Rezim Stabilisasi Pangan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat
|
KOMPAS,
02 September 2015
Tata kelola kebutuhan pokok, terutama pangan, memasuki rezim
baru. Berbeda dengan era sebelumnya, kini payung hukum pengaturan pangan kian
kuat.
Ini ditandai terbitnya UU No 18/2012 tentang Pangan dengan garis
politik yang tegas: kedaulatan pangan. Disusul kemudian dengan pengesahan UU
No7/ 2014 tentang Perdagangan. Pasal 25 UU Perdagangan mengatur pengendalian
barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting di seluruh wilayah Indonesia.
Pasal ini memungkinkan pemerintah mengintervensi saat terjadi kegagalan
pasar, seperti kenaikan harga daging sapi dan daging ayam saat ini.
Perpres
kebutuhan pokok
Payung hukum makin lengkap setelah pada 15 Juni lalu terbit
Perpres No 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok
dan Barang Penting. Kebutuhan pokok ada 11 barang, sebagian besar pangan:
beras, kedelai bahan baku tahu/tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng,
tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar
(bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang).
Barang penting mencakup tujuh: benih (padi, jagung, kedelai),
pupuk, elpiji 3 kg, tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.
Lewat perpres ini pemerintah berharap bisa mengatasi gejolak melalui
penetapan harga dan pengendalian stok. Pertanyaannya, sudah cukupkah payung
hukum pengelolaan pangan? Sudah kuatkah hukum itu? Bisakah rutinitas kenaikan
harga dihentikan? Mungkinkah aturan yang ada bisa membuat negara kembali
hadir sebagai pembela rakyat kemudian meredam/menutup gerak spekulan pangan?
Indonesia tergolong tertinggal dalam pengaturan pangan, termasuk
jika dibandingkan dengan Malaysia. Ketika di Indonesia gejolak harga
kebutuhan pokok jadi rutinitas, di Malaysia tak terjadi karena memiliki The Price Control Act: pengontrol
harga barang, sebagian besar makanan, sejak 1946. Juga The Control of Supplies Act (1961) yang mengatur keluar-masuk
barang di perbatasan. Dalam UU itu harga 225 kebutuhan warga dan 25 komoditas
dikontrol di hari besar.
Kepada pasar
Di Indonesia ada kecenderungan menyerahkan harga pangan pada
pasar. Hampir semua harga pangan, kecuali beras, diserahkan kepada mekanisme
pasar. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani
sejahtera, dan pendapatan konsumen pejal terhadap guncangan pasar.
Kenyataannya instrumen stabilisasi juga terbatas.
Sejak Bulog dikebiri, praktis kita tak punya badan penyangga
yang berkekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan. Kini penyangga
dan pengatur harga itu diambil alih swasta. Mereka yang hanya segelintir
menguasai distribusi komoditas pangan. Jalur distribusi yang konsentris dan
oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan: produksi domestik dan impor.
Di tangan mereka bisnis ini sudah menjadi politik pemburu rente.
Hadirnya UU Pangan, UU Perdagangan, dan Perpres No 71/ 2015
memberi harapan baru. Untuk menjalankan perangkat hukum ini masih diperlukan
aturan turunan. Yang mendesak ialah turunan Perpres No 71/2015 dalam bentuk
peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur penetapan harga kebutuhan pokok
dan barang penting. Permendag mesti merinci harga tiap barang, pemberlakuan
harga (khusus menjelang, saat, dan setelah hari besar keagamaan atau saat
terjadi gejolak harga), mekanisme pengawasan, lembaga pengawas berikut
sanksi-sanksinya.
Berkaca pada Malaysia, pengawasan harga berjalan efektif sejak
dibentuk Majelis Harga Negara pada 2008. Majelis bertugas memantau harga
barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung cadangan pangan nasional.
Di tingkat bawah ada Majelis Kawalan yang diisi ibu- ibu sebagai volunter.
Mereka rutin melaporkan hasil pemantauan ke Majelis Harga. Jika ada
penyimpangan, sanksi denda dan kurungan menanti.
Berkaca dari pengungkapan penyimpangan pupuk bersubsidi, di
Indonesia pemantauan sebaiknya melibatkan peran masyarakat. Juga memanfaatkan
hasil Tim Pengendali Inflasi Daerah. Tinggal formulasi sanksi. Jika bentuknya
administratif, kemungkinan tak akan efektif.
Terkait stabilisasi harga pangan, keefektifannya amat bergantung
pada formulasi harga yang ditetapkan pemerintah berikut instrumen
pendukungnya. Jika bentuknya harga acuan dan harga pembelian pemerintah,
mustahil akan efektif.
Contohnya harga pembelian pemerintah (HPP) beras. HPP beras yang
diatur sejak 2000 hingga 2015 tak lebih dari harga acuan. Dalam Inpres
Perberasan No 5/2015, HPP beras medium ditetapkan Rp 7.300 per kg. Di pasar
harga beras medium jauh di atas HPP, lebih dari Rp 10.000 per kg.
Selain itu, keberhasilan stabilisasi harga pangan amat
ditentukan instrumen pendukung. Instrumen ini mencakup stok/ cadangan,
pengaturan impor (waktu dan kuota), jumlah anggaran, dan lembaga pelaksana.
Keberadaan stok/cadangan jadi keniscayaan jika pemerintah berharap bisa
intervensi saat terjadi kegagalan pasar. Jika harga melambung tinggi, stok
bisa digelontorkan. Sebaliknya, ketika harga jatuh, lewat lembaga yang
ditunjuk negara hadir sebagai penyelamat produsen pangan dengan membeli
surplus produksi.
Ketahanan pangan
Terkait stok/cadangan, keberadaan Peraturan Pemerintah No
17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi amat penting. PP ini merupakan
aturan turunan dari UU Pangan. Dalam PP itu cadangan pangan terbagi tiga
level: pemerintah pusat, daerah, dan desa.
Di Pasal 3 PP No 17/2015 diatur, cadangan hanya ada pada pangan
pokok tertentu yang diproduksi dan dikonsumsi sebagian besar masyarakat
Indonesia. Karena jika ketersediaan dan harganya terganggu dapat memengaruhi
stabilitas ekonomi dan menimbulkan gejolak sosial. Jenis PPT ditetapkan
presiden; jumlah cadangan ditetapkan kepala lembaga pemerintah.
Presiden segera menetapkan jenis PPT yang diatur cadangannya,
segera menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal
126-129 UU Pangan. Kepala lembaga menetapkan jumlah cadangan PPT. Didukung
anggaran memadai, tak berlebihan berharap stabilisasi pangan memasuki rezim
baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar