Kematian yang Telah Diramalkan
di Selok Awar-Awar
Mohammad Ilham ; Wartawan Jawa Pos Surabaya
|
JAWA
POS, 02 Oktober 2015
SEMUA orang di kota kecil Sucre, Kolombia, sudah tahu
bahwa cepat atau lambat Santiago Nasar akan mati terbunuh. Di pasar,
kedai-kedai, seluruh penjuru kota, semuanya sudah mendengar nubuat itu.
Bahkan, wali kota, polisi, dan pendeta setempat juga tahu.
Saudara kembar Pedro dan Pablo Vicario telah
mengabarkannya kepada semua orang yang ditemui. Mereka mengasah pisaunya ke
penjagal daging di pasar. Mereka menunggu waktu yang tepat di sebuah kedai
minuman dekat gereja sembari meletakkan pisau di meja.
Semua orang mengabaikannya. Mereka sibuk mengurusi
perayaan kedatangan uskup agung ke kota itu. Uskup yang memberkati pernikahan
Angela Vicario dengan saudagar muda Bayardo San Roman.
Di hari kematiannya pada suatu Senin yang dingin di
Februari 1951, Santiago terbangun pukul 05.30. Dia meninggalkan rumah pukul
06.05 menuju gereja dan sejam kemudian tergeletak tanpa nyawa di depan pintu
rumah. Banyak saksi melihat, Pedro dan Pablo mengikuti Santiago pulang ke
rumah.
Begitu bersua dengannya, Pedro menusuk lambung korban.
”Ibu,” pekik Santiago. Pablo menyusul dengan tikaman tiga kali di punggung.
Mereka membunuh karena terdorong pengakuan saudarinya, Angela. Saudarinya
diusir sang suami Bayardo karena ketahuan tidak perawan di malam pernikahan.
Dan Santiago yang tertuduh. Meski belum valid benar, dia tetap diburu.
Hingga kematiannya, Santiago tidak benar-benar tahu
mengapa dirinya dibunuh. Itulah sekelumit kisah dari buku berjudul Cronica de
Una Muerte Anunciada karya peraih Nobel Sastra Gabriel Garcia Marquez. Karya
nonfiksi yang diartikan ke bahasa Indonesia sebagai Kronik Kematian yang
Telah Diramalkan. Sastrawan asal Kolombia tersebut terinspirasi kisah nyata
di kampungnya.
Itu adalah gambaran betapa murahnya nyawa manusia dan
betapa tidak pedulinya masyarakat. Hingga kini Kolombia masih merupakan salah
satu negara dengan tingkat pembunuhan yang tinggi. Dan pada Sabtu (26/9) kita
mendengar sebuah kematian yang telah diramalkan lainnya di Selok AwarAwar,
Lumajang.
Lebih sadis daripada pembunuhan Santiago. Dengan alasan
yang lebih memilukan. Salim Kancil, tokoh antitambang pasir di Selok
Awar-Awar, diculik dan dibunuh sekelompok preman protambang pasir. Selain
Salim, rekannya, Tosan, pun jadi korban dan sekarang kritis di rumah sakit.
Ironis, karena tak lebih dari dua pekan sebelum kematian
Salim, Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar telah melapor
ke Polres Lumajang, terkait ancaman itu. Dalam pernyataan pers mereka, tidak
ada tanggapan dari polisi dan nama-nama yang melakukan ancaman melenggang
tanpa proses.
Sudah lama konflik antara masyarakat pro dan antitambang
berlangsung. Aktivitas pertambangan pasir besi liar di pesisir selatan
Lumajang itu sudah jadi rahasia umum. Namun, tidak ada tindakan tegas dari
penegak hukum dan pemerintah daerah setempat. Atau mereka tahu dan melakukan
pembiaran.
Pemangku hukum diam, pemangku pemerintahan abai, dan
masyarakat terlalu takut melindungi diri sendiri. Tindakan preventif terlupa;
tugas sebagai pengayom masyarakat terlalaikan.
Hingga kemudian, di pagi hari, sekitar pukul 06.30, Salim
dan Tosan diculik dari rumahnya oleh sekelompok orang pada waktu yang hampir
bersamaan. Salim direnggut dari hadapan anak-anaknya, dibawa ke balai desa,
disiksa, diseret ke perkebunan yang sepi, dan dibunuh.
Bukannya tanpa saksi mata, begitu banyak orang yang
melihat, tetapi semua tidak berdaya. Mereka ketakutan. Bahkan, di balai desa,
para guru sampai memulangkan murid-murid TK dan PAUD karena ngeri melihat
kekejian para pelaku terhadap Salim.
Warga sendiri bukan tidak tahumenahu dengan aktivitas para
preman itu. Mereka biasanya petantang-petenteng menebar teror. Kalau di balai
desa, sebagai simbol kekuasaan terkecil pemerintah, ada warga yang dibantai
seperti itu dan tanpa tindakan aparat hukum, kita patut bertanya: ada apa
dengan negeri ini?
Sepertinya, menjadi aktivis lingkungan dewasa ini begitu
menakutkan. Sepanjang tahun lalu di seluruh dunia terjadi peningkatan 20
persen pembunuhan terhadap aktivis lingkungan hidup. Menurut laporan Global
Witness, sebanyak 116 orang dibunuh.
Brasil dan Kolombia menjadi negara dengan korban terbesar.
Sebanyak 29 aktivis lingkungan terbunuh di Brasil dan 25 orang di Kolombia.
Para aktivis itu terbiasa mendapat ancaman, teror, dan berujung kematian.
Umumnya akibat konflik dengan perusahaan besar hingga negara.
Di Indonesia, konflik agraria terus berulang. Konflik
terjadi karena penetapan izin tambang oleh pejabat publik berdampak luas dan
merugikan warga sekitar. Setidaknya selama 2014 terdapat 472 kasus konflik
yang melibatkan hampir 3 juta hektare lahan sengketa. Itu berdasar data
Konsorsium Pembaruan Agraria.
Masih di tahun ini, pada Februari lalu, seorang aktivis
lingkungan terbunuh di Jambi. Tepatnya 27 Februari, Indra Pelani yang baru
berusia 23 tahun, aktivis organisasi Serikat Petani Tebo (SPT) di Kabupaten
Tebo, Jambi, menjadi korban pengeroyokan petugas sekuriti perusahaan kertas
dan ditemukan tak bernyawa.
Padahal, sama seperti Salim dan Tosan, keinginan Indra
adalah alam negeri kita ini terjaga. Mereka menjadi korban karena pemerintah
abai dan lalai terkait kejahatan lingkungan. Lihat saja kebakaran –atau
tepatnya pembakaran– hutan yang berulang setiap tahun. Dan kita tidak hidup
di Kolombia tahun 1951, bukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar