Solusi
Konflik Agraria Menteri BUMN
MT Felix Sitorus ; Praktisi agrobisnis dan
peneliti sosial independen,
Alumnus
program doktoral sosiologi pedesaan IPB
|
JAWA
POS, 26 Agustus 2014
Berbuat atau tidak
berbuat? Harus berbuat!
ITULAH jawaban sekaligus dukungan terhadap
Dahlan Iskan, menteri BUMN, untuk terobosan solusi konflik agraria antara
PTPN II Sumatera Utara dan warga pemukim di lahan 8.000 hektare milik
perusahaan tersebut (Manufacturing Hope 141, Jawa Pos, 25/8/2014). Menjadikan
areal yang diduduki warga sejak 1950-an itu sebagai kota satelit Medan
merupakan solusi revolusioner yang cemerlang. Itulah solusi ’’menang-menang’’
yang adil bagi kedua pihak. Pemukim membayar harga properti kepada PTPN II
(lewat pengembang), hitung-hitung ganti sewa lahan selama pendudukan
cuma-cuma. Lalu, PTPN II mendapat dana segar untuk membeli lahan usaha baru
yang lebih luas.
Memang bukan solusi yang mudah. Di belakang
pemukim akan berdiri sekurang-kurangnya dua lembaga swadaya masyarakat (LSM),
yakni Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dengan slogan ’’tanah untuk rakyat’’
dan Serikat Petani Indonesia (SPI) dengan slogan ’’tanah untuk petani’’.
Mereka akan berjuang untuk mendapatkan hak atas tanah secara cuma-cuma.
Tapi, Dahlan Iskan tidak boleh mundur atau
membatalkan proses solusi yang sudah dimulainya. Sebab, risiko ’’tidak
berbuat’’ jauh lebih besar daripada ’’berbuat’’.
Pucuk Gunung Es
Kasus lahan 8.000 hektare milik PTPN II itu,
jika diibaratkan, hanyalah pucuk gunung es konflik agraria nasional yang
tumbuh dari tahun ke tahun. Laporan KPA 2013 mencatat 369 kasus konflik
agraria yang mencakup 1.281.661 hektare tanah. Paling luas adalah konflik di
areal perkebunan (180 kasus, 527.939 ha) dan perhutanan (31 kasus, 545.258
ha). Konflik tersebut, selain melibatkan swasta, terutama melibatkan
perusahaan BUMN (PTPN dan Perhutani).
Pembiaran atau ’’tidak berbuat’’ menjadi
pangkal penyebab meningkatnya luas areal konflik agraria di areal perkebunan
dan perhutanan milik BUMN. Dalam sejumlah kasus bahkan terjadi moral hazard. Yaitu, oknum BUMN
mengutip ’’uang keamanan’’ dari pemukim ’’liar’’. ’’Tidak berbuat’’ itu
kemudian menjadi preseden buruk yang mengundang semakin banyak warga yang
menduduki dan semakin luas tanah milik BUMN yang diduduki. Karena itulah,
risiko ’’tidak berbuat’’ menjadi lebih besar.
Konflik agraria perkebunan/perhutanan kini
cenderung berkembang menjadi perkara berketiak ular. Di satu pihak, BUMN
menuduh pemukim telah menjarah lahan. Sebaliknya, pemukim menuduh BUMN telah
menyerobot tanah milik rakyat. Sengketa tersebut sering memuncak pada amuk
massa. Sebagian bahkan menelan korban jiwa. Benar kata Dahlan Iskan, bisa
terjadi ’’revolusi fisik’’ yang mengantar tubuh ke penjara atau bahkan ke
liang kubur.
Tapi, sejauh tanah yang diduduki warga
benar-benar merupakan hak BUMN, secara hukum dan historis, tidak ada pilihan
kecuali ’’berbuat’’. Tentu, caranya harus berubah. Tidak lagi ’’cari menang
sendiri’’ atau ’’adu kuat’’ seperti selama ini yang justru memperparah
konflik. Di sinilah model solusi revolusioner Dahlan Iskan menjadi sangat
relevan.
Model Solusi Nasional
Pola konflik agraria di PTPN II itu merupakan
pola yang umum yang dialami BUMN perkebunan/perhutanan secara nasional.
Kejadiannya semakin masif dari tahun ke tahun. Rasio penduduk-lahan semakin
kecil dari tahun ke tahun sehingga gejala ’’lapar tanah’’ akan semakin luas.
Dalam kondisi seperti itu, lahan-lahan BUMN, khususnya perkebunan dan
perhutanan, menjadi prioritas objek jarahan.
Karena itu, dengan menghitung risiko, BUMN
harus ’’berbuat’’ untuk mengakhiri sengketa agraria dengan masyarakat. Karena
itu, inisiatif solusi Dahlan layak diangkat menjadi model solusi nasional.
Solusi Dahlan itu merupakan inovasi yang memecah
kebuntuan penyelesaian konflik-konflik agraria nasional. Selama ini solusinya
selalu ’’menang-kalah’’ yang menyakitkan bagi salah satu pihak. Entah itu
berupa ’’pertempuran’’ di areal sengketa atau di ruang pengadilan umum.
Inisiatif Dahlan tergolong model solusi
sengketa di luar pengadilan, yang menghindari kecenderungan adu kuat dan
kuasa. Transformasi kawasan pendudukan menjadi kota satelit, seperti kasus
PTPN II, merupakan salah satu varian model tersebut. Varian lain harus
dikembangkan sesuai dengan pola pendudukan oleh warga.
Kasus di sejumlah BUMN, warga menduduki lahan
perkebunan/perhutanan untuk keperluan areal pertanian. Menurut catatan SPI,
ada sekitar 9.000 ha areal milik BUMN yang mengalami seperti itu. Untuk kasus
tersebut, dapat dikembangkan varian kawasan ’’agrobisnis berbasis
komunitas’’. Caranya, petani diberdayakan untuk membentuk badan usaha milik
petani (BUMP) yang kemudian bermitra menjalankan agrobisnis dengan BUMN.
Areal tanah sengketa lalu dihitung sebagai saham dengan pembagian, misalnya,
80 persen BUMN dan 20 persen BUMP.
Tidak perlu khawatir dengan perlawanan dari
pemukim/petani serta kekuatan LSM seperti KPA dan SPI di belakang mereka.
Kalau BUMN sudah mengambil langkah revolusi mental, dengan menawarkan solusi
’’menang-menang’’, semestinya tidak ada alasan rasional bagi pemukim/petani
serta LSM untuk berpikir beda. Pilihan bagi mereka adalah mau berdaulat atau
mau bergulat terus?
Jadi, Dahlan Iskan selaku menteri BUMN sudah
berada di jalur yang benar dalam upaya penyelesaian konflik agraria antara
BUMN dan masyarakat sekitar. Semestinya, tidak ada alasan untuk mundur,
kecuali mau membiarkan BUMN terus-menerus kehilangan asetnya di satu sisi dan
mempersilakan warga menjadi ’’koruptor’’ yang terus-menerus menggerogoti aset
milik negara secara terstruktur, sistematis, dan masif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar