Selasa, 16 Juni 2015

Pendidikan dan Perang Melawan Prostitusi

Pendidikan dan Perang Melawan Prostitusi

A Ilyas Ismail  ;  Dosen UIN Syarif Hidayatullah/Dekan FAI UIA Jakarta
MEDIA INDONESIA, 15 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

AKHIR-AKHIR ini, Indonesia sering di sebut sebagai negeri serbadarurat, yakni darurat korupsi, darurat narkoba, ditambah darurat pornografi dan prostitusi.Tak kurang dari Mensos Khofifah Indar Parawansa mendeklarasikan `darurat prostitusi' dan merekomendasikan agar dibentuk `Satgas Khusus Antipornografi dan Prostitusi.'

Dari survei yang dilakukan Google, diketahui bahwa Indonesia termasuk 10 negara yang paling banyak mengakses situs porno. Pada 2005, Indonesia menempati peringkat ke-7, pada 2007 peringkat ke-5, pada 2009 peringkat ke-3, dan pada 2014 peringkat ke-2 di bawah India. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dalam hal akses situs porno terus menanjak dari waktu ke waktu dan berpeluang menjadi peringkat nomor wahid di dunia.

Banyak teori tentang sebab atau faktor mengapa banyak orang terjerumus ke dalam lembah prostitusi. Roger Matthews mengaitkan prostitusi dengan rendahnya pendidikan dan training. Dalam risetnya, Roger menemukan bahwa 59% wanita menjadi PSK karena tidak memperoleh training dan pendidikan yang memadai. Tidak adanya akses terhadap pendidikan, ditengarai sebagai determinant factor yang menyeret wanita pada pelacuran (Roger Metthews, Exiting Prostitution: 2014).

Berbeda dengan Roger, Min Liu memandang materialisme, yaitu paham yang secara umum dimaknai sebagai hasrat yang tinggi untuk kaya dan mengumpulkan kekayaan sebanyakbanyaknya agar bisa menikmati hidup, diidentifikasi sebagai faktor penentu meraknya pelacuran dalam masyarakat Tiongkok pascareformasi. (Min Liu, Migration, Prostitution, and Human Trafficking: 2013).

Hasil penelitian mendalam Min Liu tentang prostitusi, menarik untuk disimak. Dalam temuan Liu, materialisme ialah faktor utama pelacuran. Argumennya dikemukakan begini, materialisme memompa semangat untuk kaya atau menjadi kaya, tanpa peduli dari mana kekayaan itu diperoleh, halal atau haram. Hasrat untuk kaya, menurut Liu, ialah etos paling kuat dalam paham materialisme. Masyarakat yang materialistis-hedonisme mencela kemiskinan, tetapi mereka tidak mencela pelacuran dan bisnis perempuan.

Selain materialisme, masih menurut temuan Liu, faktor berikutnya ialah rendahnya pendidikan dan pelatihan. Dalam peneli tian Liu, ditemukan bahwa hasrat yang tinggi untuk kaya di satu pihak, tetapi tidak ada kapasitas dan kapabili tas karena rendahnya pendidikan di lain pihak menjadi faktor dominan yang paling banyak menyeret orang terjerumus ke lembah pelacuran.

Dalam wawancara yang dilakukan Liu terhadap sejumlah PSK, diperoleh jawaban sama, yaitu bahwa mereka terjerumus ke dunia hitam hanya karena ingin kaya dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Dikatakan, tanpa pendidikan dan tanpa uang, mereka tidak dapat diserap dan bekerja di sektor-sektor pekerjaan yang formal (baca: halal). Maka untuk menjadi kaya dan banyak uang, jalan satu-satunya yang bisa ditempuh ialah melacur. Oleh sebab itu, prostitusi disebut Liu sebagai `To take a shortcut to making money.'

Rekomendasi

Untuk melawan prostitusi, banyak solusi dan rekomendasi yang bisa ditawarkan. Gubernur Ahok, seperti diketahui, mengusulkan agar prostitusi dilegalisasi dan dilokalisasi demi ketertiban umum dan demi mengambil risiko atau mudarat lebih rendah (al-akhd bi akhaff aldhararayn). Namun, usulan itu ditolak dan dikecam banyak pihak, karena prostitusi sebagai biang kejahatan (umm al-khaba'its) harus diberantas, bukan ditoleransi apalagi dilegalisasi.

Usulan lain ialah penegakan hukum (law enforcement) terhadap U U Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. UU ini sudah lama disahkan, tetapi kurang kuat dalam implementasi dan pelaksanaannya. Dalam kaitan ini, pihak kepolisian diharapkan mampu menegakkan UU tersebut sehingga bisa menertibkan, dan dalam jangka panjang, membebaskan masyarakat dari berbagai bentuk pelacuran, baik yang terselubung, remang-remang, nyata dan terbuka, sampai pada praktik-praktik pela curan yang menggunakan media sosial (prostitusi online) yang belakangan makin ngetren.

Di atas semua itu, usulan paling rasional, strategis, dan jangka panjang, pada hemat penulis, ialah upaya penguatan dan pemberdayaan pendidikan kita. Pendidikan harus mempertinggi iman-takwa (imtak). Asumsi dasarnya ialah bahwa kalau seseorang beriman, ia tidak akan melacur dan menjual diri meskipun lapar atau dihimpit kemiskinan.

Untuk mencegah pornografi dan prostitusi, Nicharee Thiemklin merekomendasikan agar peserta didik diberikan pemahaman yang lebih baik mengenai empat hal berikut ini.

Pertama, memahami kedudukan manusia sebagai makhluk tertinggi ciptaan Tuhan, yang dalam bahasa agama kita dina makan khalifatullah fi al-ardh. Kedua, mema hami kehormatan dan kemuliaan manusia, termasuk hak-hak dasar (HAM) dan hak untuk memenuhi kebutuhan pokok (baca: seksualitas)-nya secara benar dan bertanggung jawab.

Ketiga, menumbuhkan semangat dan motivasi yang tinggi untuk berbuat baik atau semacam menumbuhkan kecerdasan moral, agar peserta didik bisa dan membiasakan diri bersikap etis dan bertindak benar. Keempat, ada kontrol yang lebih kuat dari masyarakat tentang pergaulan dan hubungan laki-laki dan perempuan, baik di sekolah, dunia kerja, maupun di te ngah-tengah masyarakat agar tidak terjebak ke dalam kehidupan yang permissive dan hedonis. (Nicharee Thiemklin, Participatory Action Research, 2007).

Di samping keempat hal tersebut, Thiemklin merekomendasikan satu hal lagi, yaitu penguatan fungsi keluarga. Dalam pengamatannya, kasus-kasus prostitusi dan perdagangan perempuan di Thailand, India, dan di tempat-tempat lain, termasuk di Indonesia, mesti melibatkan pihak-pihak (anak-anak) yang kurang mendapat perhatian dalam keluarga. Pandangan Thiemklin ini tampak klise dan normatif, tetapi itulah kenyataan yang terjadi dan tak terbantahkan.

Di sinilah, hemat penulis, letak pentingnya fungsi pendidikan. Strategi penguatan pendidikan dengan kedua maknanya, seperti dikemukakan di atas, berpeluang besar untuk mengurangi angka prostitusi dalam jangka panjang. Pada hemat penulis, manusia yang terdidik memiliki kompetensi, serta memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap, ditambah dukungan moral dan agama yang kuat. Insya Allah, ia dijamin tidak akan melacur dan menjual diri.

Melawan prostitusi, senyatanya, tak boleh kita lakukan seperti halnya tukang pemadam kebakaran yang heboh dan berteriak-teriak setelah api membesar. Kenyataan inilah yang kita alami sekarang ini. Perlu disadari bahwa pelacuran itu akan hilang kalau pelacur tidak ada. Untuk itu, jangan berteriak-teriak `darurat prostitusi', tetapi kita abai dan gagal memperbaiki kehidupan rakyat, baik secara ekonomi, pendidikan, agama, maupun sosio-kultural. Wallahualam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar