Bahasa
Tubuh dan Pengambilan Keputusan
Sawitri Supardi Sadarjoen ; Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 31 Mei 2015
Kata-kata bukan cara
satu-satunya dalam berkomunikasi dan mendapatkan informasi dari orang lain.
Bicara adalah penting, sejauh disertai oleh pengamatan apakah orang lain yang
berbicara dengan kita mendasari ungkapannya dengan perilaku yang penuh rasa
tanggung jawab.
Pada dasarnya kita
belajar banyak tentang orang lain melalui seluruh rangkaian penghayatan perasaan
kita. Memilih pasangan yang intim tidak melulu terkait dengan masalah
intelektual, tetapi juga tugas dari hati kita yang bekerja dibalik ungkapan
bahasa yang menyertakan perasaan, keinginan-keinginan, kebutuhan dasar serta
intuisi kita.
Pada dasarnya pula
kita akan bisa memahami orang lain, tidak hanya melalui kata-kata yang keluar
dari mulutnya, tetapi melalui pemahaman intuisi atau ”membaca” hal-hal yang
terungkap melalui perilaku nonverbal yang terungkap sebagai bahasa tubuhnya.
Kita tahu bahwa melalui badan kita, kita dapat menunjukkan interaksi yang
memiliki makna yang spesifik dan muncul dalam konteks pemberdayaan perasaan,
gairah, dan inspirasi atau justru menunjukkan makna yang sebaliknya. Kita
seyogianya mengetahui juga bahwa melalui bahasa tubuh kita dapat menangkap
dan meyakini sesuatu sehingga kita dapat menolak sesuatu dengan tegas.
Intuisi
Apa yang kita nyatakan
sebagai intuisi atau ”reaksi mental terbaik” adalah kapasitas manusia yang
luar biasa yang mampu melakukan proses spesifik terhadap informasi yang
datang dari lingkungan tentang diri orang tertentu, yang terkandung di balik
kata-kata yang diungkapkannya.
Saat ini saya duduk di
satu terminal bus selama 20 menit di satu kota kecil di Jawa Tengah dan
memandang pada satu kelompok anak muda yang terdiri dari laki-laki dan
perempuan sedang berbicara mendiskusikan sesuatu dalam bahasa Jawa. Saya
amati dan mendapatkan salah satu dari anak-anak muda tersebut menampilkan
dirinya dengan sangat menarik, kecuali dia cukup tampan dan dia juga bersikap
simpatik yang serta-merta membuat saya seolah ingin membawanya ke Bandung
untuk menjadi teman saya.
Saya menilai respons
saya terhadap pengamatan saya tersebut merupakan hasil penilaian saya
terhadap bahasa tubuh yang jelas dari pemuda tersebut, pemuda tersebut cukup
tampan, kemudian posisi dan gayanya bersikap sangat menarik. Sebetulnya, jika
kita cermati, saat itu telah terjadi interaksi nonverbal antara saya dan
pemuda tersebut yang tercipta secara otomatis dan sama sekali tidak
menyertakan energi psikis yang spesifik. Perasaan tersebut datang dengan
sendirinya dan membuat keyakinan diri terhadapnya terasa mantap. Contoh
inilah yang dimaksud dengan gerak intuitif.
Jika saja saya
mendapat kesempatan untuk mengungkap perasaan yang positif terhadap dirinya
saat itu, maka akan terungkap kalimat sebagai berikut, ”Saya merasa dekat
denganmu.” Dalam hal ini saya lebih percaya pada apa yang saya rasakan
daripada dengan kata-kata apa pun yang saya dengar. Dalam situasi ini, saya
membuat keputusan yang sifatnya otomatis tentang siapa yang berhati baik,
tepercaya, dan dapat diandalkan perilakunya di masa mendatang dan siapa yang
tidak termasuk dalam kelompok tersebut.
Tentu saja kita bisa
saja berbuat salah (terutama jika kita berpikir bahwa pemuda tersebut adalah
seorang yang pemalu, misalnya). Namun, adalah sangat menarik jika kita
berpikir tentang bagaimana kita mendapatkan penghayatan tentang diri
seseorang secara otomatis dan tidak mengandalkan pada isi dari apa yang dia
ucapkan. Nah, untuk membaca kondisi orang lain secara akurat tentang diri
pemuda itu, kita memerlukan tambahan perasaan nyaman, aman, dan relaks dengan
kehadirannya serta kita percaya betul akan hasil pemikiran kita tersebut.
Hal yang terpenting
adalah suara yang kita butuhkan untuk menempa keyakinan di dalam relasi
dengan orang lain, pada dasarnya ada dalam diri kita sendiri. Namun pada sisi
lain, kita juga membutuhkan kepercayaan diri kita sendiri agar kita mampu
memproses informasi-informasi yang penting dengan hasil yang akurat. Di
samping intuisi yang tajam, kita pun seyogianya menyertakan intuisi tersebut
dengan mencari fakta yang nyata melalui informasi yang dapat diterima oleh
hasil pemikiran lanjut kita. Kita membutuhkan pengetahuan yang jelas dan
dengan penyertaan suara tubuh yang kuat untuk membawa pemahaman kita tersebut
dalam relasi yang tajam, terfokus, dengan segala kemungkinannya.
Alhasil, memang perlu
memberdayakan kemampuan mendengar bahasa tubuh sambil menyertakan
pemberdayaan intuisi, tetapi seyogianya tetap menjaga kewaspadaan agar
perolehan makna bahasa tubuh akan membantu kita dalam porsi yang optimal
dalam pengambilan keputusan apa yang terbaik bagai diri kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar