Negeri di Atas Kertas
Erik R Prabowo ; Editor Buku, Tinggal di Magelang
|
KOMPAS,
12 September 2015
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak
menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."
Saat menemukan dan membaca
kutipan ini, penulis merasakan ada semacam ketaknyamanan pada diri sendiri.
Kutipan di atas seperti sindiran atas kelangkaan karya nyata.
Secara tersurat,
Pramoedya memang menyebut kata "menulis" yang merujuk pada karya
berupa tulisan. Namun, secara tersirat, merujuk pada karya nyata yang beragam
jenisnya, tidak hanya berupa tulisan.
Kata
"menulis" digunakan dalam kutipan tersebut sebab menulis merupakan
aktivitas sederhana dan mudah dilakukan. Dalam artikel ini, kutipan dari
Pramoedya ini ditafsirkan menjadi, "Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika
setelah selesai tak menghasilkan satu pun karya nyata yang bermanfaat bagi
masyarakat."
Jumlah ijazah dan karya
Di atas kertas, jumlah
sarjana yang dihasilkan tentu saja semakin bertambah besar tiap tahunnya.
Jumlah ini sebanding dengan jumlah perguruan tinggi, dan akademi yang
jumlahnya juga sangat banyak di Indonesia.
Tujuan penggunaan
frasa "di atas kertas" pada paragraf di atas memiliki tujuan yang
sama dengan para komentator sepak bola di TV: ingin menggambarkan keadaan
yang belum pasti. Jumlah ijazah pendidikan tinggi yang banyak itu tidak
memberi jaminan bahwa pemegangnya mampu menghasilkan karya inovatif.
Karya-karya inovatif
memang masih belum diminati di Indonesia. Kadang dianggap tak akan laku sebab
masih baru. Salah satu gejala rendahnya tingkat inovasi orang Indonesia bisa
dilihat dari tren meniru skripsi orang lain.
Sebagian besar skripsi
dari satu jurusan memiliki kesamaan pokok bahasan, yang berbeda hanya seputar
nilai variabel. Misalnya, untuk jurusan kimia, ada sebuah skripsi berjudul "Perancangan Pabrik Diethyl Ether
dengan Reaktor Uap Cair, Kapasitas 100.000 Ton Per Tahun". Di
perpustakaan universitas yang sama, atau bisa juga di universitas lain, ada
judul yang hampir sama. Contohnya, "Perancangan
Pabrik Diethyl Ether dengan Reaktor Uap Cair, Kapasitas 300.000 Ton Per
Tahun". Bagaimana mungkin di dua atau tiga universitas berbeda,
mahasiswanya memiliki judul skripsi yang hampir sama?
Saat memasuki masa
skripsi, setiap mahasiswa akan memulai "berburu" menemukan
judul-judul skripsi untuk diajukan ke hadapan dosen pembimbing. Mahasiswa
berburu judul untuk mempercepat waktu pengerjaan skripsi. Jika setiap
mahasiswa harus menyusun judul dan penelitian baru, waktu pengerjaannya bisa
sangat lama.
Berkembang sebuah
penilaian di kampus, mahasiswa yang terlalu lama menempuh studi akan mendapat
cap malas atau bodoh. Meskipun penilaian ini sering disangkal, kenyataannya
orang-orang yang memperoleh predikat cum laude adalah mereka yang ber-IPK
tinggi dan lulus cepat.
Saat masih kuliah,
penulis pernah dinasihati kakak senior, "Sudahlah, S-1 jangan terlalu
idealis skripsinya, yang penting bisa lulus dulu." Saat pertama
mendengarnya, penulis langsung tak setuju dengan nasihat ini sebab tidak
mencerdaskan. Namun, seiring berjalannya waktu, nasihat ini juga perlu
dipertimbangkan.
Penyebabnya, job center di beberapa kampus sering
memasang pengumuman lowongan pekerjaan dari beberapa perusahaan ternama,
beberapa di antaranya berkelas internasional. Beberapa perusahaan ini lebih
sering mencari para fresh graduate.
Umur yang diinginkan biasanya berkisar 23-28 tahun.
Supaya bisa mengikuti
seleksi di perusahaan-perusahaan ini, setiap mahasiswa harus mampu
menyelesaikan studi lebih kurang empat tahun. Dalam rentang waktu tersebut,
proses belajar setiap mahasiswa harus dilakukan dengan cepat dan padat.
Motivasi setiap
mahasiswa Indonesia umumnya ingin cepat lulus dan segera bekerja. Hal ini
manusiawi mengingat biaya kuliah sangat mahal. Para mahasiswa ini memiliki
kewajiban untuk segera menyelesaikan kuliah dan segera bekerja untuk
mengurangi beban orangtua.
Demi mengejar waktu
kelulusan, memperdalam pemahaman materi kuliah menjadi sulit dilakukan.
Kebanyakan mahasiswa lebih banyak belajar dari catatan yang diberikan dosen
saat kuliah, soal-soal kuis, dan materi tugas. Sebab, dosenlah yang membuat
soal dan memberi nilai ujian. Buku-buku teks referensi yang tebal mulai
ditinggalkan karena dianggap mayoritas isinya tidak keluar dalam ujian.
Bagaimana dengan
kualitas keilmuan? Nanti saja, diperdalam seiring berjalannya waktu.
Mahasiswa dan pelajar
kita bukan tak kreatif, melainkan tak terlatih untuk menjadi kreatif.
Bagaimana mungkin jadi kreatif jika setiap hari otak dibebani dengan berbagai
macam hafalan materi pelajaran? Hal ini terjadi sejak kita masih duduk di
bangku SD hingga perguruan tinggi.
Sayangnya, untuk
benar-benar memahami sebuah materi pelajaran diperlukan waktu. Sementara di
sisi lain, waktu belajar di sekolah dan di rumah terlalu sedikit sebab banyak
mata pelajaran/kuliah di setiap semester. Ditambah tugas setiap hari,
hasilnya beban belajar sangat besar. Dalam keadaan seperti ini, cara tercepat
menguasai materi adalah dengan menghafal.
"The mere imparting of information is not education," kata Carter G
Woodson. Kutipan ini lebih kurang memiliki makna, "Proses menghimpun
informasi dan sekadar menanamkannya di otak (menghafal) bukanlah aktivitas
pendidikan."
Saat menemukan kutipan
dari sejarawan Amerika ini, ada rasa tersindir dalam hati. Sebab, selama
sekolah sampai kuliah, penulis juga terus menghafal dan menghafal materi
pelajaran.
Pendidikan mencerdaskan
Mengubah orang yang
tidak cerdas menjadi cerdas adalah kewajiban negara melalui institusi
pendidikan. Sistem pendidikan yang dibangun semestinya juga mencerdaskan.
Bukan sistem yang hanya menjaring mana yang cerdas, mana yang tidak cerdas,
lalu memberi cap anak ini pintar, anak itu bodoh, dengan deretan nilai di
rapor dan ijazah.
Sejak di bangku SD
hingga perguruan tinggi, seingat penulis, tidak ada mata pelajaran yang
secara khusus mengajarkan bagaimana berpikir inovatif dan kreatif, bahkan cara
membuat pemetaan pikiran pun tidak diajarkan. Singkatnya, sejak dini
mayoritas orang Indonesia tidak diajarkan cara berpikir dan berlogika dengan
benar.
Sebelum terlambat,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepertinya perlu menciptakan sebuah
mata pelajaran baru, yang secara khusus mengajarkan bagaimana berpikir
inovatif, dilengkapi dengan guru-guru kreatif. Mungkin akan lebih baik jika
kreativitas gurunya setingkat dengan Yoris Sebastian, sang master dunia
kreatif Indonesia.
Bangsa ini sedang mengalami
darurat karya nyata dan orisinalitas dalam hal apa saja. Kemdikbud perlu
mengurangi jumlah mata pelajaran agar para pelajar tidak terlalu banyak
menghafal, tapi berlatih berpikir dan berlogika. Mungkin sebagian dari kita
menganggap banyaknya skripsi yang judulnya hampir sama, di tingkat
universitas, adalah hal biasa, tetapi jika dibiarkan, lama-lama akan membuat
negeri ini jadi "negeri di atas kertas". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar