Pemimpin Demokratis Terima Kritik sebagai Masukan
Frans H Winarta ; Ketua Umum PERADIN;
Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan
|
KORAN
SINDO, 01 September 2015
Rencana pemerintah
mengajukan RUU KUHP (Pidana) yang masih mengandung pasal-pasal yang
antidemokrasi dan mengesampingkan perlindungan hak asasi manusia sungguh di
luar dugaan.
Hal ini karena Pasal
265 dan 266 RUU KUHP (Pidana) justru merupakan fotokopi dari Pasal 154–157
KUHP (Pidana) yang berasal dari Kitab Hukum Pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang diilhami
Kitab Hukum Pidana Prancis yang merupakan bagian dari Code Napoleon (terdiri
atas Code de civil, Code de commerce dan Code de penal).
Namun, sebenarnya
Belanda dan Prancis sendiri sudah lama tidak menggunakan pasalpasal yang
dapat menghalangi atau membatasi kemerdekaan dan hak asasi manusia tersebut.
Sungguh mengherankan dalam era demokratisasi ini, khususnya setelah era
reformasi yang dicetuskan pada 1998, pasal-pasal penyebar kebencian (haatzaai artiekelen) yang digunakan
pemerintah kolonial untuk membungkam gerakan kemerdekaan digunakan lagi dalam
perangkat KUHP (Pidana) Indonesia yang baru nanti.
Pemerintahan Jokowi-JK
ketika meneruskan RUU KUHP (Pidana) itu seharusnya disertai ”minderheidsnota” yang menyatakan
keberatan dengan Pasal 265 dan 266 RUU KUHP (Pidana) karena alasan
penghormatan atas hak asasi manusia dan kemerdekaan individu. Soekarno suatu
waktu dulu pernah berkata dalam bukunya yang terkenal, Di Bawah Bendera
Revolusi, 1964:
”Rakyat yang tidak
merdeka adalah rakyat yang sesungguh-sungguhnya tidak merdeka. Segala
gerak-bangkitnya adalah tidak merdeka. Segala kemauannya, segala pikirannya,
ia segala rohnya dan nyawanya adalah tidak merdeka. Mau ini tidak leluasa,
mau itu tidak leluasa. Mau ini ada ranjau, mau itu ada jurang. Mau
mengeluarkan kritik, ada artikel 154 sampai 157 dari buku hukum siksa; mau
menganjurkan kemerdekaan, ada artikel 153 bis dan ter; mau menggerakkan kaum
buruh, terancam artikel 161 bis; mau mengadakan aksi radikal, gampang dicap
berbahaya bagi keamanan umum; mau memajukan perniagaan ada rintangan bea, mau
memajukan sosial ada macam-macam syaratnya, pendek kata: mau ini ada duri,
mau itu ada paku.”
Dari perkataannya
tersebut terlihat bahwa Soekarno pada masa pemerintahannya pun telah
memberikan perhatian secara khusus terhadap kebebasan berpendapat yang
dihalang-halangi oleh undang-undang. Seharusnya setelah 70 tahun merdeka dan
17 tahun era reformasi ”haatzaai artiekelen” tidak lagi digunakan dalam KUHP
(Pidana) yang baru. RUU KUHP (Pidana) tidak perlu memuat pasal-pasal yang
tidak selaras dengan jaminan kemerdekaan individu.
Seolah-olah perjuangan
mahasiswa, pemuda, aktivis LSM, dan para reformis dalam memperjuangkan
kebebasan berpendapat menjadi kurang dihargai. Padahal, mereka sudah
mengorbankan segala-galanya untuk mencapai tingkat demokrasi seperti
sekarang.
Walaupun masih jauh dari sempurna, kebebasan sekarang yang dapat
kita nikmati adalah hasil perjuangan mereka melalui peristiwa-peristiwa
Trisakti, Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis, penghukuman
atas pendemo SDSB yang dianggap menghina presiden, pelanggaran hak asasi
manusia, dan pembunuhan dalam peristiwa Tanjung Priok, Talang Sewu, dan
lainnya.
Kritik sebagai
Komunikasi Politik
Di dalam negara hukum berdasarkan asas demokrasi ini,
kritik yang dilancarkan kepada pejabat pemerintah merupakan bagian dari
komunikasi politik dan dapat dilakukan melalui tulisan atau demonstrasi jika
komunikasi politik itu macet. Kritik merupakan salah satu cara keturutsertaan
warga negara dalam mengawasi dan berpartisipasi dalam pemerintahan yang
dijamin dalam konstitusi UUD 1945.
Seorang pejabat,
termasuk presiden dan wakil presiden, harus mau dikritik sebagai bagian dari
cara berdemokrasi yang efektif. Seorang pemimpin jika tidak mau dikritik
menandakan bahwa dia belum siap untuk menjadi pemimpin. Hal tersebut juga
menjelaskan bahwa dia tidak dapat menggunakan kritik sebagai cermin untuk
mengukur dirinya sampai di mana program dan kebijakannya ampuh dan benar
serta berguna bagi masyarakat.
Membalas kritik dengan
hukuman dan membawa yang mengkritik ke pengadilan bukanlah sifat seorang
pemimpin yang demokratis, tetapi lebih cocok diimplementasikan dalam
kepemimpinan yang otoriter. Kritik haruslah diterima sebagai masukan, namun
disampaikan dengan cara yang positif untuk tujuan yang positif pula.
Salah satu pemimpin
kita yang menggunakan kritik sebagai cermin untuk mengukur sampai di mana
pemerintah provinsi DKI Jakarta efektif adalah Gubernur Ali Sadikin pada
1960-an dan 1970-an. Sungguh mengherankan jika presiden dan wakil presiden
yang terpilih melalui pemilihan langsung malah mengembalikan perangkat hukum
pidana kita kepada era represif yang digunakan pada zaman kolonial.
”Haatzaai Artiekelen”
pada masa lampau digunakan untuk membungkam gerakan kemerdekaan oleh Inggris
di tanah jajahan India dan Belanda di Indonesia. Pada abad ke-21 yang
serbamodern dan komunikasi elektronik yang begitu canggih mengakibatkan apa
yang terjadi di semua pelosok dunia dapat diterima dengan cepat dan segera.
Karena itu, komunikasi politik tentunya dapat disampaikan dengan cepat dan
efektif pula.
Sampai detail dari
serangan teroris di Sidney-Australia, Chattanooga-Amerika Serikat, dan Perang
ISIS di Timur Tengah dapat ditayangkan dengan cepat dan mudah ke seluruh
dunia. Dengan begitu, tidak ada alasan akan ada kemacetan komunikasi politik
sekarang jika saja pemerintahan Jokowi-JK mau mendengarkan aspirasi rakyat
dan tidak terlalu mendengarkan apa yang disampaikan partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar