Maaf,
Janji, dan Pembebasan
Agus Sudibyo ;
Penulis buku Politik
Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt, Direktur
eksekutif Matriks Indonesia
|
JAWA
POS, 01 Agustus 2014
IDUL
Fitri selalu dirayakan sebagai hari kemenangan dan pembebasan. Kemenangan
melawan hawa nafsu selama bulan suci Ramadan, bulan di mana umat Islam
menyempurnakan iman dan ibadahnya selama sebulan penuh. Pembebasan terhadap
dosa dan kesalahan karena pada hari yang suci itu, umat Islam saling
memaafkan kesalahan dan berjanji untuk tindakan dan sikap yang lebih baik di
kemudian hari.
Maaf
dan janji tak pelak lagi identik dengan Idul Fitri. Menariknya, keutamaan
maaf dan janji tidak hanya dapat dijelaskan berdasar dalil bahwa Idul Fitri
memang momentum yang dihadirkan Allah swt kepada umat-Nya untuk menyucikan
diri, menebus dosa-dosa, dan mengikat kembali kebersamaan antar sesama.
Keutamaan maaf dan janji juga dapat diasalkan kepada khitah manusia sebagai
makhluk yang bertindak dan berbicara di antara sesamanya dalam ruang
kehidupan yang majemuk. Kemampuan bertindak dan berbicara di antara sesamanya
inilah keistimewaan yang membedakan manusia dari ciptaan Allah lainnya.
Namun,
kapasitas bertindak yang mencirikan jati diri manusia itu memiliki
keterbatasan. Pertama, tindakan dan dampak-dampaknya sering menjadi sesuatu
yang tidak dapat dihapuskan begitu saja (irreversible).
Kedua, seperti apa bentuk dan dampak dari tindakan manusia sering kali juga tidak
dapat dipastikan atau diperkirakan sebelumnya (unpredictable).
Jika
bertolak dari kajian antropologi filosofis Hannah Arendt, jalan keluar dari
ketakterhapusan dan ketakterdugaan tindakan manusia itu tak lain adalah
kekuatan maaf dan janji. Tanpa pemaafan, manusia akan terus-menerus
terpenjara kesalahan masa lalu dan menanggung konsekuensi tindakan yang
keliru untuk selamanya. Tanpa kemampuan untuk menghapus apa yang telah
diperbuat, manusia akan terperangkap ke dalam belenggu takdir.
Sebaliknya,
melalui momentum saling memaafkan, umat manusia saling membebaskan diri dari
apa yang telah terjadi untuk kemudian terlahir kembali menjadi manusia yang
merdeka. Hanya dengan kehendak dan keikhlasan untuk saling menghapuskan
kesalahan, manusia dapat membuka lembaran baru dalam kehidupan privat maupun
publiknya.
Saling
memaafkan menjadi kebutuhan karena manusia tidak mungkin hidup sendiri. Di
satu sisi, manusia yang otentik merujuk pada individu yang unik, independen,
mampu bersikap kritis terhadap sistem, dan berjarak terhadap yang lain. Di
sisi lain, manusia juga hidup di tengah-tengah manusia lain yang unik dan
otentik pula. Manusia otentik bukanlah individu atomik yang teralienasi dari
dunia benda-benda dan dari orang lain, melainkan individu yang mampu bertindak
bersama-sama yang lain.
Dalam
konteks inilah, kekuatan maaf menjadi perekat yang mengintegrasikan
individu-individu yang berbeda-beda dan menghindarkan mereka dari sirkuit
balas dendam sebagai reaksi otomatis-alamiah atas kesalahan yang diperbuat orang
lain. Namun, perlu digarisbawahi, maaf hanya relevan untuk kesalahan yang
memang dimaafkan. Seperti dikatakan Immanuel Kant, maaf tidak dapat diberikan
kepada kejahatan yang ekstrem (radical
evil). Dalam konteks Indonesia hari ini, maaf jelas tidak dapat diberikan
kepada para koruptor, pelanggar HAM, atau perusak lingkungan yang telah
menyengsarakan masyarakat untuk kesenangan sendiri.
Lalu,
bagaimana kita menjelaskan duduk perkara janji? Keutamaan janji berangkat
dari kejujuran untuk mengakui keterbatasan kemampuan manusia guna memprediksi
konsekuensi tindakannya sendiri secara pasti. Seperti dijelaskan dalam
psikoanalisis, manusia tidak hanya dikendalikan rasio, namun juga naluri dan
keinginan. Jika dibandingkan dengan instansi kesadaran, instansi ketidaksadaran
bahkan dianggap lebih memengaruhi perilaku dan tindakan manusia. Determinasi
naluri dan keinginan itulah yang membuat manusia tak bisa menghindari
tindakan dan sikap yang tidak patut atau salah sama sekali.
Persoalannya,
manusia toh tetap harus melangkah ke depan, tanpa ragu-ragu dan tanpa selalu
dihinggapi kekhawatiran berbuat salah. Di sinilah keutamaan berjanji
dibutuhkan. Dalam pandangan Arendt, janji adalah obat untuk ketakterdugaan
tindakan manusia serta kemustahilan untuk memperkirakan konsekuensi tindakan
yang akan terjadi.
Tanpa
kemampuan atau kesempatan berjanji, kita tak pernah dapat membentuk
identitas, selalu terbebani kemungkinan kesalahan yang tak termaafkan dan tak
dapat diprediksi. Manusia seperti bergerak tanpa arah dalam kegelapan hati
yang kesepian, berhadapan dengan kontradiksi dan keraguan dunia yang tanpa
kepastian.
Janji
berfungsi untuk mengatasi kegelapan dalam hubungan antarmanusia. Janji
membantu manusia mereduksi ketidakpercayaan atau perasaan terancam pihak
lain. Sehingga manusia yang berbeda dan punya kepentingan masing-masing tetap
dapat menjalin hubungan atau kerja sama. Janji sangat fundamental sebagai
dasar kebebasan dan kebersamaan antarmanusia.
Pada
akhirnya, berjanji adalah sebentuk sikap moral. Sejauh moralitas dipahami
lebih dari sekadar totalitas kebiasaan, standar perilaku, serta adat istiadat
yang diperkuat tradisi dan perjanjian, tak ada yang lebih kuat mendukung
moralitas daripada iktikad baik untuk menyikapi risiko-risiko tindakan dengan
kemampuan untuk memaafkan atau dimaafkan, untuk berjanji dan berusaha secara
konsekuen melaksanakan janji itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar