Selasa, 08 September 2015

Saatnya Memacu Produksi

Saatnya Memacu Produksi

Enny Sri Hartati  ;  Direktur Institute for Development of Economics and Finance
                                                     KOMPAS, 07 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di tengah integrasi perekonomian dunia, tentu tidak ada satu negara pun yang mampu mengisolasi diri dari berbagai dampak pelambatan ekonomi global. Besar transmisi pada gejolak perekonomian domestik tergantung dari struktur ekonomi, karakteristik, dan daya tahan setiap negara. Faktor yang tak kalah menentukan adalah respons kebijakan dan strategi memanfaatkan peluang. Menghadapi pelemahan nilai tukar, misalnya, beberapa negara, seperti Tiongkok dan Vietnam, justru memanfaatkannya sebagai strategi memitigasi pelambatan pertumbuhan ekonomidomestik melalui momentum mendorong ekspor.

Hal yang sama semestinya dapat dilakukan Indonesia. Penurunan harga komoditas harus segera dimanfaatkan untuk mendorong industri pengolahan. Saatnya Indonesia menghentikan menjual komoditas primer dan fokus membangun industri hulu, industri substitusi impor, dan industri hilir. Anjloknya harga komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan dapat dioptimalkan untuk melakukan hilirisasi industri. Sementara rendahnya harga komoditas pertambangan merupakan momentum memperkuat industri hulu atau industri dasar. Jika segera dilakukan, tidak hanya melepaskan ketergantungan terhadap bahan baku dan bahan penolong impor, tetapi sekaligus dapat mengubah kiblat kebijakan industri. Ke depan, Indonesia berpeluang menjadi negara industri berbasis daya saing yang tinggi.

Tentu untuk menangkap peluang tersebut dibutuhkan keseriusan pemerintah membuat kebijakan yang terpadu dan konkret sehingga mampu meyakinkan para investor dan pelaku usaha. Sebenarnya daya tarik berinvestasi di Indonesia tidak terletak pada berbagai tawaran insentif yang akan diberikan pemerintah. Kendala yang paling utama dihadapi investor adalah konsistensi kebijakan dan kepastian usaha. Banyaknya regulasi yang tumpang tindih membuat ketidakpastian waktu mengurus perizinan dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha di Indonesia. Hal yang urgen dilakukan pemerintah adalah komitmen melakukan berbagai debirokratisasi dan deregulasi. Utamanya yang berimplikasi langsung pada kemudahan, penyederhanaan, dan percepatan pelayanan perizinan investasi; kepastian pembebasan lahan; harmonisasi regulasi yang tumpang tindih antarsektor ataupun antara pusat dan daerah; serta ketersediaan infrastruktur dasar (listrik dan transportasi). Untuk itu, tidak hanya dibutuhkan keterpaduan kebijakan antarsektor, tetapi juga koordinasi antara pusat dan daerah.

Di samping penurunan harga komoditas, depresiasi rupiah juga menambah insentif peluang masuknya investasi asing. Dengan melemahnya rupiah, tentu investasi asing di Indonesia menjadi lebih murah. Jika biaya membangun satu pabrik semula 1 miliar dollar AS, misalnya, dengan depresiasi tentu biayanya akan lebih rendah. Masuknya investasi asing tentu sekaligus dapat menambah pasokan dollar AS dalam perekonomian.

Upaya mendorong industri pengolahan tersebut tentu tidak hanya terpaku pada industri skala besar dan investasi asing. Potensi penanaman modal domestik (PMDN) sangat besar. Termasuk industri menengah kecil dan mikro (UMKM) juga berpotensi dikembangkan. Industrialisasi pedesaan akan efektif menciptakan nilai tambah dari berbagai potensi sumber daya pedesaan yang melimpah. Apalagi jika ada integrasi antara industri skala besar yang mampu mendorong tumbuhnya industri-industri skala menengah dan kecil. Tentu akan semakin memperkuat dan memperkokoh bangun industri sekaligus akan mendorong efisiensi. Guna mendorong peran dari UMKM, tentu dibutuhkan fasilitasi pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang adil dengan menghilangkan berbagai perilaku monopolistik, oligopolistik, dan kartel. Di samping itu juga adanya jaminan akses pasar dan kemudahan mendapatkan fasilitas pembiayaan.

Jika komitmen mendorong industri pengolahan tersebut segera dapat terealisasi, hal itu dapat menjadi solusi sapu jagat. Artinya, dapat menyelesaikan masalah jangka pendek sekaligus memperbaiki struktur ekonomi dalam jangka menengah panjang. Dalam jangka pendek, berbagai ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja tentu akan segera mendapatkan jalan keluar jika sektor produksi segera dapat dinormalisasi.

Dengan demikian, daya beli masyarakat segera pulih dan konsumsi rumah tangga tentu akan kembali bergeliat. Di samping itu, bergeraknya sektor produksi tentu mempunyai implikasi yang jauh lebih fundamental. Nilai tambah yang tercipta dalam perekonomian akan menjadi sumber pertumbuhan yang berkelanjutan.

Oleh karena itu, dibutuhkan fokus kebijakan dari pemerintah. Artinya, pemerintah harus mampu memetakan komoditas prioritas yang akan dijadikan program percepatan industrialisasi. Pengembangan komoditas prioritas tersebut harus menjadi satu dokumen yang menjadi acuan semua sektor terkait, termasuk pemerintah daerah. Efektivitas kebijakan fiskal menjadi salah satu kata kunci keberhasilan program ini. Belanja pemerintah harus efektif memberikan stimulus, terutama melalui optimalisasi dana transfer daerah dan dana desa. Pepatah bijak mengatakan, setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Di tengah impitan persoalan yang melanda perekonomian Indonesia, tentu masih banyak peluang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar