Jiwa
Feodal, Mentalitas Pegawai, dan Disiplin Nasional Koentjaraningrat ; Pakar Bidang Antropologi, Mantan Guru Besar FS-UI,
Depok. |
KOMPAS, 10 Juni 2021 (16
Januari 1991)
Abdurrahman Wahid benar
apabila ia mengatakan, "sikap hidup feodal tanda primordial paling
tinggi" (Kompas, 8 Maret 1990). Dengan kata-kata itu Ketua PB NU itu
seakan-akan menyatakan, mentalitas yang sangat mengagungkan kekuasaan dan
pangkat tinggi tetap bertahan dalam jiwa bangsa Indonesia pada umumnya,
karena melalui proses sosialisasinya mentalitas itu sudah tertanam dalam diri
seseorang sejak sangat dini. Arti istilah
"feodal" dalam bahasa Indonesia kita ketahui berbeda dengan artinya
semula, yang digunakan para ahli sejarah di Eropa untuk mengacu ke suatu
struktur hubungan sosial-ekonomi serta politik dalam abad ke-13 hingga 15. Pada waktu itu di Eropa
ada beberapa kerajaan besar yang masing- masing merupakan gabaungan dari
daerah-daerah, yang baik tanah maupun penggarapnya dikuasai oleh
bangsawan-bangsawan ksatria atau bangsawan-bangsawan gereja (uskup), yang
wajib memberi upeti kepada raja. Sebaliknya, secara politik
para bangsawan itu memiliki kekuasaan otonomi luas dalam kerajaan. Walaupun
demikian, dalam hubungan ke atas (dengan raja) para ksatria dan uskup yang
masing- masing tinggal dalam puri-puri berbentuk benteng bersama tentara
penyangganya itu, secara sosial ekonomi dan militer juga tidak dapat mandiri,
dan tergantung kepada kekuasaan raja yang mencakup seluruh kawasan kerajaan. Dalam hubungan ke bawah
dalam struktur ekonominya, khususnya dalam menggarap tanah di kawasannya,
para ksatria dan uskup itu melakukan bagi-hasil pertanian dengan para petani,
dan juga menerima upeti dari para petani, itu pada waktu-waktu tertentu.
Namun para bangsawan itu juga tidak dapat mengeksploatasi dan bertindak
sewenang-wenang terhadap para petani karena para bangsawan dan uskup itu juga
sangat tergantung kepada anak buah mereka itu. Jikalau para petani tidak
menyukai mereka dan membangkang, maka para pemilik tanah itu tidak mungkin
bisa hidup sendiri terisolasi dalam enteng mereka. Oleh karena itu para
bangsawan itu dengan etika dan moral ksatria dan gereja yang biasanya mereka
junjung tinggi (tentu ada terkecualian), wajib melindungi dan memperhatikan
kesejahteraan para petani tersebut. Istilah
feodal dalam bahasa Indonesia Dalam bahasa Indonesia
sekarang, seperti yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, istilah "feodal" tidak
mengacu ke suatu struktur sosial ekonomi dan politik seperti terurai di atas,
melainkan kepada suatu mentalitas, yang seperti tersebut di atas mengagungkan
kekuasaan dan pangkat tinggi, bahkan sering kali dalam arti negatif, yaitu
sikap sombong yang diakibatkan oleh kekuasaan dan pangkat tinggi yang
dimiliki, dan akhir-akhir ini bahkan juga oleh kekayaan, sikap menjilat ke
atas, dan seterusnya sebagainya. Mentalitas feodal yang
kelihatannnya masih tertanam kuat dalam jiwa banyak orang di Indonesia perlu
diubah karena kendala tumbuhnya nilai-nilai demokrasi. Walaupun dalam arti
dan konteks yang agak berbeda, pendapat ini juga diajukan oleh Jenderal
Sayidiman Suryohadiprojo dalam harian Kompas tanggal 11 Juli 1989. Kepada penulis pernah diajukan
pertanyaan: "Apakah gejala pemberian gelar-gelar bangsawan kepada
anggota-anggota keluarga keempat belas swapraja di Jawa Tengah, karena
jasa-jasa mereka kepada keluarga swapraja, kepada masyarakat umum, atau
kepada negara Indonesia, tidak akan menghambat tumbuhnya jiwa demokrasi di
Indonesia?" Jawaban penulis adalah
bahwa hal itu memang mungkin, tetapi gelar-gelar itu tidak mempunyai fungsi
ekonomi, sosial, maupun politik, dan hanya berlaku di dalam lingkungan
keluarga besar swapraja saja. Gelar-gelar seperti Sir, Lord, yang sampai
sekarang masih diberikan oleh raja Inggris kepada orang-orang yang telah
berjasa, atau gelar Datuk yang diberikan oleh Yang Dipertuan Agung di
Malaysia, terbukti juga sama sekali tidak merupaan kendala bagi kehidupan demokrasi
di kedua negara tersebut. Karena mereka biasanya menerima gelar itu karena
jasa-jasa mereka, dan karena itu mereka juga bersikap arif, dan tidak akan
menyalahgunakan kedudukan mereka dan tiba-tiba bersikap sombong ke bawah dan
menjilat ke atas. Kembali kepada masalah
pokoknya: sikap feodal memang merupakan salah satu kendala sosial budaya yang
penting dalam pengamalan Pancasila di Indonesia. Namun menurut hemat
pengarang, sikap tak mampu menerima kritik dan mentalitas pegawai merupakan
dua kendala yang lebih menghambat proses pertumbuhan jiwa demokrasi. Mentalitas
pegawai Para pakar ilmu-ilmu
sosial yang membahas masalah pembangunan ekonomi dalam masyarakat
negara-negara yang sedang berkembang di Afrika, Asia, atau Amerika Latin, dan
yang dalam kaitan itu meneliti dan menganalisis mentalitas manusia yang
membangun negaranya, banyak membahas mentalitas petaninya atau mentalitas
para pemimpin serta golongan elitnya. Tak banyak di antara para pakar itu
mengkhususkan perhatian mereka pada mentalitas korps pegawainya. Hanya ahli ilmu pendidikan
J.F. Guyot-lah yang secara khusus pernah meneliti, menganalisis, dan menulis
tentang Clerk Mentality in Burmese Education (1969). Di Indonesia ahli
psikologi M.A.W. Brouwer pernah menulis mengenai mentalitas pegawai di
Indonesia dalam karangan berjudul "Indonesia Negara Pegawai" (1983)
yang diterbitkan oleh Leppenas. Pengarang waktu itu di endtable minta oleh
penerbitnya untuk membahas karangan itu, akan tetapi bahasannya merupakan
rangkuman mengenai hal-hal yang pernah dibacanya tentang masalah mentalitas
pegawai, dan tidak berdasarkan penelitian sendiri. Hal-hal yang akan
diuraikan oleh pengarang di bawah ini pun hanya suatu rangkuman seperti itu. Dalam deskripsi Guyot
mengenai mentalitas pegawai di Myanmar, clerk mentality, umumnya dilukiskan
sebagal suatu sikap hidup orang, yang di samping beberapa sifat positif juga
memiliki beberapa sifat negatif, seperti bersikap tak berani mengambil
risiko, tidak dinamis, tidak kreatif, tidak inovatif, gemar akan konformitas
dan keseragaman, dan suka mempertahankan status quo. Sikap-sikap seperti itu
jelas tidak mendorong terjadinya pembaruan kebudayaan dan tumbuhnya jiwa
demokrasi dengan cepat. Lepas dari konsepsi Guyot
tersebut, suatu hal yang menurut pendapat pengarang sangat menghambat
tumbuhnya jiwa demokrasi di Indonesia adalah rendahnya kemampuan
pegawai-pegawai Indonesia pada umumnya untuk menerima dan mengolah atau
menertawakan kritik dan sindiran dengan dada yang lapang. Sebaliknya, dalam karangan
bagian ke II telah dinyatakan pula, mentalitas pegawal juga mempunyai
berbagai sifat positif, karena seorang pegawai biasanya memiliki loyalitas
yang tinggi terhadap lembaga tempat ia bekeria, mampu untuk belajar bekerja
dengan cepat dan efisien, taat kepada atasan dan berdisiplin tinggi. Hal-hal
positif itu baik bagi pengamalan Pancasila, pada umumya, namun tidak
mendorong tumbuhnya jiwa demokrasi. Kecuali itu, pengarang ingin mengajukan
beberapa komentar mengenai soal disiplin nasional. Disiplin
nasional Ada sementara orang yang
berpendirian, pendidikan militer, tempat disiplin merupakan salah satu unsur
yang dasar, membentuk disiplin nasional. Karena itu, bila ada peraturan wajib
militer yang berlangsung satu dua tahun lamanya bagi pemuda-pemuda
warganegara Indonesia yang telah mencapai usia tertentu, dan selama itu
mereka mengikuti pendidikan militer dan melaksanakan tugas-tugas militer,
maka disiplin nasional akan terwujud dengan sendirinya. Mungkin pendirian tu
benar, namun disiplin militer adalah disiplin yang terwujud ketaatan kepada
perintah seseorang yang sungguh-sungguh ada, yaitu komandan. Lagi pula,
disiplin seringkali didasari perasaan takut kepada komandan itu, yang
berwenang menghukum keras militer yang tak berdisiplin. Tentunya ada komandan
yang berwibawa, sehingga ketaatan para anak buahnya itu tidak disebabkan
karena perasaan takut, melainkan karena merasa sungkan terhadapnya. Walaupun demikian,
disiplin seperti itu masih tergolong disiplin yang berdasarkan ketaatan
kepada orang yang konkret dan pada dasarnya sama dengan disiplin berdasarkan
ketaatan kepada senior, atasan, pangkat tinggi, guru, atau pemuka agama, yang
semuanya orang-orang yang konkret. Agak berbeda adalah
disiplin yang berupa ketaatan kepada orang tua yang selain berdasarkan rasa
takut kepada seorang ayah yang berwibawa, sungkan seorang ayah yang
berwibawa, juga berdasarkan rasa cinta dan hormat; namun ayah dan ibu pun
manusia- manusia yang konkret. Penulis sangat mendambakan
disiplin nasional Indonesia yang juga berdasarkan ketaatan kepada hal-hal
yang abstrak, seperti peraturan, norma, dan hukum, dan hal yang lebih abstrak
lagi, yaitu ketaatan kepada prinsip. Kedua jenis disiplin inilah yang belum
berkembang dalam mentalitas orang Indonesia umumnya. Disiplin berupa ketaatan
kepada orang-orang yang konkret telah menyebabkan bahwa disiplin di Indonesia
itu senantiasa memerlukan pengawasan. Kalau pengawasan itu mengendur, maka
disiplin pun biasanya turut kendur. Oleh karena itu kita paham mengapa dalam
kehidupan sosial ekonomi negara kita hampir semua hal perlu diawasi
terus-menerus oleh aparat-aparat pengawasan yang mahal harganya. Kembali pada pokok
permasalahan dalam tulisan ini, yaitu "kendala sosial budaya dalam
pengamalan Pancasila", terbukti banyak sekali upaya-upaya kompleks masih
perlu ditangani oleh bangsa Indonesia pada umumnya, dan pemerintah khususnya,
agar kendala kendala itu dapat berkurang sampai batas yang sekecil mungkin.
Untunglah akhir-akhir ini masalah yang sering diremehkan ini kini mulai
mendapat perhatian dari khalayak ramai. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar