Ihwal
RUU Kebudayaan
Tito Panggabean ; Antropolog; Anggota Asosiasi
Antropologi Indonesia
|
KOMPAS,
27 Agustus 2014
SEPERTI
diberitakan Kompas edisi Selasa (19/8), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menargetkan RUU Kebudayaan harus siap pada akhir Agustus ini.
Dua
poin penting perlu diperhatikan sebelum RUU tersebut disahkan. Pertama, RUU
Kebudayaan harus memastikan kebinekaan Indonesia terpelihara. Kedua, RUU itu
juga harus memastikan keberlangsungan kreativitas manusia Indonesia.
Dalam
RUU Kebudayaan yang dihasilkan DPR dan
sedang dimatangkan pemerintah, kebudayaan suku bangsa terkesan kurang dapat
tempat dalam kebudayaan nasional Indonesia.
Pergaulan
lintas suku bangsa hanya mungkin diakomodasi melalui nilai lingua franca yang
menjembatani beragam perbedaan di antara mereka. Dalam suasana resmi di
lingkup nasional, seperti dalam upacara bendera di kantor pemerintah dan
sekolah, kita berbahasa dan berperilaku mengacu pada nilai-nilai nasional
yang lintas suku bangsa dan lintas kedaerahan. Dapat dikatakan, itulah
kebudayaan nasional Indonesia yang tidak menghilangkan nilai-nilai
kesukubangsaan dan kedaerahan, tetapi justru memberi ruang kepada pemakainya
berinteraksi dan saling menghormati dengan mengacu pada nilai kebinekaan yang
mengandung nilai kesukubangsaan dan kedaerahan yang menjamin pergaulan
antarwarga.
Kebudayaan
nasional Indonesia diperkaya berkat adanya sejarah kontak kebudayaan dengan
bangsa lain yang telah berlangsung ratusan tahun. Sistem perdagangan
antarpulau, ekspansi kerajaan, perdagangan Timur-Barat, sampai kolonisasi
Indonesia telah memperkaya bukan hanya kebudayaan material, melainkan juga
gaya hidup; teknologi dan ilmu pengetahuan; sampai agama, ideologi, dan
sistem kepercayaan. Perang, perdagangan, persekutuan telah melahirkan
kebudayaan baru. Globalisasi yang kian berkembang intensif dengan kian
majunya teknologi komunikasi telah memperkaya perkembangan kebudayaan
Indonesia.
RUU
Kebudayaan seyogianya dapat menjamin keberlangsungan interaksi antarsuku
bangsa sebab sesungguhnya setiap suku bangsa tidak hidup sendiri dan
menyendiri. Kebutuhan hidup mengharuskan mereka menjalin hubungan dengan suku
bangsa tetangga. Perbedaan tidak membuat interaksi antarsuku bangsa terputus.
Asas saling memanfaatkan berlaku bagi interaksi antarsuku bangsa dan hal itu
justru memicu berkembangnya bahasa dan kebudayaan lingua franca.
Ada
semacam kesepakatan lintas suku bangsa untuk tak lagi bersikap etnosentris,
tetapi saling menyesuaikan diri dengan kebutuhan kelancaran interaksi. Kita
mengenal ada kebudayaan daerah yang tidak didominasi satu suku bangsa, tetapi
perpaduan kebudayaan suku bangsa.
Pada
28 Oktober 1928 tokoh Indonesia mendeklarasikan bersatu nusa, satu bangsa, dan
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Puncaknya adalah proklamasi
kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa yang satu dengan menggunakan landasan
ideologi Pancasila dan semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Ini merupakan
kristalisasi keanekaragaman kebudayaan suku bangsa, agama, dan ras yang
sejauh ini terpelihara dan berkembang dalam persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
Kreativitas
Kreativitas
bagi pelaku kebudayaan pun harus mendapat jaminan perlindungan dalam RUU
Kebudayaan sebab kreativitas nantinya akan memperkaya perkembangan kebudayaan
nasional Indonesia. Yang digariskan Pasal 32 UUD 1945, ”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya”, mengandung makna jaminan bagi pelaku berkreasi
mengembangkan nilai budaya.
RUU
Kebudayaan seharusnya dapat berfungsi lebih dari sekadar payung perlindungan
hukum terhadap pelaku kebudayaan, tetapi juga memberi suasana yang mendukung
proses kreatif. Karena itu, selain menjaga keberlangsungan kebinekaan, RUU
Kebudayaan harus memberi pedoman jelas bagi pelaku kebudayaan agar mampu
mengembangkan proses kreasinya untuk pengembangan nilai budaya.
Puluhan
tahun silam Sutan Takdir Alisjahbana tegas menyebutkan, kebudayaan Indonesia
harus progresif dan modern agar mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia.
Progresif tak berkonotasi negatif, tetapi berarti bahwa para pelaku
kebudayaan tidak berhenti dan puas dengan hanya mengandalkan kebudayaan tradisional
suku bangsanya, tetapi harus mengolahnya melalui proses kreatif yang dapat
dibanggakan di dalam dan luar negeri.
RUU
Kebudayaan yang menekankan proses kreatif dapat hidup dalam suasana
kebudayaan yang multikultural. Pada prinsipnya saling menghargai dan
menghormati perbedaan. Oleh karena itu, RUU Kebudayaan sebagai payung yang
melindungi para pelaku kebudayaan yang kreatif harus jelas dalam
pasal-pasalnya. Pelaku kebudayaan yang kreatif adalah yang memiliki kemampuan
menyuguhkan gagasan baru yang perlu dijaga agar jangan sampai mandek karena
tiada jaminan dari negara.
Selain
itu, penyelenggara negara harus berperan aktif menjamin proses kreatif,
khususnya penghargaan atas hasil karya anak bangsa. Ini penting sebab,
seperti yang dinyatakan Koentjaraningrat, Bapak Antropologi Indonesia, bangsa
Indonesia umumnya tidak bangga pada hasil karya bangsanya. Mentalitas yang berlebihan
berorientasi zaman lampau akan menjadi batu sandungan bagi proses kreatif
yang berorientasi masa depan.
Bangsa
Indonesia tidak dapat lagi berpangku tangan dan hanya menanti ratu adil atau
satria piningit untuk memajukan negara dan bangsa. Kita harus mampu menyerap
ilmu pengetahuan dan teknologi dari dalam atau luar untuk kepentingan segenap
anak bangsa. Juga kita tak boleh lagi hanya menggantungkan diri pada nasib;
sebaliknya harus menjunjung tinggi kebudayaan yang mengutamakan nilai
kreatif, kerja keras, dan disiplin diri.
Usaha
pematangan RUU Kebudayaan yang sedang dilakukan jajaran Kemendikbud
diharapkan menghasilkan draf final RUU yang menjamin keberlangsungan
kebinekaan kebudayaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Juga mengandung
nilai inspiratif yang memayungi proses kreatif pelaku kebudayaan dalam
menghasilkan gagasan baru yang diperlukan menciptakan negara dan bangsa
Indonesia sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar