Jamu
Bahagia Bangsa Finlandia FX Laksana Agung Saputra ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 28 Juni 2021
Di tengah ”pandemi”
disinformasi, Finlandia menjadi negara dengan sistem kekebalan paling wahid
di dunia. Jamunya sederhana, hidup bahagia. Disinformasi, berita
palsu, hoaks, atau apa pun istilahnya, tentu saja bukan barang baru. Filsuf
Yunani kuno, Plato, bahkan telah mengecam usaha-usaha pembentukan opini
publik melalui penyebaran disinformasi 2.400 tahun silam. Memasuki era teknologi
digital dan ”ledakan” media sosial, Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Swiss, 23-27
Januari 2013, mengangkat bahaya disinformasi. Dalam laporan berjudul
”Kebakaran Digital di Dunia yang Amat Terkoneksi”, WEF mengingatkan agar
semua negara mengantisipasi bahaya disinformasi yang dibawa oleh kemajuan
teknologi digital. Namun, belum banyak negara
yang benar-benar bergerak saat itu. Baru setelah geger Brexit dan kemenangan
Trump pada 2016, dunia sadar dan terbuka matanya bahwa bahaya disinformasi
nyata dan memiliki daya rusak luar biasa terhadap nalar, demokrasi, dan
kemanusiaan. Berbagai cara kemudian
ditempuh untuk mengatasinya. Saat mayoritas negara-negara di dunia, sampai
hari ini, masih pusing dan kedodoran mencari obat penawar, Finlandia sudah
mapan dan muncul sebagai negara yang dianggap paling kebal. Indeks Literasi
Media yang diterbitkan Institut Masyarakat Terbuka di Sofia, sebagai
indikator, selalu menempatkan Finlandia di peringkat pertama dari 35 negara
Eropa sejak laporan tahunan diterbitkan per 2017 hingga 2021. Pertanyaannya, bagaimana
dan mengapa Finlandia bisa menjadi negara paling kebal disinformasi? Apakah
penduduknya tidak suka nyinyir, tidak suka rumor, tidak suka sensasionalisme
dan hal-hal bombastis, serta tak mudah diracuni disinformasi? Pendidikan
literasi Merujuk berbagai ulasan
dan kajian, kuncinya terletak pada literasi media yang menumbuhkan cara
berpikir kritis penduduk Finlandia. Terdengar klise memang, tetapi tunggu
dulu. Istilah zaman sekarang, ”tidak semudah itu, Ferguso”. Saat disinformasi telah
menjadi pandemi, umumnya negara-negara di dunia sibuk membuat undang-undang
dengan ragam sanksi dan hukuman. Pada tingkat mendeskripsikan disinformasi
saja, berbagai kepentingan berbenturan. Alih- alih membuat regulasi dengan
jangkar kepentingan masyarakat dan negara, pendekatannya justru sangat
politis. Di beberapa negara, bahkan
aturan memerangi disinformasi justru dibajak rezim guna memberangus pemikiran
kritis. Sementara Finlandia jauh-jauh hari sudah berinvestasi melalui
literasi media untuk warganya. Peneliti Pusat Kebijakan
Nordik pada Institut Australia, Audrey Quicke, dalam salah satu artikelnya,
menyebutkan, kesadaran pentingnya literasi media sebagai elemen kompetensi
warga Finlandia menguat pada 2010. Hal ini terjadi menyusul maraknya
disinformasi tentang imigrasi, Uni Eropa, dan keanggotaan Pakta Pertahanan
Atlantik Utara (NATO). Pemerintah Finlandia
kemudian menetapkan pendekatan lintas sektor untuk meningkatkan literasi media
di masyarakat, terutama anak-anak. ”Garis pertahanan terdepan (melawan
disinformasi) ialah guru taman kanak-kanak,” kata Kepala Staf Komunikasi
Kantor Perdana Menteri Finlandia Jussi Toivanen. Sejak 2014, Pemerintah
Finlandia mengadopsi pendidikan literasi media ke dalam kurikulum sekolah.
Pada tahun yang sama, pemerintah juga memberikan program pelatihan menghadapi
disinformasi untuk wartawan, politisi, dan warga umum. Sedikitnya 10.000
partisipan terlibat. Mengutip salah satu
laporan The Telegraph, sekolah mengajari siswa menganalisis sumber berita
secara kritis dan mengidentifikasi propaganda. Sekolah mendorong siswa agar
mempelajari bagaimana media melaporkan berbagai peristiwa. Lantas pengaruh
media sosial terhadap sikap dan persepsi siswa dievaluasi bersama. Sekolah juga menunjukkan
betapa mudahnya informasi dimanipulasi. Pembelajarannya diintegrasikan ke
semua disiplin ilmu. Dalam pelajaran seni, misalnya, anak-anak diajak melihat
bagaimana gambar dapat diubah secara digital. Program literasi media
yang kemudian terbukti efektif menangkal disinformasi tersebut tak lepas dari
fondasi yang telah ditanamkan melalui reformasi pendidikan Finlandia pada
1970. Sejak saat itu, Kurikulum Dasar Nasional untuk Pendidikan Dasar selalu
diperbarui lebih kurang 10 tahun sekali. Ini menjadi panduan bagi semua
lembaga pendidikan di Finlandia yang memiliki otonomi dalam menyusun program
pendidikannya masing-masing. Namun, keberhasilan
Finlandia dalam meningkatkan kekebalan warganya terhadap disinformasi tentu tidak
cukup hanya dengan modal literasi media lewat jalur pendidikan. Di balik
sukses itu, terdapat sistem penyelenggaraan negara dan budaya yang spesifik
sebagai fondasinya. Apa itu? Kualitas
hidup Posisi Finlandia dan
negara- negara lain yang berada di peringkat atas pada Indeks Literasi Media
linier dengan profil Laporan Kebahagiaan Dunia yang diterbitkan Perserikatan
Bangsa-Bangsa per tahun. Setelah mencatatkan hattrick dalam Laporan
Kebahagiaan Dunia 2018-2020, Finlandia kembali menyabet peringkat pertama
dari 156 negara pada laporan 2021. Dapat disimpulkan, dalam
kasus ini setidaknya, kebahagiaan hidup warga negara berkorelasi positif
terhadap kekebalan disinformasi suatu negara. Pola yang sama terjadi,
misalnya pada Denmark, Swedia, dan Belanda. Variabel kunci pada Indeks
Kebahagiaan Dunia mencakup enam hal, yakni pendapatan, harapan hidup sehat,
keberadaan seseorang untuk diandalkan di saat sulit, kemurahan hati,
kebebasan dan kepercayaan, serta tingkat korupsi di pemerintahan dan dunia
usaha. Enam urusan ini mensyaratkan penyelenggaraan negara yang
berintegritas. Finlandia mapan di urusan
ini. Indeks Kebebasan Pers 2021 menempatkan Finlandia di peringkat ke-2 dari
180 negara. Indeks Persepsi Korupsi 2021 menempatkan Finlandia di peringkat
ke-3 dari 180 negara. Indeks Keadilan Sosial Uni Eropa 2017 menempatkan
Finlandia di peringkat ke-3 dari 28 negara. Dalam laporan kesetaraan jender
WEF di 2020, Finlandia di peringkat ke-4 dari 153 negara. Untuk Indeks Keamanan
Kesehatan Global 2019, Finlandia di peringkat ke-10 dari 195 negara.
Finlandia memiliki salah satu sistem kesehatan universal terbaik di dunia,
mencakup seluruh warganya. Finlandia juga menyediakan pendidikan gratis
berkualitas tinggi, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Ada
fasilitas makan gratis di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang
sudah berjalan 70 tahun. Ini bagian dari sistem
jaminan sosial negara yang bertujuan memastikan seluruh penduduk hidup layak,
sebuah ciri negara kesejahteraan alias welfare state. Sistem yang diterapkan
Finlandia ini membutuhkan gotong royong dana dari warga yang mampu. Pajak
berkeadilan Di sinilah sistem pajak
berkeadilan dan progresif menjadi vital. Namun, hal ini hanya bisa berlaku
efektif jika ada kepercayaan dari warga kepada negara. Transparansi dan asas
manfaat! Tak ada cara lain untuk bisa mewujudkannya. Selain sistem yang menjadi
fondasi bagi sukses literasi media, Finlandia yang berpenduduk 5,5 juta jiwa
itu mempunyai budaya baca kuat. Mengutip laporan CNN, warga Finlandia per
tahun meminjam 68 juta buku di Perpustakaan Pusat di Helsinki. Perpustakaan
itu adalah investasi yang menelan dana 110 juta dollar Amerika Serikat atau
Rp 1,59 triliun. Tradisi baca akan
berlanjut karena generasi mudanya punya minat baca yang kuat pula. Finlandia
memiliki skor tertinggi di antara negara-negara Uni Eropa dalam hal membaca
pada Program Penilaian Pelajar Internasional (Program for International
Student Assessment/PISA) 2018. Salah satu efek agregasi
semua profil itu ialah pilihan masyarakat Finlandia untuk tetap
mempertahankan kepercayaan mereka terhadap pers. Berdasarkan Laporan Berita
Digital 2018-2021 oleh Institut Reuters, Finlandia menjadi negara dengan
tingkat kepercayaan tertinggi pada pers. Artinya, warganya cenderung tak beralih
ke sumber berita alternatif. Sementara dalam
meminimalisasi pasokan disinformasi di media sosial, sebagai anggota Uni
Eropa, Finlandia terbantu dengan aturan yang mewajibkan Facebook, Twitter,
dan Google menjalankan ketentuan melawan disinformasi. Finlandia, sekali lagi,
sukses melawan disinformasi lewat literasi media. Namun, warga yang hidup
bahagia dan gandrung membaca merupakan jamu rahasianya. Mungkinkah ini buah
konsep negara gotong royong untuk kemanusiaan yang adil dan beradab
sebagaimana imajinasi Soekarno-Hatta? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar