Guru
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
11 Oktober 2015
Di salah satu
media sosial, sebuah stasiun radio menuliskan sebuah pertanyaan dalam rangka
menyambut hari guru sedunia. Begini pertanyaan itu. Guru apa yang paling gak
bisa dilupain? Kenapa? (Boleh guru di sekolah atau di luar sekolah seperti
guru les, bimbel, kursus).
Memperingati
Sampai dua
kali saya mengulangi untuk mengerti arti pertanyaan di atas. Akhirnya, dengan
IQ yang gitu deh itu, saya menyimpulkan begini. Guru apa, itu berarti
menunjukkan jenis pekerjaan sesuai dengan mata pelajaran. Guru matematika,
misalnya.
Kalimat
berbunyi "yang paling gak bisa dilupain" itu berarti bisa
menjelaskan tabiat guru atau pengalaman yang dilakukan guru terhadap muridnya
yang tak terlupakan. Artinya bisa berupa tabiat dan pengalaman yang baik dan
indah, atau sebaliknya. Kata kenapa artinya memberikan penjelasan atas
kalimat yang berbunyi 'paling gak bisa dilupain'.
Saya juga tak
tahu mengapa di hari guru sedunia, stasiun radio itu justru tidak menanyakan
kepada para guru, hal apakah yang paling gak bisa dilupain soal
murid-muridnya atau soal institusinya.
Karena saya
tak mengikuti jalannya acara di stasiun radio itu secara langsung, dan karena
saya ingin juga berpartisipasi menjawab pertanyaan itu, maka inilah
penjelasan saya. Sejujurnya saya sakit hati dengan guru-guru di masa 40 tahun
yang lalu itu. Kesakitan yang mereka lakukan berupa penghinaan terhadap
tingkat intelektualitas dan eksistensi saya sebagai pria yang dilahirkan
flamboyan.
Di masa itu
saya tak berani melawan guru. Saya sendiri tak tahu mengapa mereka menghina,
karena saya tak pernah menjadi guru. Jadi saya tak pernah tahu pemikiran
mereka, yang saya tahu, kalau saya ini hanya sebagai korban. Eh salah. murid,
maksudnya.
Beberapa hari
lalu sebelum tenggat tulisan ini, saya menyaksikan sebuah peragaan busana.
Dan itu melambungkan saya pada profesi perancang mode. Sebuah profesi yang
rumitnya setengah mati. Rumitnya karena pembeli yang datang untuk dibuatkan
pakaian memiliki beraneka bentuk tubuh.
Dari yang
tinggi tetapi bongkok, yang pendek dan montok, sampai yang berukuran sedang
semampai, tanpa bisa menghindari mereka yang memiliki payudara berukuran
besar atau bahkan nyaris serata dada laki-laki.
Memaafkan
Melihat
berbagai bentuk tubuh dan ukuran itu, saya pernah bertanya dalam hati. Apakah
seorang perancang mode itu pernah kesal melihat tubuh kliennya seperti itu?
Karena dengan bentuk yang berbeda-beda dan unik itu, seorang perancang mode
harus membuat pola yang berbeda-beda yang saya pastikan membuat mereka pusing
tujuh keliling.
Apakah
guru-guru saya ketika mereka mengatai saya bodoh seperti ayam tanpa otak
adalah sebuah bentuk kekesalan mereka terhadap tingkat intelektualitas yang
diberikan Tuhan untuk saya. Karena dengan intelektualitas yang ecek-ecek itu,
mereka harus beberapa kali meluangkan waktu untuk mengajar saya berhitung,
seperti seorang perancang mode harus membuat pola yang lebih rumit untuk
klien mereka yang bentuk badannya unik ketimbang yang sudah dilahirkan secara
proporsional.
Saya juga tak
pernah tahu apakah ada perancang mode yang mengatai raga kliennya itu
jeleknya setengah mati, seperti guru saya dengan ringan mengatai saya bodoh
di depan sekian puluh murid lainnya.
Kalau saya
melihat sebuah koleksi perancang mode yang indah, dan memiliki pelanggan yang
banyak, saya berpikir bahwa yang mereka inginkan hanya satu hal. Agar
kliennya itu merasa cantik dan tampil menawan dalam kreasi yang mereka
ciptakan, apa pun bentuk raga pelanggannya, sehingga kliennya merasa menawan
dengan keadaannya sendiri dan bukan menjadi boneka si perancang mode.
Bukankah agar
tujuan itu tercapai, seorang perancang mode akan melupakan proses panjang
membuat pola yang rumit, membuat jadwal mengepas berulang kali, dan
mendengarkan mulut klien yang super bawel seperti sebuah nyanyian yang tak
pernah berakhir. Belum lagi setelah semua selesai, mereka terlambat membayar.
Setelah
menyaksikan peragaan busana itu, saya komat-kamit sendiri sambil menuruni
tangga berjalan. Tidakkah guru-guru saya di masa itu ingin melihat saya dan
sejuta muridnya di suatu hari 'berpenampilan' menawan dan percaya diri, meski
ada yang IQ-nya jongkok seperti IQ ayam, dan flamboyan seperti gemulainya
pohon bambu yang ditiup angin?
Sambil masih
komat-kamit seperti orang setengah waras, saya bertanya pada diri saya.
Perlukah saya ini sebagai bekas murid memperingati hari atau membuat
selamatan untuk mengenang sebuah penghinaan dan luka yang dalam di hari
istimewa itu?
Di dalam taksi dengan argo yang sekarang tambah mahal, saya
berbicara dalam hati. Seyogianya itu bukan pekerjaan rumah guru-guru saya,
itu pekerjaan rumah saya untuk menjawab. Eh. salah memaafkan, maksudnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar