Redistribusi
Tanah Pertanian bagi Petani
Bambang Sutrisno ; Peneliti Senior
pada
Indonesia Center for Sustainable Development
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Agustus 2014
SETIAP pemerintahan
berganti, topik peningkatan pendapatan petani senantiasa menjadi bahan
kampanye yang disuarakan, baik pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden.
Urusan petani senantiasa menjadi sangat penting. Suara petani dan masyarakat
desa menguasai lebih dari 50% suara rakyat Indonesia.Tak mengherankan bila
setiap kontestan selalu berusaha merebut suara petani dengan janji-janji
peningkatan kesejahteraan bagi petani.
Peningkatan pendapatan
merupakan mimpi setiap petani. Mimpi-mimpi itu kemudian termanifestasi dalam
legenda akan datangnya ratu adil, pemimpin yang membawa kemakmuran dan
kesejahteraan bagi petani.Ratu adil inilah yang akan membawa kaum tani menuju
cita-cita kehidupan mereka, panen yang melimpah diikuti dengan harga yang
baik dan dalam keadaan harga-harga umum yang stabil.
Situasi tersebut
sangat dipahami bukan hanya oleh ahli-ahli pertanian saja, melainkan oleh
semua ahli politik di negeri ini. Setiap partai dan kontestan politik tidak
pernah alpa menaruh tekad memperbaiki kesejahteraan petani ke prioritas
teratas program kerjanya. Dengan harapan, mereka akan dipilih masyarakat tani
tentunya.
Menggantang asap
Usaha peningkatan
kesejahteraan petani tanpa redistribusi aset tanah kepada petani sama saja
dengan menggantang asap. Mengapa? Kita ketahui bahwa kepemilikan lahan
pertanian hanyalah 0,2 hektare (ha) per keluarga pertanian. Jumlah itu sangat
kecil untuk menghasilkan panen yang mampu mencukupi kebutuhan satu
keluarga.Bila saja tanah tersebut merupakan sawah beririgasi baik yang dapat
dipanen dua kali setahun, setiap keluarga akan menghasilkan gabah sebanyak
2,04 ton per tahun. Bila harga gabah mengikuti harga patokan pemerintah
sebesar Rp3.600 per kg, satu keluarga petani akan menghasilkan uang sejumlah
Rp7,3 juta per tahun atau rata-rata bulanan Rp612 ribu.
Sudah tentu nilai
tersebut kecil sekali untuk menghidupi satu orang, dengan ukuran desa
sekalipun, apalagi untuk menghidupi empat jiwa dalam satu keluarga. Bila
jumlah pendapatan itu kemudian dibelikan beras yang harganya sebesar Rp6.000
per kg, hasilnya setara dengan 102 kg beras per rumah tangga per bulan.
Jumlah itu cukup untuk tidak kelaparan, tetapi tidak akan cukup untuk
melakukan aktivitas harian lainnya.Jangankan untuk pendidikan, bahkan untuk
menjaga kesehatan keluarga agar tetap sehat pun jumlah itu sangat tidak
memadai.
Pemerintahan baru
presiden terpilih Joko Widodo dan wakil presiden terpilih Jusuf Kalla
memprogramkan redistribusi tanah kepada petani. Ini tentu kabar gembira bagi
para petani guram yang tidak memiliki lahan pertanian. Disebutkan sebagai
program prioritas saja sudah pasti membuat petani senang, apalagi kalau
dilaksanakan. Paling tidak mimpi para petani tidak sekadar mimpi, tetapi
sudah berubah menjadi harapan nyata.
Luas lahan yang
harusnya dimiliki petani tanaman pangan setidaknya 2 ha per keluarga petani.
Itu berarti setiap petani harus menambah luas lahan pertanian yang diolahnya
sebesar 10 kali lipat. Dengan luasan tersebut, petani akan meningkat
pendapatannya sedikitnya 10 kali lipat pula. Bila setiap rumah tangga
pertanian mampu menghasilkan pendapatan setidaknya Rp6 juta per keluarga per
bulan, sudah dapat dipastikan keluarga petani akan sejahtera.
Jumlah yang memadai
tersebut tidak hanya mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga petani, tetapi
juga mampu menjadi multiplier effect
bagi peningkatan ekonomi perdesaan. Peningkatan pendapatan petani akan
mendorong kebutuhan-kebutuhan sekunder mengalir ke desa. Peluang kerja di
daerah-daerah perdesaan juga akan terbuka. Pemuda-pemuda tani yang semula
memilih keluar dari desa akan kembali. Kegiatan pertanian dan ekonomi kecil
akan menjadi lebih semarak.
Proses redistribusi
aset lahan pertanian itu juga harus dilaksanakan seiring dengan kebijakan
kedaulatan pangan. Redistribusi aset bukan sekadar mengalihkan lahan pangan
dari pemilik saat ini kepada petani pemilik lahan yang baru. Lahan yang
didistribusikan juga harus benar-benar lahan baru yang semula bukan lahan
pertanian produktif. Dengan demikian, akan terjadi proses ekstensifikasi
lahan yang diperlukan untuk mencapai dan menjaga kedaulatan pangan nasional.
Tiga tantangan
Mewujudkan
redistribusi lahan pertanian bukan pekerjaan mudah. Ketersediaan tanah
menjadi masalah pertama. Di Jawa, luas lahan pertanian semakin menyusut
sehingga mau tak mau pemerintah mesti mengarahkan sasaran redistribusi lahan
ini ke luar Jawa. Lahan-lahan produktif di Jawa jumlahnya semakin terbatas. Jika
pun ada ketersediaan lahan yang masih belum optimal diusahakan, lahan
tersebut pastilah terbatas, di samping jumlahnya kecil dan lokasinya
terpencar (scattered).
Masalah kedua ialah
hadangan keterbatasan infrastruktur pertanian di luar Jawa. Bila redistribusi
lahan tanpa disertai dengan kesiapan infrastruktur, yang terjadi ialah proses
pemindahan kemiskinan semata.Infrastruktur jalan, irigasi, dan permukiman
harus disiapkan sehingga program itu bukan hanya proyek semata, melainkan
sudah menjadi satu kebutuhan pengembangan wilayah pangan.
Benturan akan
terjadi dengan ketersediaan lahan kehutanan dan lahanlahan hak guna usaha
(HGU) yang telah diberikan kepada perusahaan. Di sini diperlukan kerja keras
pemerintah untuk menyelesaikan masalahmasalah tersebut.
Infrastruktur yang
harus disediakan saat ini juga tidaklah murah. Pembangunan jalan, misalnya,
tidak hanya memerlukan biaya, tetapi juga mesti disediakan biaya
pembebasannya. Lokasi lahan pertanian produktif juga tidaklah dekat dengan
kota-kota yang telah memiliki infrastruktur yang baik, tetapi akan lebih ke
pedalaman. Belum lagi kebutuhan akan air dan jaringan irigasi. Di samping
itu, juga dibutuhkan listrik yang memadai. Ini merupakan prasarana dasar yang
mesti disediakan pemerintah.
Tantangan berikutnya
ialah bagaimana meyakinkan pemerintah daerah di luar Jawa untuk menerima
migrasi penduduk dari Jawa. Perpindahan penduduk Pulau Jawa terkadang
mendapatkan stigma jawanisasi di masa lalu. Hal itu akan menjadi permasalahan
tersendiri yang perlu dicarikan jalan pemecahan yang bijak. Pemerintah
dituntut untuk dapat menyosialisasikan kebutuhan perpindahan penduduk itu
semata demi kepentingan nasional. Kepentingan tersebut ialah kebutuhan pangan
yang semakin meningkat dan kebutuhan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kepentingan pemerataan
pembangunan juga menjadi salah satu argumentasi yang dapat dikemukakan
pemerintah untuk merealisasikan rencana ini. Daerah harus mendapatkan
keuntungan dari program pembangunan ini bagi rakyat di daerahnya.Keuntungan
tersebut dapat berupa tersedianya sarana pendidikan yang lebih baik, sarana
kesehatan yang juga lebih memadai, ataupun infrastruktur penunjang yang
berdaya saing. Tanpa ada insentif yang memadai bagi daerah, akan sulit bagi
pemerintah pusat mewujudkan program yang sangat baik ini.
Di atas semua itu,
tentunya diperlukan keterbukaan semua pihak bagi tercapainya program
redistribusi lahan pangan ini. Dibutuhkan konsensus nasional untuk mendorong
keterpaduan langkah mencapai kemakmuran rakyat. Tanpa itu semua, kita akan
kembali ke titik semula di saat kita bertengkar tak habishabisnya tetapi
tidak ada hasil yang didapat karena tidak mampu mengimplementasikan program
pembangunan bagi rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar