Jalur Sutra Tiongkok
versus Pendulum Nusantara
Nasmay L Anas ; Pengamat Kemaritiman dan Koresponden
MaritimIndonesia.co
|
HALUAN,
01 Desember 2014
Rencana Presiden Joko Widodo menjadikan Indonesia sebagai kekuatan
maritim dunia perlu ditelah lebih dalam. Sejak berkampanye sebagai
calon presiden, keinginannya itu terus menerus didengungkannya. Bahkan
dalam KTT APEC di Beijing ia memaparkan visi dan misinya itu di depan para
pemimpin dunia.
Dalam pembicaraannya dengan
Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang, intisari visi
misinya itu juga diungkapkannya. Dari pembicaraan itu, kabarnya, tercapailah
kesepakatan untuk mengintegrasikan jalur maritim Nusantara dengan Jalur Sutra
Tiongkok yang sudah dikenal lama.
Diharapkan, dengan kerjasama ini
akan terbangun jalur perdagangan internasional yang ramai, tak hanya antara
Indonesia dan Tiongkok, tetapi juga melibatkan banyak negara di sepanjang
wilayah Jalur Sutra itu. Yakni jalur perdagangan dari Tiongkok sejauh 7.000
km, melewati Asia Tengah, Timur Tengah, dan Mediterania, sampai ke Eropa.
Dapat kita maklumi, Presiden
tentu mendapatkan banyak masukan dan bisikan dari para pakar tentang
tantangan di depan. Salah satu masalah yang tak boleh diabaikan adalah yang
menyangkut pelabuhan di seluruh penjuru Nusantara.
Tak bisa dipungkiri, kondisi
pelabuhan kita menyedihkan, karena kurang berkualitas, sehingga lebih dari
75% barang yang diekspor dari Indonesia harus melalui Singapura. Negara kecil
yang berpenduduk sama seperti seperempat Jakarta itu mendikte arus
perdagangan kita!
Dapat dipahami, disamping
berkomitmen untuk menggabungkan jalur maritim Nusantara dengan Jalur Sutra
Tiongkok, Jokowi juga berkomitmen membangun dan meningkatkan sedikitnya
27 pelabuhan di Nusantara. Yang menarik, dari 27 pelabuhan itu, konsesi
pembangunan 22 pelabuhan senilai puluhan triliun rupiah kabarnya diberikan
kepada investor-investor Tiongkok.
Desember ini Jokowi akan
berkunjung ke Busan, kota kedua terbesar di Korea Selatan. Mungkin dengan
tujuan untuk menawarkan pembangunan lima pelabuhan lagi, sehingga rencana pembangunan
27 pelabuhan itu dapat dilakukan dengan modal dan teknologi asing.
Tidaklah mengherankan bila
nanti Korea Selatan mempertanyakan konsesi 22 proyek pelabuhan yang diserahkan
kepada Tiongkok itu. Sekarang saja, menurut beberapa sumber kredibel di
Korea Selatan, pelaku industri di negeri gingseng itu sudah mengangkat alis
matanya. Apakah konsesi sebanyak itu didasari pada pertimbangan-pertimbangan
yang cukup obyektif? Tentunya kita berpikir positif saja, bahwa
keputusan Jokowi memberikan konsesi proyek kepada Tiongkok didasari
pertimbangan matang, termasuk keunggulan Tiongkok dalam teknologi dan layanan
kepelabuhanan.
Rencana ini disambut baik.
Tapi ketika Poros Maritim Dunia dimaksud akan disinergikan dengan Jalur
Sutra Tiongkok, yang menghubungkan jalur darat dari Xian menuju ke barat
kota Lanzhou dan Urumqi, terus ke Asia Tengah, Timur Tengah, dan Eropa, maka
persoalannya menjadi lebih kompleks. Sebab hal ini bukan sekadar membangun
infrastruktur dan layanan yang terintegrasi lintas Negara, melainkan memasukkan
Indonesia ke dalam ring pertandingan dimana daya saing kita belum cukup
kuat.
Kita perlu bertanya, apakah
langkah ini akan memberi manfaat ekonomi yang lebih besar kepada Indonesia
dibanding manfaat yang akan dipanen oleh Tiongkok. Di titik inilah Indonesia
mesti berbenah sambil membangun agar tidak sekadar dimanfaatkan oleh pemain
regional lainnya.
Jika dilihat lebih teliti,
Jalur Sutra Tiongkok itu juga menghubungkan Guangdong dan Hainan, terus ke
Selat Malaka dan Samudera Hindia. Kemudian, melalui Afrika terus ke Laut
Merah dan Mediterania.
Diharapkan, integrasi kepulauan
Nusantara sebagai Poros Maritim Dunia dengan Jalur Sutra tersebut akan
semakin membuka jalur perdagangan internasional dari dan ke berbagai wilayah
di negeri kita.
Semua itu patut diapresiasi.
Tetapi sebelum mensinergikan Poros Maritim kita dengan Jalur Sutra Tiongkok,
mestinya kita renungkan kembali apa sesungguhnya yang kita butuhkan
dalam merealisasikan rencana itu. Kita memang butuh hubungan internasional
yang luas dan volume perdagangan yang terus meningkat; tapi semua itu harus
untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional Indonesia bukan untuk membuka
gerbang-gerbang baru bagi membanjirnya produk-produk asing saat daya saing
produk kita semakin rontok.
Untuk saat ini mungkin kita
lebih membutuhkan konektivitas yang baik dan memadai antar-pelabuhan di
seluruh Nusantara, sehingga biaya logistik bisa ditekan. Dengan demikian,
kesenjangan antara Indonesia bagian timur dan barat bisa dikurangi. Tidak
bisa terus menerus kita membiarkan harga semen yang di Jawa sekitar Rp 50
ribu per sak menjadi Rp 1 juta atau lebih di Papua.
Untuk apa kita membangun
hubungan internasional yang luas, dengan memanfaatkan Jalur Sutra Tiongkok
segala, jika hal itu tidak memperbaiki kondisi di dalam negeri kita? Bukankah
yang lebih kita butuhkan adalah meningkatkan kesejahteraan serta mengurangi
kesenjangan antarwilayah?
Bukankah mengurangi biaya
logistik seperti yang selama ini diperjuangkan oleh Dirut PT Pelindo II
(Indonesia Port Corporation) R.J. Lino adalah cara terbaik untuk memangkas
ekonomi biaya tinggi yang menghambat peningkatan daya saing bangsa?
Indonesia membutuhkan road map (peta jalan) pembangunan kemaritiman yang jelas dan
komprehensif. Tidak bisa masing-masing kementerian berjalan sendiri-sendiri
dan menggulirkan proyeknya sendiri-sendiri tanpa arah dan tanpa koordinasi
yang berbasis pada peta jalan dimaksud. Peta jalan itu perlu didasari pada
pertimbangan tren kompetisi perdagangan dan industri di masa depan, bukan
pada kondisi masa kini saja.
Poros maritim yang diinginkan
Jokowi tak bisa dikerjakan hanya oleh satu atau dua kementerian ekonomi.
Kementerian Perhubungan terlalu sempit untuk merealisasikannya, begitu pun
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Perindustrian,
dan sebagainya.
Perlu dibentuk semacam badan
koordinasi antar kementerian sejenis UKP4 yang ketuanya dapat langsung
melapor ke presiden tentang jalannya program pembangunan poros maritim
dimaksud. Badan ini mesti merupakan institusi Negara yang tetap berfungsi,
sekalipun terjadi pergantian kepemimpinan nasional.
Jika tidak demikian, maka
program-programnya akan dihentikan ketika ada presiden baru memerintah. Nasib
yang menimpa program MP3EI harus menjadi pelajaran, sebab jarak pandang para
pemimpin politik hanya sejauh lima tahun ke depan. Padahal untuk merealisasikan
poros maritim dunia, lima tahun saja tidaklah cukup.
Jalan tengah yang praktis
adalah menggabungkan ide Presiden Jokowi dengan konsep yang sudah selama
setahun terakhir ini digulirkan oleh Dirut PT Pelindo II, Pendulum Nusantara.
Intinya, menggerakkan pendulum pembangunan dari Indonesia bagian barat ke
tengah dan timur. Untuk menggerakkannya, maka langkah yang perlu ditempuh
adalah memfasilitasi arus perdagangan barang ke bagian tengah dan timur agar
lebih marak sehingga akan terjadi multiplier effects terhadap perekonomian di
dua kawasan tersebut demi mengurangi kesenjangan dan menggairahkan
perekonomian secara lebih merata. Dampak turunannya adalah terjadinya
pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Untuk itulah maka prioritas
pembangunan perlu diletakkan pada peningkatan kualitas pelabuhan dari Papua
terus ke Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan kemudian Jawa dan
Sumatera.
Secara geografis, perlu dibangun
pelabuhan bertaraf internasional di Sorong, Kupang, Mataram, Ambon, Tarakan,
Balikpapan, Wakatobi, dan Makassar untuk menjadi gerbang utama arus
perdagangan internasional yang meladeni kapal-kapal besar dari Australia,
Selandia Baru, Papua New Guinea, Filipina, Guam, Korea, Jepang, Taiwan, dan
lainnya.
Andai saja pelabuhan-pelabuhan
dimaksud sudah ditingkatkan kualitasnya sebagai bandar internasional, maka
tak perlu arus perdagangan barang “didikte” oleh Singapura, sehingga manfaat
terbesarnya bisa menjadi milik bangsa Indonesia. Tidak seperti ironi yang
kini terjadi yaitu walaupun 45% arus barang dunia melalui perairan Indonesia,
manfaat terbesarnya justru masuk ke kantong negara-negara lain.
Visi IPC tentang upaya
pemerataan pembangunan melalui konsep Pendulum Nusantara ini telah pula
dipaparkan Lino di komunitas Institut Teknologi Bandung dan perguruan tinggi
lainnya, dan mendapat respons positif. Diharapkan, presiden dan tim
ekonominya akan memperkaya konsep poros maritim itu dengan konsep Pendulum
Nusantara dimaksud agar rencana besar untuk membangun Indonesia sebagai
poros maritim dunia dapat menjadi kenyataan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar