Belajar
Iwan Pranoto ;
Guru Besar ITB
|
KOMPAS,
31 Juli 2014
Ada
sekolah, tetapi belum ada belajar. Ada pengajaran, tetapi belum ada belajar.
Ada belajar demi ujian dan untuk mengejar skor, tetapi belum ada belajar
karena rasa ingin tahu. Ada belajar karena dipaksa, tetapi belum ada belajar
berlandaskan hasrat dari dalam diri sendiri. Ada pemaksaan belajar, tetapi
belum ada sukacita belajar. Ada kewajiban belajar, tetapi belum ada
penghargaan hak belajar. Ada pemaksaan belajar dengan ancaman, tetapi belum
ada kasmaran belajar.
Almarhum
Profesor Achmad Arifin kerap mengingatkan para muridnya, ”Kita pandai bukan karena diajar, akan tetapi karena belajar.”
Pernyataan
itu adalah sebuah penyadaran bahwa tidak ada gunanya seseorang mengikuti
pengajaran jika yang bersangkutan tak belajar. Pandai tak pernah diperoleh
melalui jalan pintas, tetapi harus melalui proses belajar berkelanjutan, yang
didorong motivasi dari dalam diri. Tentunya kita semua mengangankan pemahaman
tentang belajar ini terwujud melalui rangkaian kebijakan pendidikan nasional di
pemerintahan baru demi anak-anak Sang Republik.
Sikap
Kata
belajar bukan sebuah kata sepele. Kata ini merupakan sebuah kata universal
yang mengandung unsur kearifan luhur.
Kata
belajar tentu umumnya dikenakan pada pelajar, tetapi sejatinya mutlak pula
bagi pendidik. Guru tentunya perlu belajar sebelum ia membelajarkan
keilmuannya. Guru memiliki peran sebagai insan yang meneladankan sikap belajar
sepanjang hayat.
Lebih
dari itu, sesungguhnya kata belajar alami bagi semua manusia, entah tua
ataupun muda. Beberapa futurolog atau pakar tentang masa depan sudah
menyatakan bahwa belajar adalah pekerjaan utama manusia di masa sekarang dan
mendatang. Tidakkah kita sudah rasakan sekarang di dunia kerja?
Selain
belajar sebagai kegiatan utama dalam keilmuan, belajar juga menyiratkan sikap
yang manusiawi. Kata belajar senantiasa mengimbas suatu suasana kebersahajaan
bagi subyeknya.
Seseorang
yang belajar artinya mengakui bahwa dirinya belum tahu, mengakui keterbatasan
pemahamannya, dan mengakui bahwa dirinya masih belum mencapai kebenaran
mutlak. Kebersahajaan ini sesungguhnya juga penting dalam budaya ilmiah.
Jika
persekolahan dapat mengembalikan belajar sebagai jiwa kegiatannya, budaya
kebersahajaan dapat diharapkan tumbuh di kelas, sekolah, dan akhirnya
menyebar ke masyarakat luas.
Sekolah
bukan saja sebagai tempat penyebaran pengetahuan ilmiah, tetapi—lebih dari
itu—sekolah haruslah menjadi sumber
inspirasi pengembangan budaya masyarakat sekitarnya. Iklim kebersahajaan yang
berkembang di masyarakat akan meningkatkan harmoni sosial sejati berdasarkan
intelektualitas, bukan berlandaskan materi.
Budaya
kebersahajaan ini secara alami menumbuhkan sikap mau mendengar pendapat orang
lain karena ingin belajar dari orang lain. Belajar dapat dari siapa saja dan
kapan saja.
Sebaliknya,
perasaan takabur, perasaan tahu segalanya, dan perasaan paling benar akan
mengimbas sikap mudah menyesatkan orang lain, menganggap orang lain salah
jika tak sama dengan pendapatnya. Perasaan takabur ini memiliki saudara
kembar bernama kenaifan, yakni melihat dunia hanya hitam-putih. Jika tidak
hitam, pasti putih. Ini sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan
perawatan Sang Republik.
Teori otak
Sekarang,
bagaimana membangkitkan motivasi intrinsik atau hasrat diri untuk belajar?
Menurut teori otak, manusia memiliki tiga bagian otak yang masing-masing
menuntut pemuasan yang berbeda-beda. Otak depan (forebrain) menuntut kegiatan yang baru. Otak tengah (midbrain) menuntut kegiatan yang
menantang. Otak belakang (hindbrain)
menuntut kegiatan yang aman. Artinya, kita, manusia, akan berhasrat belajar
jika kegiatannya baru (tidak membosankan), menantang (sedikit di atas
kemampuan kita), dan aman (tidak mengancam atau mempermalukan kita jika
gagal).
Oleh
karena itu, pendidik di era sekarang perlu mereka-cipta kegiatannya agar
selalu baru, menantang, dan aman. Kegiatan yang usang dan penuh pengulangan
kerap membunuh motivasi karena akan melahirkan kebosanan. Apalagi kerap
kegiatannya terlalu sulit dibandingkan kemampuannya sehingga membuat pelajar
frustrasi atau sebaliknya terlalu mudah sehingga pelajar bosan. Ini yang
dikenal dengan sebutan Drill and Kill.
Teori belajar modern ingin mengatasi ini dengan pemahaman baru di ilmu saraf
tentang bagaimana manusia belajar. Harapannya, dari Drill and Kill, persekolahan dan pendidikan kita akan membangun
suasana Thrill and Will, atau
menantang dan berhasrat.
Teknologi
melalui langkah gamification telah
berperan menggeser kekeliruan pandangan belajar sebagai beban jadi sebuah
permainan. Pandangan kuno bahwa belajar adalah siksaan, makanya harus
dipaksa, digantikan dengan belajar sebagai permainan mengasyikkan, menantang,
tanpa perlu takut dihakimi dan disalahkan.
Kita
selesaikan permasalahan primitif bahwa belajar harus dipaksa dengan teknologi
modern. Hanya dengan benak lebih cerdas daripada benak pembuat masalah bahwa
belajar adalah beban itu kita dapat benahi pendidikan dan kebudayaan kita.
Dengan
budaya belajar yang merasuki warga, nasion
ini akan merdeka dan berdikari. Jika anak-anak kita secara naluri senang
mengerjakan teka-teki, puzzle, sudoku,
sampai dirinya terhanyut menyatu dalam permainannya, bukan hal mustahil
membuat anak juga akan terhanyut dengan kegiatan belajar matematika atau
pelajaran lain.
Kita
semua tentunya ingin anak-anak kita mengatakan, ”Aku ingin mengerjakan PR. Aku ingin belajar.” Bermain dalam
proses belajar adalah urusan serius, bukan main-main. Dengan jalan itu, kita
berharap anak-anak kita menjadi kasmaran belajar, yang dampaknya tentu akan
membuat mereka pandai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar