Radikalisasi Kesaktian Pancasila
Fathorrahman Ghufron ; Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga; A’wan syuriah
PW NU Jogjakarta
|
JAWA
POS, 01 Oktober 2015
DALAM konteks keindonesiaan, Pancasila adalah ”rumah
besar” bagi semua komponen masyarakat dengan segala latar belakang ideologi
yang patut dijaga dan diyakini sebagai jalan hidup (way of life) menuju kedamaian (assalam). Bahkan, Pancasila merupakan dasar persatuan dan haluan
kemajuan bangsa yang mampu membimbing setiap orang menjadi pribadi yang
bersahaja.
Itulah Pancasila, yang setiap 1 Oktober selalu diperingati
hari kesaktiannya. Nilai sublim yang tertanam kuat dalam Pancasila penting
diaktualisasikan secara terus-menerus, mengingat isu terorisme semakin
menyeruak dalam berbagai jenis gerakan. Sebagaimana yang sering ditunjukkan
kelompok agama, etnis, maupun kohesi kelompok yang beraliran puritan-radikal
yang kerap mendemonstrasikan aksi kekerasan di berbagai kesempatan.
Narasi kekerasan yang digunakan berbagai kelompok
beraliran puritan-radikal dapat menjadi pemicu berkembangnya gerakan ekstrem
yang lebih besar sekaligus mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Hal itu bisa dicermati dari hadirnya berbagai kelompok
beraliran puritan-radikal yang berafiliasi dengan ikatan transnasional
seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan ditengarai sebagai upaya
penghancuran sendi-sendi kebangsaan yang selama ini mengacu pada Pancasila.
Bahkan, Pancasila yang sudah disepakati sebagai asas
negara sekaligus titik temu (kalimatun
sawa) dari seluruh realitas sosial keindonesiaan yang majemuk (Nurcholish
Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban) selalu ditolak dan disebut sebagai
”ideologi haram” yang tidak pantas dipeluk rakyat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Mereka mempropagandakan gagas an doktrin keyakinannya untuk
menggantikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi mereka,
Pancasila dianggap sebagai ajaran sekuler yang tidak bisa mengatasi problem
manusia yang dilanda ketidakadilan dan ketimpangan sosial.
Untuk menyikapi hal itu, segenap komponen masyarakat dan
pemerintah perlu menggulirkan semangat keindonesiaan dengan menjadikan
Pancasila sebagai asas pengetahuan, paham, dan pola pergerakan secara
radikal. Hal itu dilakukan agar menjadi wacana tanding atas aksi terorisme
yang selalu berkembang dengan beragam metamorfosisnya. Setidaknya metode itu
menjadi bentuk ”jihad nasionalisme” untuk memfilter setiap arus terorisme.
Sebab, bila terorisme selalu bercokol ke permukaan tanpa lawan gerakan yang
radikal di bawah naungan Pancasila, bisa rusak tatanan kehidupan rakyat
Indonesia.
Radikalisasi
Sebagai wacana tanding terhadap arus terorisme,
radikalisasi Pancasila meniscayakan gugusan pengetahuan dan pemahaman
doktrinal hingga akar nilai yang paling esensial serta konstitusional. Secara
epistemologis, radikalisasi menjadi upaya untuk membangkitkan semangat jibaku
dalam menjadikan Pancasila sebagai titik tolak dan titik lebur di kehidupan
berbangsa dan bernegara secara komprehensif.
Pancasila tidak sekadar menjadi rujukan materi pelatihan
maupun bahan ajar di berbagai jenjang pendidikan. Tapi, Pancasila menjadi
laku sejarah persemaian keberadaban yang selalu berkembang biak hingga setiap
orang meyakini bahwa Pancasila adalah sumber ajaran yang menyinergikan
semangat berketuhanan (teomorfisme) dan semangat berperikemanusiaan
(antropomorfisme) secara berimbang.
Dalam kaitan ini, ada tiga aspek yang bisa digunakan
sebagai sarana penguatan Pancasila secara radikal dalam kehidupan masyarakat.
Pertama, radical in mind. Berkaitan
dengan penguatan gagasan dan ide merevitalisasi Pancasila sebagai ”semangat
pencerahan” supaya setiap sila dalam Pancasila tidak hanya disadari sebagai
”asas negara”, tapi juga dapat disikapi kepada ”asas agama maupun budaya”
yang bisa diakui sebagai landasan spiritualitas oleh semua kelompok keyakinan
teologis dan etnis. Pancasila harus ditransformasi ke berbagai sebaran
pengetahuan di sekolah dan lembaga pendidikan agar membentuk kesadaran
kognitif yang memberikan pemahaman komprehensif.
Kedua, radical in
attitude. Berkaitan dengan sikap dan perilaku tiap orang untuk
menyandarkan sila kebertuhanan sebagai cara melindungi berbagai agama dan
kepercayaan, sila kemanusiaan untuk mewujudkan keadaban dan perlindungan
terhadap HAM, sila persatuan sebagai komitmen sosial yang meniscayakan
kerukunan, sila kerakyatan sebagai basis musyawarah dan mufakat yang
mendorong kemaslahatan publik, serta sila keadilan yang meniscayakan adanya
pola hubungan rerata sekaligus perlu digunakan sebagai sarana untuk
melestarikan sikap simbiosis mutualisme yang beradab.
Ketiga, radical in
action. Berkaitan dengan tindakan individu maupun kelompok dalam
merumuskan kebijakan aksional bernapas Pancasila yang diperuntukkan
kepentingan orang banyak. Pada level aksiologi itu, semua komponen masyarakat
menyadari bahwa Pancasila menjadi serapan banyak acuan pengetahuan, baik yang
berbasis agama, budaya, politik, dan semacamnya, yang antara satu dan lainnya
saling berkait dalam ikatan equal
validity serta tidak menafikan kebenaran antara satu dan lainnya. Sebab,
substansi ajaran yang terdapat dalam tiap-tiap pengetahuan tersebut sudah
terkristal dalam norma besar (grand
norm) yang bernama Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar