Pendidikan dan Perang Melawan Prostitusi
A Ilyas Ismail ; Dosen
UIN Syarif Hidayatullah/Dekan FAI UIA Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 15 Juni 2015
AKHIR-AKHIR ini, Indonesia sering di sebut
sebagai negeri serbadarurat, yakni darurat korupsi, darurat narkoba, ditambah
darurat pornografi dan prostitusi.Tak kurang dari Mensos Khofifah Indar
Parawansa mendeklarasikan `darurat prostitusi' dan merekomendasikan agar
dibentuk `Satgas Khusus Antipornografi dan Prostitusi.'
Dari survei yang dilakukan Google, diketahui
bahwa Indonesia termasuk 10 negara yang paling banyak mengakses situs porno.
Pada 2005, Indonesia menempati peringkat ke-7, pada 2007 peringkat ke-5, pada
2009 peringkat ke-3, dan pada 2014 peringkat ke-2 di bawah India. Data
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dalam hal akses situs porno terus
menanjak dari waktu ke waktu dan berpeluang menjadi peringkat nomor wahid di
dunia.
Banyak teori tentang sebab atau faktor mengapa
banyak orang terjerumus ke dalam lembah prostitusi. Roger Matthews mengaitkan
prostitusi dengan rendahnya pendidikan dan training. Dalam risetnya, Roger menemukan bahwa 59% wanita
menjadi PSK karena tidak memperoleh training
dan pendidikan yang memadai. Tidak adanya akses terhadap pendidikan,
ditengarai sebagai determinant factor yang menyeret wanita pada pelacuran (Roger Metthews, Exiting Prostitution: 2014).
Berbeda dengan Roger, Min Liu memandang
materialisme, yaitu paham yang secara umum dimaknai sebagai hasrat yang
tinggi untuk kaya dan mengumpulkan kekayaan sebanyakbanyaknya agar bisa
menikmati hidup, diidentifikasi sebagai faktor penentu meraknya pelacuran
dalam masyarakat Tiongkok pascareformasi. (Min Liu, Migration, Prostitution, and Human Trafficking: 2013).
Hasil penelitian mendalam Min Liu tentang
prostitusi, menarik untuk disimak. Dalam temuan Liu, materialisme ialah faktor
utama pelacuran. Argumennya dikemukakan begini, materialisme memompa semangat
untuk kaya atau menjadi kaya, tanpa peduli dari mana kekayaan itu diperoleh,
halal atau haram. Hasrat untuk kaya, menurut Liu, ialah etos paling kuat
dalam paham materialisme. Masyarakat yang materialistis-hedonisme mencela
kemiskinan, tetapi mereka tidak mencela pelacuran dan bisnis perempuan.
Selain materialisme, masih menurut temuan Liu,
faktor berikutnya ialah rendahnya pendidikan dan pelatihan. Dalam peneli tian
Liu, ditemukan bahwa hasrat yang tinggi untuk kaya di satu pihak, tetapi
tidak ada kapasitas dan kapabili tas karena rendahnya pendidikan di lain
pihak menjadi faktor dominan yang paling banyak menyeret orang terjerumus ke
lembah pelacuran.
Dalam wawancara yang dilakukan Liu terhadap
sejumlah PSK, diperoleh jawaban sama, yaitu bahwa mereka terjerumus ke dunia
hitam hanya karena ingin kaya dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Dikatakan, tanpa pendidikan dan tanpa uang, mereka tidak dapat diserap dan
bekerja di sektor-sektor pekerjaan yang formal (baca: halal). Maka untuk
menjadi kaya dan banyak uang, jalan satu-satunya yang bisa ditempuh ialah
melacur. Oleh sebab itu, prostitusi disebut Liu sebagai `To take a shortcut to making money.'
Rekomendasi
Untuk melawan prostitusi, banyak solusi dan
rekomendasi yang bisa ditawarkan. Gubernur Ahok, seperti diketahui,
mengusulkan agar prostitusi dilegalisasi dan dilokalisasi demi ketertiban
umum dan demi mengambil risiko atau mudarat lebih rendah (al-akhd bi akhaff aldhararayn). Namun,
usulan itu ditolak dan dikecam banyak pihak, karena prostitusi sebagai biang
kejahatan (umm al-khaba'its) harus
diberantas, bukan ditoleransi apalagi dilegalisasi.
Usulan lain ialah penegakan hukum (law enforcement) terhadap U U Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pornografi. UU ini sudah lama disahkan, tetapi kurang kuat
dalam implementasi dan pelaksanaannya. Dalam kaitan ini, pihak kepolisian
diharapkan mampu menegakkan UU tersebut sehingga bisa menertibkan, dan dalam jangka
panjang, membebaskan masyarakat dari berbagai bentuk pelacuran, baik yang
terselubung, remang-remang, nyata dan terbuka, sampai pada praktik-praktik
pela curan yang menggunakan media sosial (prostitusi online) yang belakangan
makin ngetren.
Di atas semua itu, usulan paling rasional,
strategis, dan jangka panjang, pada hemat penulis, ialah upaya penguatan dan
pemberdayaan pendidikan kita. Pendidikan harus mempertinggi iman-takwa (imtak). Asumsi dasarnya ialah bahwa
kalau seseorang beriman, ia tidak akan melacur dan menjual diri meskipun
lapar atau dihimpit kemiskinan.
Untuk mencegah pornografi dan prostitusi,
Nicharee Thiemklin merekomendasikan agar peserta didik diberikan pemahaman
yang lebih baik mengenai empat hal berikut ini.
Pertama, memahami kedudukan manusia sebagai
makhluk tertinggi ciptaan Tuhan, yang dalam bahasa agama kita dina makan khalifatullah fi al-ardh. Kedua, mema
hami kehormatan dan kemuliaan manusia, termasuk hak-hak dasar (HAM) dan hak
untuk memenuhi kebutuhan pokok (baca: seksualitas)-nya secara benar dan
bertanggung jawab.
Ketiga, menumbuhkan semangat dan motivasi yang
tinggi untuk berbuat baik atau semacam menumbuhkan kecerdasan moral, agar
peserta didik bisa dan membiasakan diri bersikap etis dan bertindak benar.
Keempat, ada kontrol yang lebih kuat dari masyarakat tentang pergaulan dan
hubungan laki-laki dan perempuan, baik di sekolah, dunia kerja, maupun di te
ngah-tengah masyarakat agar tidak terjebak ke dalam kehidupan yang permissive
dan hedonis. (Nicharee Thiemklin,
Participatory Action Research, 2007).
Di samping keempat hal tersebut, Thiemklin
merekomendasikan satu hal lagi, yaitu penguatan fungsi keluarga. Dalam
pengamatannya, kasus-kasus prostitusi dan perdagangan perempuan di Thailand,
India, dan di tempat-tempat lain, termasuk di Indonesia, mesti melibatkan
pihak-pihak (anak-anak) yang kurang mendapat perhatian dalam keluarga.
Pandangan Thiemklin ini tampak klise dan normatif, tetapi itulah kenyataan
yang terjadi dan tak terbantahkan.
Di sinilah, hemat penulis, letak pentingnya
fungsi pendidikan. Strategi penguatan pendidikan dengan kedua maknanya,
seperti dikemukakan di atas, berpeluang besar untuk mengurangi angka
prostitusi dalam jangka panjang. Pada hemat penulis, manusia yang terdidik
memiliki kompetensi, serta memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap, ditambah
dukungan moral dan agama yang kuat. Insya Allah, ia dijamin tidak akan
melacur dan menjual diri.
Melawan prostitusi, senyatanya, tak boleh kita
lakukan seperti halnya tukang pemadam kebakaran yang heboh dan
berteriak-teriak setelah api membesar. Kenyataan inilah yang kita alami
sekarang ini. Perlu disadari bahwa pelacuran itu akan hilang kalau pelacur
tidak ada. Untuk itu, jangan berteriak-teriak `darurat prostitusi', tetapi
kita abai dan gagal memperbaiki kehidupan rakyat, baik secara ekonomi,
pendidikan, agama, maupun sosio-kultural. Wallahualam!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar