Cinta
pada Sesama
Salahuddin Wahid ;
Pengasuh Pesantren
Tebuireng
|
KOMPAS,
01 Agustus 2014
Penyair
Inggris, James Henry Leigh Hunt (1784-1859), menulis puisi tentang seorang sufi: Abou Ben Adhem. Suatu
malam Abou Ben Adhem terbangun dari suatu mimpi indah. Ia melihat bulan
purnama di kamarnya, yang kemilau seperti lili yang mekar, dan seorang
malaikat menulis di dalam kitab emas. Kedamaian jiwa membuat Abou berani
bertanya kepada sosok yang ada di kamarnya, ”Apa yang sedang Anda tulis?”
Sosok
yang terang itu mengangkat kepalanya dan dengan wajah manis ia menjawab,
”Nama-nama orang yang mencintai Tuhan.” ”Adakah namaku di situ?” tanya Abou.
”Tidak ada,” jawab sang malaikat. Abou berkata dengan ceria, tetapi dengan
suara lebih rendah, ”Kalau begitu, mohon supaya namaku ditulis sebagai orang
yang mencintai sesama manusia.”
Malaikat
menulis dan lalu menghilang. Pada
malam berikutnya, malaikat itu datang kembali dengan cahaya yang menyilaukan
dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Amboi, nama Abou
tertera di atas semua nama.
Abou
Ben Adhem lebih dikenal dengan nama Ibrahim bin Adham. Pada 1923 di
Mississippi, AS, didirikan auditorium untuk menghormati Abou Ben Adhem. Itu
menunjukkan bahwa Abou dihormati di dunia Barat. Sama dengan Jalaluddin Rumi
yang lebih terkenal, Abou Ben Adhem menyampaikan pesan bahwa kita tidak bisa
mencintai Tuhan tanpa mencintai manusia.
Tuhan
berkata kepada salah seorang hamba-Nya, ”Aku lapar, tetapi kamu tidak mau
memberi makan kepada-Ku.” Tuhan berkata kepada yang lain, ”Aku haus, tetapi
kamu tidak memberi-Ku minum.” Tuhan berkata kepada yang lain, ”Aku sakit,
tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.” Tentu hamba-hamba-Nya itu menyangkal. Tuhan menjawab,
”Sesungguhnya saat si Fulan lapar, jika kamu memberi dia makan, kamu akan
menemukan Aku bersamanya. Saat si Fulan sakit, kalau kamu menjenguknya, kamu
akan menemukan Aku bersamanya. Saat si Fulan haus, jika kamu memberinya
minum, maka kamu akan menemukan Aku bersamanya” (Surat Al-Ma’un).
Banyak
ayat Al Quran dan hadis yang memberi pesan senapas dengan pesan kisah Abou
Ben Adhem di atas. Surah Al-Ma’un menegaskan bahwa ibadah shalat kita tidak
bermakna secara utuh kalau kita tak memperhatikan kaum miskin dan anak yatim.
Menurut
Farid Essack, aktivis Muslim penentang politik apartheid Afrika Selatan,
konsepsi tauhid dan takwa sebagaimana dipesankan oleh Al Quran tidak mengacu
pada kesalehan personal, tetapi kesalehan sosial yang impersonal. Konsepsi
takwa dan tauhid selalu dikaitkan dengan kesalehan sosial. Kini peran
transformatif Islam itu hampir tidak terasa di negara mana pun.
Khotbah
haji wada’ Rasulullah penuh dengan
pesan untuk menghargai manusia. Ajaran Islam pada awalnya menghormati hak asasi
manusia dan itu ditunjukkan secara nyata oleh Rasulullah dan para sahabat.
Khalifah Abu Bakar memberi sanksi kepada mereka yang tidak mau membayar
zakat. Khalifah Umar selalu berkeliling dalam penyamaran untuk mencari
rakyatnya yang hidup dalam kemiskinan untuk kemudian dibantunya.
Kritik Muhammad Abduh
Sekembali
dari lawatan ke Eropa pada awal abad ke-20, Syekh Muhammad Abduh menerima
pertanyaan: apa kesan yang timbul dalam dirinya? Jawabannya: di Eropa dia
tidak melihat orang Islam, tetapi dia melihat etika Islam di dalam kehidupan
masyarakat, di Mesir dia melihat banyak orang Islam, tetapi tidak melihat
etika Islam di dalam kehidupan masyarakat. Kini seabad telah berlalu, kondisi
masyarakat di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam tak
jauh beranjak dari kritik Syekh Muhammad Abduh itu.
Penelitian
Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari (George Washington University)
menegaskan pernyataan Syekh Muhammad Abduh itu. Mereka membuat uraian dan
metodologi dari pengukuran empat indeks yang menghasilkan Indeks Keislaman,
yaitu Indeks Keislaman Ekonomi, Indeks Keislaman Hukum dan Pemerintahan,
Indeks Keislaman Hak Asasi Politik, dan Indeks Hubungan Internasional.
Dari
208 negara yang diteliti, Indonesia menempati urutan ke-140. Negeri Islam
tertinggi adalah Malaysia (ke-38). Negara-negara berpenduduk mayoritas Islam
mempunyai indeks persepsi korupsi yang rendah.
Indonesia
punya banyak tokoh yang menampilkan Islam sebagai agama yang mendorong
kemajuan. Mulai dari Tjokroaminoto, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Agus Salim,
Bung Karno, Bung Hatta, Natsir, Wahid Hasyim, sampai Ahmad Siddiq, Baiquni,
Habibie, Cak Nur, Gus Dur, dan banyak lagi lainnya. Memang kita telah
mengalami banyak kemajuan, tetapi amanah para pendiri bangsa di dalam
Pembukaan UUD 1945, terutama keadilan sosial dan ikhtiar mencerdaskan
kehidupan bangsa yang sesuai dengan perintah ajaran Islam, belum mampu kita
wujudkan.
Secara
ritual, kehidupan Islam di Indonesia selama 30-40 tahun terakhir berkembang
pesat. Jumlah Muslim yang shalat meningkat, juga yang berhaji. Banyak sekali
Muslimah berjilbab yang maju dalam karier. Kalangan santri banyak menjadi ilmuwan
mumpuni dalam berbagai bidang ilmu, termasuk sains dan teknologi. Tentu kita
mensyukuri perkembangan positif itu. Namun, kita pun perlu menyadari bahwa
kesalehan sosial dan kesalehan profesional umat Islam tidak berbanding lurus
dengan kesalehan ritualnya.
Mencintai
sesama berarti menghargai kehidupan mereka, baik secara fisik maupun batin.
Menurut UUD, negara menjamin hak dasar rakyat, tetapi kita paham bahwa
kemampuan pemerintah terbatas. Hak untuk mendapat pelayanan kesehatan sudah
dimulai pada 2014, yang tentu masih memerlukan banyak perbaikan. Penderita
kekurangan gizi masih tinggi, sekitar 36% dari jumlah penduduk.
Zakat dan pajak
Islam
mewajibkan zakat antara lain sebagai cara untuk membantu kaum miskin. Dalam
sepuluh tahun terakhir, pengumpulan dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS)
jumlahnya meningkat sekitar delapan kali. Jumlahnya sekitar Rp 5 triliun.
Dibanding potensi yang ada, angka itu masih rendah. Saya memperkirakan
potensi itu dari pendapatan domestik
bruto (PDB) sebesar Rp 10.000 triliun, dikalikan rasio 20% lalu dikalikan
beban zakat 2,5%, sama dengan Rp 50 triliun. Berarti, ZIS yang terkumpul baru
10% dari potensi.
Untuk
memenuhi kebutuhan dana pemerintah (APBN) guna memenuhi hak dasar rakyat yang
dijamin UUD, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, dan membantu penderita kekurangan
gizi, penerimaan pemerintah berasal
dari pajak, cukai, dan royalti sumber daya alam. Selama 10 tahun terakhir
jumlah penerimaan pemerintah meningkat sekitar tiga kali, dan masih bisa
ditingkatkan karena rasio pajak kita masih sekitar 12% dari PDB.
Sebagai
perbandingan, pada 2012, PDB Belanda sekitar 837 miliar dollar AS dan PDB
Indonesia sekitar 847 miliar dollar AS. Dengan PDB yang hampir sama itu,
ternyata penerimaan APBN Belanda jauh di atas Indonesia: 381 miliar dollar AS
berbanding 134 miliar dollar AS. Belanda dengan luas sekitar seluas Jawa
Timur dan penduduk sekitar 17 juta mampu menghasilkan penerimaan pemerintah
hampir tiga kali lipat dibandingkan Indonesia yang begitu luas dan kaya akan
sumber daya alam.
Kesimpulannya,
kesadaran membayar pajak dengan benar belum tertanam pada diri manusia
Indonesia. Kesadaran membayar zakat dalam diri Muslimin Indonesia juga belum
seperti seharusnya. Membayar zakat tidak akan membuat Muslim berkurang kekayaannya,
bahkan bertambah. Pengalaman banyak orang bisa menjadi teladan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar