Doa
Anak Sekolah
Musyafak ; Staf di Balai Litbang Agama Semarang
|
KORAN
TEMPO, 15 Desember 2014
Wacana
membuka dan menutup proses belajar-mengajar dengan doa di sekolah-sekolah negeri
yang dilontarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan
bukanlah hal baru. Selama ini, hampir semua sekolah, dengan tata cara
masing-masing, sudah menerapkan doa ketika memulai pelajaran pertama dan
menutup pelajaran terakhir. Wacana berdoa rutin di sekolah itu justru akan
lebih substantif ketika dikonstruksi untuk menanamkan kesadaran pluralisme
dan multikulturalisme bagi warga sekolah.
Ritual
doa di sekolah memang perlu ditinjau ulang agar tidak menjadi praktek
dominasi penganut agama mayoritas terhadap minoritas. Kenyamanan dan
kekhidmatan doa anak didik yang berbeda-beda agama perlu dijamin. Lingkungan
sekolah dan ruang kelas harus dikondisikan menjadi ruang publik yang ramah
terhadap segala simbol atau keyakinan keagamaan yang diekspresikan oleh
setiap anak didik.
Salah
satu tujuan pendidikan, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU
Sisdiknas 2003, adalah membentuk manusia yang beriman dan bertakwa. Klausul
"beriman dan bertakwa" tersebut terkesan belum menyentuh tataran
kesalehan sosial yang bersifat antroposentris, yaitu kesalehan antarsesama
anak didik untuk bisa hidup bersama secara damai dan saling menghargai.
Beruntung,
PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan cermat memahami
kondisi pluralitas agama di Indonesia. Pendidikan agama, yang merupakan salah
satu bagian dari sistem pendidikan nasional, diorientasikan untuk membentuk
manusia yang, selain beriman dan bertakwa kepada Tuhan, mampu menjaga
kedamaian dan kerukunan hubungan antarumat beragama. Di sinilah vitalitas
guru agama punya makna untuk mengajarkan nilai-nilai multikulturalisme dan
cinta damai kepada anak-anak didiknya yang seagama. Guru-guru agama merupakan
percontohan bagi guru-guru lain untuk bersikap inklusif di tengah perbedaan
agama anak didik. Sikap inklusif menjadi modal sosial agar ritual berdoa
ketika memulai dan mengakhiri pembelajaran berjalan dengan khidmat tanpa
menimbulkan represi atau teror terhadap anak didik yang minoritas.
Masuk
akal jika ada pihak yang mengusulkan agar doa di kelas dilakukan dengan
bahasa Indonesia. Usul itu baik dalam konteks agar doa di kelas tidak
dimonopoli oleh agama tertentu. Namun doa dengan bahasa Indonesia justru
menghambat anak didik mengekspresikan ajaran agamanya. Bahasa merupakan salah
satu ekspresi keagamaan yang sangat penting dalam tiap-tiap agama. Penyamaan
bahasa doa sama halnya dengan melakukan melting pot (melebur) atas keragamaan
ekspresi religiositas. Hal itu bertentangan dengan prinsip dasar
multikulturalisme yang hendak menyajikan perbedaan sebagai salad bowl yang
mewadahi saban unsur yang berbeda tanpa menghilangkan identitas dan keunikan
masing-masing.
Alangkah
lebih baik jika doa bersama di kelas dengan anak didik yang berlainan agama
dilakukan tanpa dilafalkan. Kalaupun boleh diucapkan, doa hanya dibisikkan
secara lirih, sehingga telinga sendiri yang mendengar. Bagi satu kelas anak
didik yang kebetulan seagama, berdoa dengan pelafalan keras tentu tidak
menjadi masalah.
Wacana Menteri Anies, yang hendak mengatur tata tertib berdoa di
sekolah, perlu disikapi secara positif. Wacana ini merupakan momentum untuk
merekayasa kesadaran anak didik yang berbeda-beda agama untuk hidup rukun,
damai, dan saling menghargai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar