SKB, Perangkat, dan Dana Desa
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan IPB
|
KOMPAS,
12 September 2015
Pencairan dana desa
seharusnya menderas setelah dua sumbat persoalan dibuka. Pertama, koordinasi
antarkementerian serta pemerintah daerah mulai terwujud. Indikasinya
penerbitan surat keputusan bersama (SKB) kementerian yang berperan dalam
penyaluran dana desa, yakni Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, dan Kementerian Keuangan.
Kedua, lebih
fundamental dan berkelanjutan, mulai bergeraknya penguatan kapasitas
perangkat desa. Bukan untuk memonopoli pembangunan dan mengekang warga desa,
sebaliknya perangkat hendak dilatih piawai mengelola demokrasi deliberatif
dalam memutuskan alokasi dana bagi kesejahteraan warga.
Revolusi koordinasi
Guna merengkuh
Nawacita, Presiden Joko Widodo mempraktikkan strategi manajemen matriks.
Pembangunan dari pinggiran dan desa tidak dikelola kementerian secara
tunggal, tetapi sebagai simpul kerja bersama Kemendagri, Kementerian Desa,
PDT, dan Transmigrasi, Kemenkeu, dan Bappenas.
Manajemen matriks
unggul dalam meluaskan lingkup kebijakan sehingga layanan kepada desa
diberikan hingga empat kementerian. Konsekuensinya, koordinasi jadi
prasyarat.
Sayangnya, ego
sektoral selama ini memuskilkan kerja bersama karena khawatir identitas
kementerian memudar. Apalagi, kementerian yang berkompeten pada desa
berlindung di kaki kementerian koordinator yang berbeda. Namun, di sinilah
revolusi mental diuji. Setelah tarik ulur pengelolaan desa di awal tahun,
arah politik pun berbalik menuju koordinasi lintas pihak, yaitu lewat SKB
tentang dana desa.
Peluruhan ego sektoral
ditunjukkan oleh substansi SKB, berupa pelonggaran peraturan menteri yang
semula menyempitkan arus pencairan dana desa. Strategi pelonggaran
aturan—bukannya penanggalan—memutar keran pencairan lebih deras, sekaligus
tanpa melepaskan kontrol legal atas dana desa.
Dibandingkan dengan
peraturan masing-masing menteri, SKB berisikan kemudahan pengajuan prasyarat
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa oleh Mendagri. Adapun
Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi meluaskan menu penggunaan dana. Tanda
tangan Menkeu memberi jaminan pertanggungjawaban dana oleh kepala daerah dan
perangkat desa.
Langkah besar koordinasi
ini perlu dinilai sebagai bibit perluasan kolaborasi pembangunan di masa
datang. Sebab, pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa banyak mensyaratkan koordinasi antarsektor dan tingkatan pemerintahan.
Manajemen matriks pasti dibutuhkan untuk mengelola 17 kementerian dan 6
lembaga yang punya program ke desa selama 2015-2019.
Sayangnya, SKB pada
dirinya hanya mengandung desakan legal yang lemah karena tak termasuk dalam
UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selama ini,
SKB bisa bergigi ketika didukung gerakan masyarakat dan kegiatan operasional
di lapangan.
Gerakan kapasitas
Operasionalisasi SKB
bisa disusun dengan meluaskan strategi matriks koordinasi horizontal di
tingkat pusat kepada koordinasi vertikal dengan pemerintah daerah dan
perangkat desa. Kemendagri mengusung koordinasi birokrasi sekaligus sebagai
instrumen peningkatan kapasitas aparat pemda dan perangkat desa.
Pelatihan tentang desa
tersusun dari pusat hingga kabupaten dan kota. Di ujung kegiatan, aparat dari
sekitar 8.000 kecamatan yang bertugas membina desa dilatih ulang agar beralih
menggunakan strategi pemberdayaan. Perannya dikuatkan sebagai pendamping yang
berpusat pada penggalian potensi-potensi kreatif perangkat desa.
Perangkat dari 74.093
desa yang dilatih ialah kepala desa, sekretaris desa, dan bendahara desa.
Materi pelatihan yang sudah tersusun berupa strategi dan teknis manajemen
pemerintahan desa, modul perencanaan pembangunan desa, musyawarah, dan
pengelolaan keuangan desa.
Pendidikan orang
dewasa seharusnya dipraktikkan untuk memadukan materi pelatihan dengan
pengalaman hidup dan posisi sosial perangkat desa. Mengambil data Potensi
Desa 2014, umur kepala desa rata-rata 45 tahun, sebaya dengan sekretaris
desa, 43 tahun.
Aspek kognitif dalam
pelatihan juga harus disesuaikan dengan pendidikan perangkat desa. Jenis
penulisan dalam modul selama ini mudah ditangkap mayoritas perangkat yang
berpendidikan sekolah menengah umum (59 persen kepala desa dan 57 persen
sekretaris desa). Walau demikian, praktik pembelajaran perlu toleran dengan
kenyataan keragaman tingkat pendidikan mulai dari tanpa bersekolah (1,13
persen), sarjana (12,72 persen), hingga doktoral (0,01 persen).
Pelatihan dapat
menambah modal ilmu pengetahuan perangkat desa untuk memahami wilayah dan
warganya secara lebih sistematis. Mereka perlu terampil mendiagnosis masalah
dan potensi desa secara obyektif.
Namun, keputusan
penanganan hasil analisis lokal haruslah selalu dilakukan secara deliberatif.
Wadahnya berupa musyawarah desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar