Revolusi Mental dan Krisis Keuangan
Bambang Setiaji ; Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta;
Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah
|
JAWA
POS, 11 September 2015
UNTUK memberikan solusi lebih permanen dari krisis keuangan yang
selalu berulang setidaknya tiga kali dalam 15 tahun terakhir, perlu dipahami
akar permasalahan yang terjadi. Kalau melihat data yang ada, misalnya neraca
berjalan, dalam lima tahun terakhir terlihat selalu defisit.
Itu memperlihatkaan bahwa ada masalah ketidakseimbangan di sektor tersebut. Apabila neraca berjalan sekali defisit dan sekali surplus pada tahun berikutnya, dalam jangka panjang bisa dikatakan neraca dalam keadaan berimbang. Karena dalam lima tahun terakhir neraca berjalan selalu defisit, itu menunjukkan ada masalah yang berifat tetap atau fundamen. Data neraca berjalan pada 2010 mencatat surplus USD 5,1 miliar dan menurun menjadi USD 1,6 miliar pada 2011. Berikutnya, pada 2012 neraca berjalan anjlok, menjadi minus USD 24,4 miliar dan pada 2013 turun lagi menjadi minus USD 29,1 miliar. Pada 2014 neracanya minus USD 25,9 miliar. Pada tahun berjalan 2015 selama enam bulan, neraca membaik menjadi minus USD 8,6 miliar atau sekitar USD 17,2 miliar hingga akhir tahun nanti. Neraca berjalan adalah angka yang mencatat ekspor dan impor barang ditambah dengan neraca jasa-jasa. Defisit berarti apa yang kita tukar dari keunggulan produksi kita lebih rendah daripada hasrat mengonsumsi kita terhadap barang luar negeri. Dengan kata lain, kita hidup terlalu mewah, bahkan mubazir. Bagian terbesar dari penyebab defisit adalah impor minyak dan gas yang hanya habis kita bakar untuk kendaraan pribadi yang meningkat dengan pesat. Kecenderungan itu bersifat jangka panjang yang tentu saja memerlukan suatu gerakan nasional dan kebijakan yang juga mendasar dan bersifat jangka panjang. Kampanye kepada rakyat untuk diajak hidup yang lebih sesuai dengan kemampuan memproduksi nasional bisa dilakukan. Misalnya, para menteri, gubernur, dan bupati/ wali kota menggunakan barang dalam negeri dan memanfaatkan kendaraan umum. Dalam rangka mendidik berperilaku, bisa juga dengan peraturan yang lebih tegas. Misalnya, untuk memangkas konsumsi BBM, diberlakukan kuota atau penjatahan. Contohnya, Senin sampai Kamis jalan di dalam kota harus bebas kendaraan pribadi. Memaksa masyarakat menggunakan kendaraan umum. Lebih jauh, itu akan menurunkan impor BBM dan defisit neraca berjalan. Efek lain, akan terbuka lapangan pekerjaan baru yang sangat penting saat krisis dengan munculnya industri angkutan umum berbasis teknologi informasi (TI) seperti fenomena GoJek akhir-akhir ini. Selain gerakan dan peraturan yang memaksa atau mendidik bangsa melakukan penghematan nasional dari kemubaziran, kemampuan produksi dalam negeri harus ditingkatkan. Industri substitusi impor sekarang memperoleh waktu yang tepat. Jumlah penduduk kita besar dengan daya beli cukup tinggi. Di sisi suplai, jumlah insinyur kita selama beberapa dekade ini meningkat pesat. Terhambatnya pengembangan industri tinggi di Indonesia mengakibatkan terdesaknya tenaga insinyur ke pekerjaan lain yang menonjol masuk ke industri keuangan. Tokoh-tokoh perbankan dan keuangan banyak didominasi para insinyur dari perguruan tinggi terkemuka. Hal tersebut menunjukkan terhambatnya mobilitas ke arah industri tinggi. Pemerintah harus merestui, misalnya, dengan menjadi pembeli utama industri tinggi yang dikembangkan. Contohnya, memulai kembali industri mobil nasional. Di samping itu, industri konsumsi tinggi sudah membudaya di tengah masyarakat seperti industri komputer dan komunikasi serta industri barang elektronik perkakas rumah tangga. Cara Menutup Defisit Konvensional Cara menutup defisit secara konvensional selama ini dilakukan dengan memperbanyak investasi asing. Kekuarangan uang asing untuk membiayai konsumsi tinggi ditutup dengan masuknya uang asing dengan menjual aset di perut bumi atau menyewakan yang di permukaan. Sebut saja lahan sawit, batu bara, tembaga, emas, dan mineral yang lain. Kepemilikan asing tidak disukai masyarakat. Selain itu, dalam jangka panjang, hal tersebut akan memberatkan ekonomi karena hasil ekspornya diparkir di luar negeri dan laba yang diperoleh dari pasar domestik juga akan dibawa ke luar negeri yang pada akhirnya semakin menurunkan nilai rupiah. Makna dari defisit yang ditutup dengan menjual atau menyewakan aset seperti digambarkan di atas mendeskripsi generasi yang nakal. Menggambarkan hidup mewah naik mobil membakar bensin tetapi dari hasil menjual sawah dan ladang. Generasi yang harus kita revolusi mentalnya dengan mendidik dan mengatur yang lebih nyata. Spekulan dan Aksi Ambil Untung Penurunan rupiah dalam jangka panjang akan memudahkan para spekulan melakukan prediksi. Dan, itu akan mengakibatkan munculnya aksi ambil untung secara periodik. Krisis keuangan sekarang ini hampir sama dengan 1998, yaitu disebabkan ditariknya uang asing secara besar-besaran. Sekarang pemerintah sangat dilematis. Jika memerintah BUMN membeli kembali sahamnya, hal tersebut seperti menjamin kepada spekulan untuk bisa menjual dengan harga lebih tinggi. Itu sangat menguntungkan spekulan karena prediksinya menjadi kenyataan. Demikian juga apabila pemerintah melakukan pinjaman dari lembaga keuangan dunia. Mengambil pelajaran dari tahun 1998, ketika nilai tukar dolar sampai Rp 17 ribu, setelah IMF memberikan pinjaman, dolar turun sampai kurang dari Rp 7 ribu. Dengan demikian, seorang spekulan yang melepas USD 1 seharga Rp 17 ribu, tiga bulan berikutnya bisa membeli dolarnya kembali pada harga Rp 7 ribu. Dolarnya meningkat dua setengah kali lipat selama kurun waktu tiga bulan saja. Cerita di atas menggambarkan bahwa komitmen negara untuk keterbukaan dan kebebasan lalu lintas modal sangat memuaskan untuk segelintir spekulan dan sangat memberatkan efek ekonominya bagi 250 juta rakyat. Untuk apa sistem seperti ini dipertahankan? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar