrasi masih merupakan sebuah keniscayaan. Tak heran, jika terutama dalam
dua setengah dekade terakhir, kampanye untuk melakukan demokratisasi di
negara-negara yang sering disebut sebagai negara berkembang semakin gencar
dilakukan.
Dengan
memanfaatkan penyakit rendah diri yang diidap oleh umumnya warga
negara-negara tersebut, demokrasi mengalami gelombang pasang. Demokrasi
kemudian semakin kuat diimajinasikan sebagai sebuah sistem politik yang bisa
membawa pada kemajuan negara. Sebaliknya, sistem selainnya dianggap akan
menyebabkan stagnasi, bahkan kemunduran.
Dalam
implementasinya di Indonesia, yang paling nyata terjadi, berdasarkan fakta
pada dua periode politik terakhir, demokrasi telah menyebabkan berbagai
kemerosotan kualitas penyelenggaraan negara. Itu terjadi karena
pemimpinpemimpin yang dihasilkan dari sistem demokrasi tidak memenuhi
kualifikasi sebagai penyelenggara negara.
Terlebih di
dalam sistem demokrasi yang menjadi kian liberal, dengan mekanisme pemilihan
langsung oleh rakyat, rakyat memilih bukan berdasarkan pada pemahaman yang
cukup kepada calon yang sedang berkompetisi memperebutkan kekuasaan,
melainkan hanya berdasarkan asumsi-asumsi yang dihasilkan oleh iklan-iklan
yang dibuat sedemikian rupa untuk menghasilkan efek hyper reality of media.
Orang-orang
yang sesungguhnya biasa-biasa saja, melalui rekayasa media, menjadi kelihatan
sangat menarik. Orang-orang yang sebelumnya sangat minim kepedulian kepada
urusan publik bisa “disulap” menjadi seolah-olah memiliki kepedulian yang
sangat tinggi. Dengan cara rekayasa itulah, autentisitas kemudian
terkuburkan.
Yang lebih
sering muncul ke permukaan adalah berbagai macam kepalsuan identitas diri
calon. Mereka yang sedang berebut kepercayaan rakyat, dengan biaya yang
sangat besar sekalipun, melakukan berbagai macam cara dan upaya agar
kelihatan indah dan meyakinkan rakyat pemilih.
Para pemilih memilih
secara salah disebabkan mereka sesungguhnya tidak memiliki akses yang baik
dan cukup kepada pemikiran, sikap, dan perilaku nyata para politisi dalam kehidupan
keseharian. Sebagian besar mereka bahkan belum mengenal sama sekali siapa
yang menjadi calon-calon yang harus dipilih dalam pemilu.
Mereka yang
ingin mengetahui figur-figur calon tersebut hanya bisa mengenali mereka di
atas kertas. Jika mereka menemukan deskripsi tentang figur calon-calon
tersebut, juga lebih banyak deskripsi tentang figur calon yang telah didesain
dengan sebaik mungkin oleh para calon dan tim kampanye mereka.
Karena itu,
mereka kemudian memilih hanya berdasarkan asumsi yang lahir dari penampakan
para calon, bukan dari melihat secara langsung dengan mata kepala sendiri
kepribadian mereka dalam kehidupan keseharian. Medialah yang dalam hal ini
lebih banyak berperan. Sedangkan penampilan di media merupakan penampilan
yang telah dimanipulasi sedemikian rupa.
Untuk
mendapatkan penampilan yang dianggap ideal harus mengulang-ulang proses
produksi penampilan. Semua itu bisa terjadi karena sebagian media telah
menjadi alat bagi politisi yang memiliki banyak uang. Jika mereka tidak
membayar media yang telah ada, mereka bisa membuat media sendiri untuk
melakukan sosialisasi penampilan palsu itu kepada masyarakat pemilih.
Dari sinilah
kesesatan asumsi para pemilih menjadi semakin parah. Akses rakyat pemilih
kepada para calon mungkin terjadi apabila antara pemilih dan para calon
memiliki kesempatan untuk bertemu dalam aktivitas-aktivitas sosial
kemasyarakatan. Karena itu, demokrasi sesungguhnya hanya bisa diterapkan
dalam konteks negara yang tidak terlalu besar.
Jika demokrasi
diterapkan dalam negara yang besar, yang muncul adalah calon-calon yang
memoles diri untuk membuat kepalsuan menjadi seolah-olah asli. Masyarakat
akan mengalami kesulitan besar untuk mengidentifikasi apakah figur yang
muncul adalah asli atau palsu. Inilah kerumitan yang selama ini diabaikan
oleh para teoritikus juga pelaku politik.
Perlu dicatat
bahwa di negara yang sebesar polis-polis di Yunani, yang penduduknya hanya
sekitar 60.000-an pun, banyak filsuf yang menolak demokrasi. Di antara alasan
yang mereka ajukan adalah demokrasi hanya akan menjadikan para badut sebagai
pemimpin politik.
Para badutlah
yang lebih dikenal masyarakat. Dengan aktivitas keliling untuk menghibur
masyarakat, para badut bisa lebih dikenal luas oleh masyarakat. Dengan logika
bahwa mereka akan memilih yang mereka kenal, masyarakat akan lebih memilih
para badut dibanding para filsuf yang sesungguhnya lebih memiliki kemampuan
dalam mengelola negara.
Untuk
memperbaiki perkembangan politik Indonesia yang semakin memburuk seiring
dengan penerapan demokrasi yang kian liberal, sudah saatnya para pengambil
kebijakan melakukan evaluasi secara mendasar .
Demokrasi yang
kian liberal harus disadari tidak sesuai dengan cita-cita para pendiri negara
Republik Indonesia yang telah melihat negara-bangsa Indonesia sebagai sebuah
negara-bangsa yang sangat besar dan memiliki tingkat keberagaman jauh lebih
rumit dibandingkan negaranegara lain di seluruh kolong langit ini.
Melihat
kenyataan tersebut, suara-suara yang menginginkan agar Indonesia kembali pada
UUD 1945 yang asli patut dipertimbangkan. Harus ada langkah-langkah cepat
sebelum Indonesia yang sangat besar ini mengalami ketertinggalan.
Baik di level nasional maupun daerah, pemilu yang kian liberal
tersebut lebih banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki
kemampuan yang bisa diandalkan untuk mengakselerasi kemajuan dan menjaga
percepatannya di tengah kompetisi dengan negara-negara lain yang juga terus
menambah percepatan. Wallahu aWallahu
alam bi alshawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar