Menggugat Kebakaran Hutan
Andri G Wibisana ; Dosen Hukum Lingkungan pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
07 Oktober 2015
Pada saat kebakaran hutan marak terjadi, seperti sekarang ini,
efektivitas penegakan hukum selalu dipertanyakan. Penegakan hukum yang selama ini diandalkan
pemerintah adalah jalur pidana. Untuk kebakaran tahun ini saja, misalnya,
Polri telah menetapkan 140 tersangka (Kompas.com, 16/9).
Sementara itu, baru-baru ini Mahkamah Agung (MA) telah
menguatkan putusan yang memenangkan gugatan pemerintah kepada perusahaan
pembakar hutan. Melalui putusan ini, perusahaan diwajibkan membayar ganti
rugi dan pemulihan lingkungan senilai Rp 366 miliar. Ini sebuah nilai fantastis untuk kasus
pencemaran.
Namun, penegakan hukum melalui gugatan perdata ternyata jarang
digunakan oleh pemerintah. Minimnya
penggunaan gugatan perdata ini patut disayangkan, sebab pertanggungjawaban
perdata yang ada di negara kita sebenarnya sudah cukup maju, serta dapat
memudahkan penegak hukum untuk menjerat perusahaan pembakar hutan.
Tanggung jawab
mutlak
Pembakar hutan di Indonesia dapat dimintai pertanggungjawaban
dengan menggunakan doktrin perbuatan melawan hukum. Melalui sistem pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan ini, penggugat harus membuktikan setidaknya empat hal.
Pertama, adanya perbuatan pembakaran hutan. Kedua, pembakaran ini merupakan perbuatan
yang melanggar hukum. Ketiga, kerugian penggugat. Keempat, hubungan
kausalitas antara pembakaran hutan dan kerugian.
Selain itu, pertanggungjawaban dapat pula didasarkan pada strict
liability, yaitu pertanggungjawaban tanpa kesalahan, yang di Indonesia
pertanggungjawaban ini diterjemahkan sebagai tanggung jawab mutlak. Dalam
sistem ini, penggugat masih harus membuktikan bahwa, pertama, kegiatan/usaha
tergugat di bidang kehutanan merupakan kegiatan/usaha yang berbahaya dan
dapat menimbulkan risiko kebakaran hutan. Kedua, adanya kerugian penggugat.
Ketiga, adanya hubungan kausalitas antara kerugian dan kegiatan/usaha
tergugat.
Dalam sistem ini, tergugat dinyatakan bertanggung jawab apabila
kebakaran hutan termasuk ke dalam risiko dari kegiatan/usahanya sehingga
bukti adanya kesalahan, misalnya, kegiatan pembakaran, tidaklah diperlukan.
Namun, sering kali kita mendengar dalih tergugat bahwa kebakaran terjadi
karena perbuatan pihak lain atau bahkan karena faktor alam. Apakah dalih
seperti ini dapat membebaskan (mengecualikan) tergugat dari
pertanggungjawaban?
Peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan sepertinya
telah disusun sedemikian rupa sehingga mereka yang terlibat dalam kebakaran
hutan harus bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi tanpa melihat apa
dan siapa yang menjadi penyebab dari kebakaran tersebut. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menyatakan bahwa pemegang hak atau izin berkewajiban melakukan
perlindungan hutan, termasuk dengan melakukan pencegahan kebakaran hutan
(Pasal 48), dan bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal
kerjanya (Pasal 49).
Ketentuan yang hampir sama juga dapat ditemukan di dalam Pasal
12, Pasal 13, dan Pasal 18 dari Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang
Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Selanjutnya, PP No 45/2004 tentang Perlindungan Hutan menyatakan
bahwa "... termasuk ke dalam upaya perlindungan hutan adalah kewajiban
untuk menghindari kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran karena
perbuatan manusia maupun alam" (Pasal 18). PP ini bahkan menegaskan
adanya tanggung jawab pemegang izin atas kebakaran hutan di areal kerjanya,
yang meliputi tanggung jawab pidana, tanggung jawab perdata, membayar ganti
rugi, atau sanksi administrasi (Pasal 30).
Tanpa
pengecualian
Dari berbagai ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemegang izin memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan di
wilayahnya. Pada sisi lain, pemegang
izin memiliki tanggung jawab hukum apabila kebakaran terjadi di wilayahnya.
Dengan demikian, sebenarnya pertanggungjawaban perdata untuk kebakaran hutan
diam-diam telah menganut absolute liability, yaitu suatu pertanggungjawaban
tanpa kesalahan yang tidak memungkinkan diterimanya dalih pengecualian dari
pihak tergugat (Vernon Palmer, 1988: 1329).
Tulisan singkat ini memperlihatkan bagaimana gugatan perdata
sebenarnya menjanjikan efektivitas yang cukup tinggi. Pada satu sisi, gugatan
perdata mampu memberikan ganti rugi yang sangat tinggi, berkali-kali lipat di
atas jumlah denda maksimum untuk sanksi pidana. Sementara pada sisi lain, sistem
pertanggungjawaban perdata untuk kebakaran hutan di Indonesia menempatkan
pemegang izin kehutanan untuk selalu bertanggung jawab atas kebakaran hutan
yang terjadi di wilayahnya tanpa melihat ada tidaknya kesalahan pemegang
izin. Bahkan, dalam kasus semacam ini dapat pula dimintai pertanggungjawaban
tanpa melihat siapa dan apa penyebab dari kebakaran hutan.
Sayangnya, semua itu tidak pernah dijalankan optimal untuk
menyeret para pelaku dan mereka semua yang seharusnya bertanggung jawab atas
bencana asap yang menyengsarakan banyak warga tak bersalah. Dengan kemudahan
ini, pemerintah seyogianya lebih sering lagi menggunakan gugatan perdata
untuk kebakaran hutan di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar