Selasa, 13 Oktober 2015

Memimpin Pemerintahan Gaduh

Memimpin Pemerintahan Gaduh

W Riawan Tjandra ;   Pengajar Senior pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
                                                  KORAN SINDO, 08 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kepemimpinan Jokowi-JK sungguh-sungguh diuji luar-dalam oleh berbagai fenomena politik yang tak kunjung senyap. Kegaduhan di Kabinet Kerja ini sempat terjadi saat Rizal Ramli melontarkan sejumlah pernyataan yang menyerang kebijakan pemerintah Jokowi sehari setelah dia menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman.

Dalam pidatonya pada acara serah-terima jabatan di Kementerian Koordinator Maritim, Rizal menyatakan akan memanggil direksi PT Garuda Indonesia untuk membatalkan pembelian pesawat Airbus A350. Alasannya, pembelian itu berpotensi membuat laporan keuangan Garuda jadi merah.

Rizal juga mengkritik proyek listrik 35.000 megawatt. Menurut ekonom yang dikenal kritis ini, proyek tersebut tak realistis sehingga berpotensi tak tercapai pada akhir pemerintahan Jokowi-Kalla. Rizal juga menyentil proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan menyebutkan ada pejabat yang ”bermain” di megaproyek tersebut.

Akhirnya, Presiden Joko Widodo turun tangan menengahi perseteruan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli. Rabu, 19 Agustus 2015, Jokowi mempertemukan Kalla dengan Rizal dalam sidang kabinet di Istana.

Belum berhenti gaung ”perseteruan politik” antara dua elite politik di lingkungan Kabinet Kerja tersebut, kini situasi memanas lagi setelah Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) konsisten terkait mekanisme penentuan harga bahan bakar minyak (BBM).

Hal tersebut dikatakan Agus menanggapi pernyataan Jokowi yang meminta PT Pertamina (Persero) untuk menurunkan harga BBM jenis premium. Argumentasi Gubernur BI terkait kritiknya tersebut adalah masyarakat global saat ini sudah mendengar bahwa sejak awal tahun lalu pemerintah melakukan reformasi subsidi BBM agar kondisi keuangan Indonesia lebih sehat.

Pemerintah telah memutuskan untuk menentukan mekanisme evaluasi harga BBM tiap tiga hingga enam bulan. Pernyataan Agus Martowardojo tersebut dibalas dengan pernyataan dari pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tergabung dalam organisasi Projo yang menuding bahwa Agus yang seharusnya membantu pemerintah malah terkesan bertindak seperti oposisi dengan pernyataannya tersebut.

Projo sebagai pendukung Jokowi garis keras selanjutnya bahkan mendorong ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk memangkas masa jabatan Agus Marto sebagai gubernur BI, sekaligus mengurangi independensi bank sentral.

Relawan Projo menyebut perppu itu penting demi menyelamatkan nilai tukar rupiah. Gubernur BI selama ini dianggap bertanggung jawab terhadap pelemahan nilai tukar rupiah karena BI tak mampu menjalankan kewenangannya dengan baik melalui kebijakannya untuk memperkuat nilai tukar rupiah.

Dalam sistem presidensial, kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan dalam arti sempit (eksekutif) maupun dalam arti luas seharusnya sangat kuat. UUD Negara RI 1945 telah meletakkan pilihan untuk memperkuat sistem presidensial dengan harapan agar terwujud stabilitas sistem pemerintahan.

Selain Presiden tak mudah dijatuhkan di tengah jalan tanpa melalui mekanisme pemakzulan presiden (impeachment) berdasarkan alasan-alasan konstitusional yang bersifat restriktif, Presiden juga memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 5 UUD Negara RI 1945).
Jika berkaca pada UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dengan jelas ditegaskan kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan (the chief executive) dengan mendefinisikan bahwa menteri adalah pembantu presiden yang memimpin kementerian. Kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya siapa pun menteri yang ditunjuk Presiden duduk di kursi kabinet harus bertindak dalam ritme dan irama orkestra di bawah ”dirigen” sang Presiden. Menteri atau siapa pun pejabat dalam struktur eksekutif harus mengikuti perintah Presiden.

Demikian pula, meski sebagai jabatan politik menteri yang berasal dari unsur partai politik, seharusnya tunduk di bawah koordinasi Presiden sebagai pucuk pimpinan tertinggi dalam kabinet. Namun, ternyata realitas politik sistem pemerintahan saat ini berbicara lain. Masih ada menteri yang secara administratif merangkap jabatan di DPR karena keanggotaannya belum diputuskan sejak yang bersangkutan diangkat sebagai pejabat di lingkungan eksekutif.

Praktik bak sistem parlementer ini tentu saja bisa mengacaukan administrasi pemerintahan sistem presidensial karena bertentangan dengan kelaziman administratif sistem pemerintahan presidensial. Di sisi lain, masih terlihat beberapa menteri menunjukkan ”kesetiaan ganda” di antara kesetiaan terhadap Presiden dan pemimpin partai yang juga membalikkan logika berpikir sistem pemerintahan presidensial yang mengonsentrasikan kekuasaan pemerintah di kursi Presiden.

Dalam perspektif hubungan kerja antara Presiden dan Gubernur BI yang memang oleh konstitusi diatribusikan ada independensi BI sebagai bank sentral, Gubernur BI memang memimpin lembaga yang independen secara konstitusional, namun tak berarti boleh begitu saja mengkritik secara terbuka kebijakan Presiden.

Dalam sistem ketatanegaraan, selain terdapat hubungan kewenangan antarlembaga negara, juga terdapat etika organisasi yang seharusnya menjadi rujukan bagi setiap pejabat dalam bersikap dan bertutur kata. Seluruh kegaduhan yang selama ini terjadi tampaknya disebabkan oleh masih belum dipahaminya dengan baik etika organisasi pemerintahan.

Setiap pejabat publik bisa ngomong sesukanya dan berpolemik di muka publik seakanakan tanpa mempertimbangkan implikasi dari ucapannya secara sistemik maupun sosial. Di sisi lain, fenomena kegaduhan politik itu mencerminkan tak memadainya sistem koordinasi kewenangan antara lembaga negara maupun antarpejabat negara yang seharusnya bisa dilakukan untuk menghindari kegaduhan politik.

Masyarakat disuguhi tontonan tak sedap dari polemik pejabat publik yang bertutur kata secara sembrono seakan-akan tanpa menyadari bahwa rakyat saat ini hanya membutuhkan pemenuhan kebutuhan pokoknya tak terganggu daripada mendengar para pejabat negara saling memaki di muka publik yang salah-salah juga bisa berimplikasi terjadi keguncangan politik secara bertahap.

Namun, di sisi lain, Presiden seringkali terlihat tak cukup cepat bertindak saat rakyat membutuhkan sikap jelas dan tegas dari seorang pemimpin. Kelambanan sikap seorang Presiden dalam memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang terjadi bisa menimbulkan penilaian bahwa kabinet saat ini justru ”gagal menghadirkan negara” yang menjadi logika terbalik dari Nawacita yang ingin mewujudkan gagasan negara yang hadir dalam kehidupan rakyatnya.

Padahal, Presiden dan para menteri sudah berupaya untuk rajin ”blusukan ” untuk membangun citra tentang pemimpin yang care dan empatik. Lambatnya penyerapan anggaran di daerah yang selama ini didramatisasikan seakanakan para pejabat di daerah takut dikriminalisasikan jika kebijakannya salah dan segera direspons oleh Presiden dengan rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Antikriminalisasi Pejabat, membuktikan fenomena pembangkangan politik yang dilakukan oleh beberapa oknum pejabat daerah yang abai terhadap pemenuhan hak-hak politik maupun hak-hak ekonomi-sosial dan budaya rakyatnya melalui pelaksanaan program/kegiatan di daerah dengan pendanaan yang bersumber dari APBD/APBN.

Meskipun harus diakui masih ada kelemahan dalam sistem penegakan hukum antikorupsi saat ini karena kelemahan dalam sistem regulasi pendukungnya, pemerintah harus memiliki kepastian arah penyelenggaraan pemerintahan secara jelas yang dapat dijabarkan melalui kebijakan sektoral di pusat maupun daerah.

Negara tak boleh sibuk berpolemik dengan dirinya sendiri dan rakyat dijadikan penonton dari konflik elite dengan bahasa- bahasa yang tak sepenuhnya mereka pahami. Rakyat hanya membutuhkan kepastian bahwa kebutuhan pokoknya terpenuhi dan keselamatan hidupnya terjamin oleh pemerintah yang sudah mereka bayar lunas melalui pajak yang mereka bayar secara rutin.

Pull out: Kelambanan sikap seorang Presiden dalam memberikan solusi bisa menimbulkan penilaian bahwa kabinet saat ini justru ”gagal menghadirkan negara” yang menjadi logika terbalik dari Nawacita yang ingin mewujudkan gagasan negara yang hadir dalam kehidupan rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar