Kamis, 10 Juni 2021

 

Dekriminalisasi Pidana Pajak

Albert Aries  ; Pengajar FH Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki)

KOMPAS, 08 Juni 2021

 

 

                                                           

Wacana untuk mengubah sanksi pidana menjadi sanksi administrasi bagi pengemplang pajak telah digulirkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR.

 

Adapun fokus dari pengenaan sanksi administrasi berupa denda bukan hanya untuk mengejar penerimaan negara yang terdampak oleh pandemi Covid-19, melainkan juga bertujuan untuk membuat APBN tumbuh secara berkelanjutan.

 

Berdasarkan data yang ada hingga akhir April 2021, penerimaan pajak baru mencapai Rp 374,9 triliun atau 30,94 persen dari target total untuk tahun ini, yaitu Rp 1.229,6 triliun. Bahkan dikabarkan pemerintah berencana melaksanakan kembali program pengampunan pajak (tax amnesty) yang akan dibahas dalam revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan (KUP) di prolegnas DPR.

 

Sebelum wacana di atas bergulir, kasus dugaan suap yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi dalam pemeriksaan pajak atas suatu korporasi sempat mewarnai penegakan hukum pajak di Indonesia sehingga menimbulkan suatu pertanyaan, apakah wacana dekriminalisasi pidana pajak yang digulirkan sang bendahara negara tersebut dapat menjadi solusi efektif penerimaan negara di tengah pandemi Covid-19?

 

”Culpa” dan ”dolus”

 

Pengendalian suatu kejahatan dengan menggunakan instrumen hukum pidana dapat dikatakan merupakan salah satu cara paling tua, bahkan seusia peradaban manusia (the older philosophy of crime control). Karena itu, dari perspektif kebijakan publik, timbul pertanyaan apakah suatu kejahatan itu perlu dicegah dan dikontrol dengan menggunakan hukum pidana, yang sanksinya identik dengan perampasan kemerdekaan badan dari pelakunya, atau yang biasa dikenal dengan istilah ”kriminalisasi”.

 

Menurut pandangan Marc Ancel sebagaimana dikutip begawan hukum pidana Indonesia, almarhum Prof Sudarto, kebijakan kriminal adalah suatu pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat dengan tujuan utama perlindungan masyarakat sebagai bagian integral dari rencana pembangunan nasional.

 

Masih menurut pandangan Sudarto, dalam suatu kriminalisasi harus diperhatikan mengenai penggunaan hukum pidana yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan pengulangan atas kejahatan yang merugikan masyarakat, memperhitungkan prinsip ”biaya dan hasil” (cost benefit principle), dan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari aparat penegak hukum, khususnya penyidik dan penuntut umum di bidang perpajakan.

 

Secara umum, tindak pidana perpajakan dibagi menjadi pelanggaran dan kejahatan. Pelanggaran dimaksud adalah mencakup kealpaan (culpa) yang tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SP) atau menyampaikan SP yang tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian negara (Pasal 38 UU KUP).

 

Adapun kejahatan yang dimaksud adalah kesengajaan (dolus) untuk tak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan NPWP, tak menyampaikan SP, menyampaikan SP dengan tidak benar/lengkap, memperlihatkan pembukuan palsu atau seolah-olah benar, tak memperlihatkan pembukuan, dan tak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga menimbulkan kerugian negara (Pasal 39 UU KUP).

 

Oleh karena itu, wacana untuk melakukan dekriminalisasi atas tindak pidana perpajakan tersebut mengandung pengertian bahwa secara umum tindak pidana perpajakan tersebut, baik yang merupakan kejahatan maupun pelanggaran, bukan lagi merupakan suatu tindak pidana, melainkan merupakan pelanggaran administrasi perpajakan belaka, dengan konsekuensi berupa pengenaan denda.

 

Penerapan kebijakan kriminal dalam ketentuan umum perpajakan melalui sanksi pidana selama ini memang dianggap belum efektif dalam memulihkan kerugian negara. Hal itu karena para pengemplang pajak kemungkinan akan ”berhitung”, apakah ia akan lebih ”memilih” untuk melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar dengan ditambah denda empat kali jumlah utang pajak tersebut atau menghadapi proses hukum pidana.

 

Meski demikian, kebijakan dekriminalisasi pidana pajak yang dilakukan secara ekstrem tanpa mekanisme yang jelas juga bisa menimbulkan persoalan tersendiri mengingat potensi berkurangnya upaya paksa dalam penegakan hukumnya.

 

Hukum pajak progresif

 

Sebagai undang-undang administrasi yang bersanksi pidana (administrative penal law), Pasal 44B UU KUP sebenarnya telah mengatur mekanisme penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk kepentingan penerimaan negara, yaitu atas permintaan Menteri Keuangan kepada Jaksa Agung, yang hanya dapat dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tak seharusnya dikembalikan, dan ditambah sanksi administrasi berupa denda empat kali jumlah utang pajak tersebut.

 

Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan tersebut tentunya memiliki landasan yuridis yang bersumber dari ketentuan Pasal 82 KUH Pidana, yakni hapusnya kewenangan menuntut suatu pelanggaran karena adanya penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten process), berupa pembayaran denda yang dapat diikuti dengan perampasan suatu barang tertentu, sebagai perwujudan hukum pidana modern dalam mencapai tujuannya sesuai dengan asas ultimum remedium.

 

Untuk itu, apabila kebijakan publik yang diambil pemerintah dan DPR nantinya adalah dekriminalisasi pidana pajak, perlu diatur suatu pranata hukum yang progresif yang mengatur mekanisme restrukturisasi dan pembayaran denda utang pajak, yang idealnya disertai suatu jaminan yang dapat dieksekusi sewaktu-waktu (executable) melalui perampasan suatu benda tertentu oleh negara, sebagaimana ketentuan Pasal 82 KUH Pidana.

 

Terakhir, tetapi tak kalah penting, penulis sangat meyakini masyarakat dan pelaku usaha di Indonesia tidak akan berkeberatan untuk membayar dan melaporkan pajaknya sebagai suatu self assessment, sepanjang negara hadir untuk membangun sistem penghitungan, pembayaran, dan pelaporan perpajakan yang lebih sederhana dan pemeriksaan pajak yang restoratif, serta membebaskan masyarakat dari rasa takut terhadap segala sesuatu yang terkait perpajakan. ●

 

1 komentar:

  1. SELAMAT DATANG DI PERUSAHAAN PINJAMAN KARINA ELENA ROLAND, (karinarolandloancompany@gmail.com) atau whatsapp hanya di +1(585)708-3478,  tujuan kami adalah untuk memberikan Layanan Profesional yang Sangat Baik.
    Apakah Anda seorang pria atau wanita bisnis? Apakah Anda dalam kekacauan keuangan atau apakah Anda memerlukan dana untuk memulai bisnis Anda sendiri? Apakah Anda memerlukan pinjaman untuk memulai Usaha Kecil dan Menengah yang bagus? Apakah Anda memiliki nilai kredit yang rendah dan Anda merasa sulit untuk mendapatkan modal dari bank lokal dan lembaga keuangan lainnya?.

    Pinjaman kami diasuransikan dengan baik untuk keamanan maksimum adalah prioritas kami, Tujuan utama kami adalah membantu Anda mendapatkan layanan yang layak Anda dapatkan, Program kami adalah cara tercepat untuk mendapatkan apa yang Anda butuhkan dalam sekejap. Kurangi pembayaran Anda untuk mengurangi beban pengeluaran bulanan Anda. Dapatkan fleksibilitas yang dapat Anda gunakan untuk tujuan apa pun mulai dari liburan, pendidikan, hingga pembelian unik

    Kami menawarkan semua jenis layanan keuangan kepada individu yang membutuhkan pinjaman yang meliputi: Pinjaman Pribadi, Pinjaman konsolidasi hutang, Pinjaman Bisnis, Pinjaman Pendidikan, Pinjaman Aman Hipotek, Pinjaman Tanpa Jaminan, Pinjaman Hipotek, Pinjaman Tanpa Bayaran, Pinjaman Pelajar, Pinjaman Komersial, Pinjaman Investasi , Pinjaman Pembangunan, Pinjaman Otomatis, Pinjaman Konstruksi, dengan tingkat bunga rendah sebesar 2% per tahun untuk individu, perusahaan dan badan hukum. Dapatkan yang terbaik untuk keluarga Anda dan miliki juga rumah impian Anda dengan skema Pinjaman Umum kami.

    Silakan, hubungi kami untuk informasi lebih lanjut jika Anda tertarik: (karinarolandloancompany@gmail.com) atau whatsapp kami di +1(585)708-3478, instragram- karina roland. facebook-elena karina roland

    BalasHapus