Rabu, 16 September 2015

"Tanah Terjanji"

"Tanah Terjanji"

Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 13 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Barangkali dunia tidak akan pernah mengenal Phan Th?i Kim Phúc seandainya Nick Ut, fotografer kantor berita AP, tidak memotretnya. Foto hasil karyanya itu dimuat di harian New York Times. Ternyata foto itu memenangi hadiah Pulitzer dan dipilih sebagai World Press Photo of the Year 1972.

Dalam foto yang diambil pada 8 Juni 1972 itu ditunjukkan lima anak berlari dalam ketakutan dan beberapa tentara Vietnam Selatan berjalan di belakang mereka. Desa Trang Bang, di belakang mereka, sudah diselimuti asap hitam yang mengepul ke langit, menebarkan derita bahkan kematian.

Saat itu, Trang Bang di Vietnam Selatan, tempat tinggal anak-anak itu, dibom pesawat tempur Vietnam Selatan. Serangan itu dimaksudkan untuk mengusir pasukan Vietnam Utara yang menduduki Trang Bang.

Salah seorang anak yang melarikan diri dalam ketakutan itu adalah Kim Phúc. Gadis kelahiran Trang Bang, 2 April 1963, itu berlari tanpa mengenakan selembar pakaian pun. Ia telanjang karena pakaiannya terbakar. Tubuhnya pun terbakar. Foto gadis kecil-kini menjadi warga negara Kanada-yang tersengat bom napalm ini menggemparkan dunia. Foto itu cukup menjelaskan betapa dahsyat dan ganasnya perang.

Ketika lebih dari sepekan lalu beredar foto bocah kecil, Aylan Kurdi (3), yang sudah tak bernyawa, tertelungkup di pantai dekat kota wisata Bodrum, Turki, dunia gempar. Tragedi Vietnam seperti diputar ulang. Jauh tahun sebelumnya, beredar foto seorang bocah laki-laki Yahudi yang usianya tidak lebih dari 10 tahun. Foto yang menurut cerita diambil di ghetto Yahudi di Warsawa, Polandia, memperlihatkan bocah bertopi-bersama dengan sejumlah perempuan-mengangkat kedua tangannya, di depan tentara Nazi.

Mereka semua adalah korban perang di zamannya. Ada begitu banyak anak yang menjadi korban perang. Nasib Aylan Kurdi lebih buruk daripada Kim Phúc. Ia mati sebelum bersama orangtuanya mimpinya terwujud. Harapannya untuk menikmati hidup yang nyaman, aman, dan damai hancur berkeping-keping seperti negaranya yang sejak 2011 diporakporandakan oleh perang sektarian.

Jika Kim Phúc dan teman-teman sedesanya berlari meninggalkan neraka Trang Bang, Aylan Kurdi bersama orangtuanya dan ribuan orang sebangsa-juga dari Irak, Libya, dan negara-negara di Afrika seperti Sudan-meninggalkan negeri mereka yang dihancurkan oleh keganasan kelompok bersenjata Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang membunuh siapa saja yang dianggap bukan bagian dari mereka.

Uni Eropa adalah tujuan mereka. Bagi ratusan ribu pengungsi, Eropa adalah "tanah terjanji". Ibarat kata Eropa adalah "negeri yang bekelimpahan susu dan madu", tidak seperti negeri mereka yang berlumuran darah, disesaki geratak gigi, dan tangisan. Bagi para pengungsi-yang pergi ke "tanah terjanji" dengan menyeberangi Laut Tengah dari Afrika Utara menuju Yunani atau Italia atau Spanyol; dari Turki masuk Bulgaria; menyeberangi Balkan bagian barat dari Yunani lewat Macedonia, Serbia, dan Hongaria-lebih baik mati di "tanah terjanji" ketimbang di negeri sendiri yang sudah tak mengakui mereka sebagai anak bangsa.

Negara-negara Uni Eropa memang tidak bisa menolak para pengungsi, para imigran yang membanjiri mereka atas dasar kemanusiaan. Apalagi, dalam Perjanjian Lisbon (2009) dinyatakan Uni Eropa adalah "wilayah bebas, aman, dan adil." Akan tetapi, kini dalam kenyataannya tidak sepenuhnya demikian. Tak kurang dari 71 orang tewas dalam truk tertutup di Austria. Ratusan lain tewas di laut, di tempat penampungan, dan banyak tempat lainnya dalam perjalanan menuju negeri harapan.

Gelombang pengungsi, migran, akan terus mengalir ke "tanah terjanji" selama perang di Suriah, di Irak (dan negara-negara lain di Afrika), dan sepak terjang NIIS belum dihentikan. Di negaranegara itu, konsep kehidupan sebagai anugerah telah digerus, dirusak, bahkan dimusnahkan seketika bukan oleh Yang Ilahi sebagai pemberinya. Kehidupan yang seharusnya dilihat sebagai tanggung jawab yang menyenangkan telah berubah menjadi tindakan kebuasan.

Tidak ada hasil apa pun dari tindakan pamer kekerasan yang brutal, pamer kebuasan selain pengkhianatan terhadap martabat manusia. Pengingkaran terhadap martabat manusia ini terbentang panjang dalam suatu jalan yang senyap, sepanjang sejarah manusia. Kisah-kisah serupa bisa ditemukan dalam bisik-bisik lisan, bahkan barangkali sangat keras terdengar di sekitar kita.

Pada akhirnya yang kita temukan adalah rasa tidak berdaya, yang tersorot dari mata anak-anak, perempuan, dan para imigran yang berjalan tersuruk-suruk menembus pagar kawat berduri di "tanah terjanji". Rasa sakit sebagai akibat dari tindak kekerasan mungkin juga dapat ditemukan dalam batin, tersimpan seperti api dalam sekam, yang sewaktu-waktu dapat muncul secara tiba-tiba dalam kemarahan sporadis. Bukan tidak mungkin, suatu ketika, kemarahan itu akan meledak di "tanah terjanji".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar