Dekriminalisasi
Pidana Pajak Albert Aries ; Pengajar FH Trisakti dan Anggota
Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) |
KOMPAS, 08 Juni 2021
Wacana untuk mengubah sanksi
pidana menjadi sanksi administrasi bagi pengemplang pajak telah digulirkan
oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR. Adapun fokus dari
pengenaan sanksi administrasi berupa denda bukan hanya untuk mengejar
penerimaan negara yang terdampak oleh pandemi Covid-19, melainkan juga
bertujuan untuk membuat APBN tumbuh secara berkelanjutan. Berdasarkan data yang ada
hingga akhir April 2021, penerimaan pajak baru mencapai Rp 374,9 triliun atau
30,94 persen dari target total untuk tahun ini, yaitu Rp 1.229,6 triliun.
Bahkan dikabarkan pemerintah berencana melaksanakan kembali program
pengampunan pajak (tax amnesty) yang akan dibahas dalam revisi UU Ketentuan
Umum Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan (KUP) di prolegnas DPR. Sebelum wacana di atas
bergulir, kasus dugaan suap yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi dalam
pemeriksaan pajak atas suatu korporasi sempat mewarnai penegakan hukum pajak
di Indonesia sehingga menimbulkan suatu pertanyaan, apakah wacana
dekriminalisasi pidana pajak yang digulirkan sang bendahara negara tersebut
dapat menjadi solusi efektif penerimaan negara di tengah pandemi Covid-19? ”Culpa”
dan ”dolus” Pengendalian suatu
kejahatan dengan menggunakan instrumen hukum pidana dapat dikatakan merupakan
salah satu cara paling tua, bahkan seusia peradaban manusia (the older
philosophy of crime control). Karena itu, dari perspektif kebijakan publik,
timbul pertanyaan apakah suatu kejahatan itu perlu dicegah dan dikontrol
dengan menggunakan hukum pidana, yang sanksinya identik dengan perampasan
kemerdekaan badan dari pelakunya, atau yang biasa dikenal dengan istilah
”kriminalisasi”. Menurut pandangan Marc
Ancel sebagaimana dikutip begawan hukum pidana Indonesia, almarhum Prof
Sudarto, kebijakan kriminal adalah suatu pengaturan atau penyusunan secara
rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat dengan tujuan
utama perlindungan masyarakat sebagai bagian integral dari rencana
pembangunan nasional. Masih menurut pandangan
Sudarto, dalam suatu kriminalisasi harus diperhatikan mengenai penggunaan
hukum pidana yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan pengulangan
atas kejahatan yang merugikan masyarakat, memperhitungkan prinsip ”biaya dan
hasil” (cost benefit principle), dan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
aparat penegak hukum, khususnya penyidik dan penuntut umum di bidang
perpajakan. Secara umum, tindak pidana
perpajakan dibagi menjadi pelanggaran dan kejahatan. Pelanggaran dimaksud
adalah mencakup kealpaan (culpa) yang tidak menyampaikan surat pemberitahuan
(SP) atau menyampaikan SP yang tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat
menimbulkan kerugian negara (Pasal 38 UU KUP). Adapun kejahatan yang
dimaksud adalah kesengajaan (dolus) untuk tak mendaftarkan diri atau
menyalahgunakan NPWP, tak menyampaikan SP, menyampaikan SP dengan tidak
benar/lengkap, memperlihatkan pembukuan palsu atau seolah-olah benar, tak
memperlihatkan pembukuan, dan tak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau
dipungut sehingga menimbulkan kerugian negara (Pasal 39 UU KUP). Oleh karena itu, wacana
untuk melakukan dekriminalisasi atas tindak pidana perpajakan tersebut
mengandung pengertian bahwa secara umum tindak pidana perpajakan tersebut,
baik yang merupakan kejahatan maupun pelanggaran, bukan lagi merupakan suatu
tindak pidana, melainkan merupakan pelanggaran administrasi perpajakan
belaka, dengan konsekuensi berupa pengenaan denda. Penerapan kebijakan
kriminal dalam ketentuan umum perpajakan melalui sanksi pidana selama ini
memang dianggap belum efektif dalam memulihkan kerugian negara. Hal itu
karena para pengemplang pajak kemungkinan akan ”berhitung”, apakah ia akan
lebih ”memilih” untuk melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar dengan
ditambah denda empat kali jumlah utang pajak tersebut atau menghadapi proses
hukum pidana. Meski demikian, kebijakan
dekriminalisasi pidana pajak yang dilakukan secara ekstrem tanpa mekanisme
yang jelas juga bisa menimbulkan persoalan tersendiri mengingat potensi
berkurangnya upaya paksa dalam penegakan hukumnya. Hukum
pajak progresif Sebagai undang-undang
administrasi yang bersanksi pidana (administrative penal law), Pasal 44B UU
KUP sebenarnya telah mengatur mekanisme penghentian penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan untuk kepentingan penerimaan negara, yaitu atas
permintaan Menteri Keuangan kepada Jaksa Agung, yang hanya dapat dilakukan
setelah wajib pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau
tak seharusnya dikembalikan, dan ditambah sanksi administrasi berupa denda
empat kali jumlah utang pajak tersebut. Penghentian penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan tersebut tentunya memiliki landasan
yuridis yang bersumber dari ketentuan Pasal 82 KUH Pidana, yakni hapusnya
kewenangan menuntut suatu pelanggaran karena adanya penyelesaian di luar
pengadilan (afdoening buiten process), berupa pembayaran denda yang dapat
diikuti dengan perampasan suatu barang tertentu, sebagai perwujudan hukum
pidana modern dalam mencapai tujuannya sesuai dengan asas ultimum remedium. Untuk itu, apabila
kebijakan publik yang diambil pemerintah dan DPR nantinya adalah
dekriminalisasi pidana pajak, perlu diatur suatu pranata hukum yang progresif
yang mengatur mekanisme restrukturisasi dan pembayaran denda utang pajak,
yang idealnya disertai suatu jaminan yang dapat dieksekusi sewaktu-waktu
(executable) melalui perampasan suatu benda tertentu oleh negara, sebagaimana
ketentuan Pasal 82 KUH Pidana. Terakhir, tetapi tak kalah
penting, penulis sangat meyakini masyarakat dan pelaku usaha di Indonesia
tidak akan berkeberatan untuk membayar dan melaporkan pajaknya sebagai suatu
self assessment, sepanjang negara hadir untuk membangun sistem penghitungan,
pembayaran, dan pelaporan perpajakan yang lebih sederhana dan pemeriksaan
pajak yang restoratif, serta membebaskan masyarakat dari rasa takut terhadap
segala sesuatu yang terkait perpajakan. ● |
SELAMAT DATANG DI PERUSAHAAN PINJAMAN KARINA ELENA ROLAND, (karinarolandloancompany@gmail.com) atau whatsapp hanya di +1(585)708-3478, tujuan kami adalah untuk memberikan Layanan Profesional yang Sangat Baik.
BalasHapusApakah Anda seorang pria atau wanita bisnis? Apakah Anda dalam kekacauan keuangan atau apakah Anda memerlukan dana untuk memulai bisnis Anda sendiri? Apakah Anda memerlukan pinjaman untuk memulai Usaha Kecil dan Menengah yang bagus? Apakah Anda memiliki nilai kredit yang rendah dan Anda merasa sulit untuk mendapatkan modal dari bank lokal dan lembaga keuangan lainnya?.
Pinjaman kami diasuransikan dengan baik untuk keamanan maksimum adalah prioritas kami, Tujuan utama kami adalah membantu Anda mendapatkan layanan yang layak Anda dapatkan, Program kami adalah cara tercepat untuk mendapatkan apa yang Anda butuhkan dalam sekejap. Kurangi pembayaran Anda untuk mengurangi beban pengeluaran bulanan Anda. Dapatkan fleksibilitas yang dapat Anda gunakan untuk tujuan apa pun mulai dari liburan, pendidikan, hingga pembelian unik
Kami menawarkan semua jenis layanan keuangan kepada individu yang membutuhkan pinjaman yang meliputi: Pinjaman Pribadi, Pinjaman konsolidasi hutang, Pinjaman Bisnis, Pinjaman Pendidikan, Pinjaman Aman Hipotek, Pinjaman Tanpa Jaminan, Pinjaman Hipotek, Pinjaman Tanpa Bayaran, Pinjaman Pelajar, Pinjaman Komersial, Pinjaman Investasi , Pinjaman Pembangunan, Pinjaman Otomatis, Pinjaman Konstruksi, dengan tingkat bunga rendah sebesar 2% per tahun untuk individu, perusahaan dan badan hukum. Dapatkan yang terbaik untuk keluarga Anda dan miliki juga rumah impian Anda dengan skema Pinjaman Umum kami.
Silakan, hubungi kami untuk informasi lebih lanjut jika Anda tertarik: (karinarolandloancompany@gmail.com) atau whatsapp kami di +1(585)708-3478, instragram- karina roland. facebook-elena karina roland