Saatnya Memacu Produksi
Enny Sri Hartati ; Direktur Institute for Development of
Economics and Finance
|
KOMPAS,
07 September 2015
Di tengah integrasi perekonomian dunia, tentu tidak ada satu
negara pun yang mampu mengisolasi diri dari berbagai dampak pelambatan
ekonomi global. Besar transmisi pada gejolak perekonomian domestik tergantung
dari struktur ekonomi, karakteristik, dan daya tahan setiap negara. Faktor
yang tak kalah menentukan adalah respons kebijakan dan strategi memanfaatkan
peluang. Menghadapi pelemahan nilai tukar, misalnya, beberapa negara, seperti
Tiongkok dan Vietnam, justru memanfaatkannya sebagai strategi memitigasi
pelambatan pertumbuhan ekonomidomestik melalui momentum mendorong ekspor.
Hal yang sama semestinya dapat dilakukan Indonesia. Penurunan
harga komoditas harus segera dimanfaatkan untuk mendorong industri
pengolahan. Saatnya Indonesia menghentikan menjual komoditas primer dan fokus
membangun industri hulu, industri substitusi impor, dan industri hilir. Anjloknya
harga komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan dapat dioptimalkan untuk
melakukan hilirisasi industri. Sementara rendahnya harga komoditas
pertambangan merupakan momentum memperkuat industri hulu atau industri dasar.
Jika segera dilakukan, tidak hanya melepaskan ketergantungan terhadap bahan
baku dan bahan penolong impor, tetapi sekaligus dapat mengubah kiblat
kebijakan industri. Ke depan, Indonesia berpeluang menjadi negara industri
berbasis daya saing yang tinggi.
Tentu untuk menangkap peluang tersebut dibutuhkan keseriusan
pemerintah membuat kebijakan yang terpadu dan konkret sehingga mampu
meyakinkan para investor dan pelaku usaha. Sebenarnya daya tarik berinvestasi
di Indonesia tidak terletak pada berbagai tawaran insentif yang akan diberikan
pemerintah. Kendala yang paling utama dihadapi investor adalah konsistensi
kebijakan dan kepastian usaha. Banyaknya regulasi yang tumpang tindih membuat
ketidakpastian waktu mengurus perizinan dan lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk memulai usaha di Indonesia. Hal yang urgen dilakukan pemerintah adalah
komitmen melakukan berbagai debirokratisasi dan deregulasi. Utamanya yang
berimplikasi langsung pada kemudahan, penyederhanaan, dan percepatan
pelayanan perizinan investasi; kepastian pembebasan lahan; harmonisasi
regulasi yang tumpang tindih antarsektor ataupun antara pusat dan daerah;
serta ketersediaan infrastruktur dasar (listrik dan transportasi). Untuk itu,
tidak hanya dibutuhkan keterpaduan kebijakan antarsektor, tetapi juga
koordinasi antara pusat dan daerah.
Di samping penurunan harga komoditas, depresiasi rupiah juga
menambah insentif peluang masuknya investasi asing. Dengan melemahnya rupiah,
tentu investasi asing di Indonesia menjadi lebih murah. Jika biaya membangun
satu pabrik semula 1 miliar dollar AS, misalnya, dengan depresiasi tentu
biayanya akan lebih rendah. Masuknya investasi asing tentu sekaligus dapat
menambah pasokan dollar AS dalam perekonomian.
Upaya mendorong industri pengolahan tersebut tentu tidak hanya
terpaku pada industri skala besar dan investasi asing. Potensi penanaman
modal domestik (PMDN) sangat besar. Termasuk industri menengah kecil dan
mikro (UMKM) juga berpotensi dikembangkan. Industrialisasi pedesaan akan
efektif menciptakan nilai tambah dari berbagai potensi sumber daya pedesaan
yang melimpah. Apalagi jika ada integrasi antara industri skala besar yang
mampu mendorong tumbuhnya industri-industri skala menengah dan kecil. Tentu
akan semakin memperkuat dan memperkokoh bangun industri sekaligus akan
mendorong efisiensi. Guna mendorong peran dari UMKM, tentu dibutuhkan
fasilitasi pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang adil dengan
menghilangkan berbagai perilaku monopolistik, oligopolistik, dan kartel. Di
samping itu juga adanya jaminan akses pasar dan kemudahan mendapatkan
fasilitas pembiayaan.
Jika komitmen mendorong industri pengolahan tersebut segera
dapat terealisasi, hal itu dapat menjadi solusi sapu jagat. Artinya, dapat
menyelesaikan masalah jangka pendek sekaligus memperbaiki struktur ekonomi
dalam jangka menengah panjang. Dalam jangka pendek, berbagai ancaman
gelombang pemutusan hubungan kerja tentu akan segera mendapatkan jalan keluar
jika sektor produksi segera dapat dinormalisasi.
Dengan demikian, daya beli masyarakat segera pulih dan konsumsi
rumah tangga tentu akan kembali bergeliat. Di samping itu, bergeraknya sektor
produksi tentu mempunyai implikasi yang jauh lebih fundamental. Nilai tambah
yang tercipta dalam perekonomian akan menjadi sumber pertumbuhan yang
berkelanjutan.
Oleh karena itu, dibutuhkan fokus kebijakan dari pemerintah.
Artinya, pemerintah harus mampu memetakan komoditas prioritas yang akan
dijadikan program percepatan industrialisasi. Pengembangan komoditas
prioritas tersebut harus menjadi satu dokumen yang menjadi acuan semua sektor
terkait, termasuk pemerintah daerah. Efektivitas kebijakan fiskal menjadi
salah satu kata kunci keberhasilan program ini. Belanja pemerintah harus
efektif memberikan stimulus, terutama melalui optimalisasi dana transfer
daerah dan dana desa. Pepatah bijak mengatakan, setiap kesulitan pasti ada
kemudahan. Di tengah impitan persoalan yang melanda perekonomian Indonesia,
tentu masih banyak peluang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar