Perempuan
James Luhulima ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
03 Oktober 2015
Tanggal 12 September lalu, di
Konsulat Jenderal Republik Indonesia untuk Victoria dan Tasmania di
Melbourne, Australia, diselenggarakan seminar bertema ”Kepemimpinan Perempuan
di Indonesia”. Yang menarik dari seminar tersebut adalah pembahasan tentang
perempuan Indonesia itu tidak dibatasi pada topik kesetaraan jender saja,
tetapi juga mencakup seluruh persoalan yang dihadapi perempuan Indonesia,
termasuk kekerasan terhadap perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), dan tingginya angka kematian ibu melahirkan.
Dalam seminar yang diselenggarakan
Ikatan Warga Indonesia di Victoria (Ikawiria) itu hadir sebagai pembicara
Konsul Jenderal RI di Melbourne Dewi Savitri Wahab, penulis dan wartawan
senior Dewi Anggraeni, serta penulis yang juga peneliti masalah jender dan
media Lily Yulianti Farid.
Dalam seminar itu dipaparkan, jika
melihat kondisi Indonesia saat ini, memang sudah banyak perempuan yang
menjadi pemimpin. Yang tertinggi adalah pencapaian Megawati Soekarnoputri
sebagai presiden kelima RI (2001-2004).
Saat ini pun ada delapan menteri
perempuan dalam Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Joko Widodo. Apa yang
dilakukan Presiden Jokowi perlu mendapatkan pujian karena pada masa lalu,
kalaupun ada menteri perempuan, paling-paling menduduki jabatan Menteri
Urusan Peranan Wanita, Menteri Kesehatan, Menteri Lingkungan Hidup, atau
Menteri Sosial. Di luar itu, sempat ada juga Menteri Perindustrian dan
Perdagangan serta Menteri Perdagangan.
Namun, di bawah kepemimpinan
Presiden Jokowi, ada delapan menteri perempuan, yakni Menteri Luar Negeri
Retno LP Marsudi, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarmo, Menteri
Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Kesehatan Nila
Djuwita Anfasa Moeloek, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, serta Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise.
Khusus tentang terpilihnya
Megawati Soekarnoputri diberikan catatan tersendiri, yakni Megawati terpilih
bukan melalui pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, melainkan
dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat mendampingi Presiden Abdurrahman
Wahib sebagai Wakil Presiden. Megawati kemudian menjadi Presiden karena
Abdurrahman Wahid dimundurkan oleh MPR.
Disebutkan, jika Megawati terpilih
melalui pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, barulah Indonesia bisa
bangga dengan mengatakan bahwa persoalan perempuan atau laki-laki bukanlah
masalah lagi bagi bangsa Indonesia.
Sayangnya, Megawati gagal dalam
Pemilihan Presiden 2004 dan Pemilihan Presiden 2009. Tahun 2014, Megawati
tidak lagi mencalonkan diri dan menetapkan Jokowi sebagai calon presiden.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa persoalan perempuan atau laki-laki
masih merupakan masalah di Indonesia. Paling tidak hingga kini.
”Bersedia
mengalah”
Dalam banyak hal, sesungguhnya
sejak perjuangan yang dilakukan RA Kartini dan pejuang-pejuang emansipasi
perempuan lain, kehidupan perempuan sudah jauh lebih baik. Sudah banyak
perempuan yang kini dapat menduduki posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang
tadinya hanya dikuasai laki-laki.
Namun, dalam meniti kariernya,
terutama setelah menikah, jalan yang harus dilalui seorang perempuan sungguh
berat. Oleh karena seorang perempuan dituntut untuk meniti kariernya hingga
ke puncak dengan tetap menjadi istri dan ibu yang baik. Di antara peserta
seminar itu, banyak yang menyatakan bersyukur karena suami mereka ”bersedia
mengalah” untuk sementara pada saat mereka (para istri) menempuh pendidikan
atau meniti karier di luar negeri. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi
pada mereka apabila suami tidak mau mengalah?
Yang paling memprihatinkan adalah
pada saat perempuan-perempuan Indonesia sudah ada yang menjadi presiden, atau
menjadi menteri, ada banyak perempuan lain di Indonesia yang masih harus
melepaskan diri dari jeratan-jeratan yang membelitnya, seperti kekerasan dalam
rumah tangga, baik fisik dan maupun nonfisik, serta tingginya angka kematian
ibu melahirkan.
Sangat disesalkan, pada saat
Indonesia merayakan 70 tahun kemerdekaannya, ternyata Indonesia gagal
mewujudkan target angka kematian ibu melahirkan tahun 2015 sebagaimana yang
ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDG), yakni 102 kematian per
100.000 kelahiran hidup.
Setelah MDG berakhir, kini
Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDG). Dan, Wakil Presiden Jusuf Kalla di New York, Amerika Serikat,
mengatakan, apa yang dicanangkan SDG sudah dikerjakan Indonesia melalui
berbagai program dalam Nawa Cita walaupun diakui bahwa program pemerintah itu
perlu penajaman, termasuk tingkat kematian ibu dan anak.
Kementerian Kesehatan menyebut
buruknya layanan kesehatan yang diakibatkan oleh buruknya infrastruktur dan
minimnya fasilitas kesehatan menjadi penyebab utama tingginya angka kematian
ibu melahirkan. Jika masalahnya sudah diidentifikasi, tentunya yang kita
tunggu adalah strategi untuk mengatasinya. Dokter terbang mungkin bisa
menjadi salah satu alternatif pilihan.
Jika hingga saat ini kesetaraan
jender masih menjadi masalah, dalam batas-batas tertentu itu masih dapat kita
terima mengingat masalah itu dilatarbelakangi oleh masalah struktural dan
kebudayaan yang sulit untuk diubah. Berbeda dengan kematian ibu melahirkan.
Itu sebabnya, kita berharap pemerintah lebih sungguh-sungguh berupaya menekan
angka kematian ibu melahirkan sesegera mungkin. Menunggu 70 tahun sudah terlalu
lama.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar