Merayakan
Hidup
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 31 Mei 2015
”Hidup itu sejujurnya kayak...,” kata seorang karyawan
saya beberapa tahun lalu. Kalimat itu tak bisa saya tulis secara utuh karena
itu adalah sebuah kalimat yang mengandung umpatan kasar, mengandung amarah
dan kekesalan.
Sukacita dan dukacita
Ia juga berpikir bahwa
semua yang berbau positif yang pernah ia baca, ia dengar, dan ia lakukan
adalah sebuah tindakan yang mau tak mau harus dilakukan, karena sesungguhnya
seseorang takut sekali melihat bahwa hidup yang sesungguhnya itu, adalah jauh
dari menyenangkan. ”Kita membungkus
hidup yang susah itu seperti kado. Memilih bungkus yang menarik, cantik, dan
indah untuk sebuah isi yang menyakitkan.”
Mengapa tiba-tiba di
sebuah pagi saya teringat dengan perkataan karyawan saya itu? Saya sedang
menyaksikan sebuah tayangan film di televisi. Di salah satu adegannya,
seorang laki-laki mengungkapkan pendapatnya agar manusia itu merayakan hidup,
dan bukan hanya sekadar hidup.
Kata kerja merayakan
digunakan untuk memperlihatkan sebuah aktivitas yang positif, yang
mendatangkan rasa sukacita, gembira, menyenangkan, apa pun penyebab
kegembiraan itu, baik di ruang publik atau bersifat pribadi.
Contoh. Merayakan hari
ulang tahun, merayakan kenaikan kelas, jabatan, merayakan pernikahan,
merayakan terbebasnya dari penjara, terbebas dari dakwaan korupsi, terbebas
dari penyakit yang mematikan, merayakan hari kemerdekaan sebuah negara,
merayakan sebuah kemenangan tender, atau pemilihan presiden.
Sepengetahuan saya,
tanpa melihat kamus atau buku apa pun, tak ada seorang pun mengatakan, kalau
ia merayakan dengan sukacita atas berpulangnya orang yang dicintainya, meski
seseorang tahu bahwa kematian itu membebaskan seseorang dari sebuah
penderitaan. Itu mengapa, pada situasi semacam itu, orang mengatakan saya
turut berdukacita.
Saya juga tak pernah
membaca ada orang yang merayakan pemerkosaan atas dirinya, merayakan sebuah
pemutusan hubungan cinta, apalagi karena perselingkuhan meski mungkin setelah
beberapa waktu berlalu, mereka bisa bersyukur terbebas dari pasangan yang tak
setia itu.
Saya juga tak pernah
melihat orang bergembira merayakan hasil pemeriksaan kesehatan dan hasilnya
adalah kanker payudara stadium akhir, atau ada yang merayakan bahwa ia tak
naik kelas, dikeluarkan dari pekerjaan, baik karena perusahaan mengalami
kesusahan atau karena kesalahannya sendiri.
Tertawa dan menangis
Jadi apa yang dimaksud
dengan merayakan kehidupan? Kalau hanya melihat dari kata merayakan, dan
penggunaan dari kata itu, seharusnya yang dirayakan adalah semua kejadian
yang hanya mendatangkan rasa gembira, bukan?
Tetapi apa kenyataannya?
Kehidupan yang dilakoni itu selalu memiliki dua wajah. Jadi apakah seharusnya
kita juga merayakan hidup yang juga mampu mengundang datangnya kekecewaan dan
kesakitan baik fisik maupun jiwa?
Kalau seandainya kita
merayakan kesakitan itu, saya kok tiba-tiba kepikiran seperti sedang
menikmati hubungan seksual yang dikelompokkan sebagai sadomasochism. Sebuah hubungan seksual di mana seseorang
menikmati sebuah kesakitan, baik secara fisik dan mental, yang dilakukan
orang lain kepadanya.
Setelah saya berpikir
demikian, saya jadi mulai keder sendiri. Apakah sesungguhnya saya ini seperti
sedang melakukan sadomasochism? Lha
wonghidup ini acapkali sungguh menyakitkan. Tetapi setiap kali yang menyakitkan
itu datang, teman-teman saya selalu mengatakan nasihat positif.
”Kamu bisa belajar
dari kesakitan ini, kamu bisa naik kelas dengan kesakitan ini, kamu bisa
memiliki pengalaman baru, yang kalau kamu bisa lalui, maka kamu bisa memberi
kekuatan buat mereka yang sedang mengalaminya. Dinikmatin aja, ntar kan
selesai juga.”
Jadi mendengar nasihat
mulia itu, saya merasa tak bedanya dengan mereka yang merayakan kesakitan
sebagai sebuah kenikmatan. Kalau kemudian hubungan seksual itu dikelompokkan
sebuah hal yang tidak wajar, maka saya jadi bertanya. Apakah hidup yang
menyakitkan itu wajar, hanya karena saya bisa naik kelas karenanya? Apakah
kalimat bisa naik kelas itu adalah bungkus kado yang membuat kesakitan itu
kelihatan sedikit ”cantik”?
Saya jadi berpikir,
jadi benar kalau karyawan saya di atas memiliki pendapat bahwa hidup itu
sejujurnya menyakitkan dan sejujurnya sebagai manusia saya tak mau tersakiti.
Oleh karena itu, saya mencari jalan keluar agar mengurangi kesakitan itu,
dengan selalu berusaha menyediakan antidot berbentuk kalimat, pikiran, dan
tindakan yang positif.
Jadi apa arti
merayakan hidup itu kalau begitu? Apakah itu berarti merayakan kehebatan
saya, yang memiliki kemampuan membungkus kado dengan indah, melalui cara
berpikir positif untuk sebuah kejadian yang menyayat hati, yang mengecewakan,
yang meluluhlantakkan?
Atau merayakan hidup
itu, adalah lebih kepada merayakan keberanian menghadapi segala situasi, dan
tak menyerah karenanya, tanpa harus selalu berusaha mencari antidotnya. Jadi
mungkin, merayakan hidup itu adalah merayakan kemampuan tertawa dan menangis
tanpa embel-embel di belakangnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar