Presiden dan Komisi Pemberantasan Korupsi
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan,
Transparency International
Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 03 September 2015
Tahapan seleksi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi memasuki
tahap baru. Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK telah menyerahkan
delapan nama kepada Presiden untuk kemudian diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
Sejak proses awal penentuan Pansel oleh Presiden hingga tahap
saat ini, kiranya perlu ada refleksi untuk melihat sejauh mana proses seleksi
dilaksanakan secara terbuka, partisipatif, serta mempertimbangkan aspek
integritas calon pemimpin KPK.
Seleksi pemimpin KPK harus dilihat sebagai rangkaian dari upaya
untuk memulihkan lembaga antirasuah ini setelah sebelumnya sempat
"lumpuh" akibat serangan kriminalisasi. Karena itu, hasil proses
seleksi ini akan memilih pemimpin KPK yang semakin memperkuat komisi
antirasuah tersebut baik secara kelembagaan maupun kinerja.
Namun, jika mengikuti proses yang telah berjalan, beragam isu
bermunculan justru mengarah pada upaya mengamputasi kelembagaan KPK. Beberapa
hal tersebut saya rangkum dalam tulisan singkat ini. Pertama, adanya
pemahaman yang keliru tentang keterwakilan lembaga kejaksaan dan kepolisian
dalam unsur pemimpin KPK. Pendapat ini sangat jauh dari fakta, baik fakta
yuridis maupun sosiologis.
Sayangnya, pemahaman ini justru berkembang dari dalam internal
Pansel yang menyatakan mesti ada keterwakilan "pemerintah" (Koran
Tempo, 1 September 2015), sehingga tidak mengherankan jika kemudian komposisi
calon pemimpin KPK seperti memaksakan keterwakilan lembaga penegak hukum
lain.
Kedua, aspek penilaian integritas calon pemimpin KPK. Aspek
integritas tidak hanya menjadi syarat utama, tapi juga menjadi penopang
integritas dan independensi kelembagaan KPK.
Faktanya, Pansel dalam beberapa hal mengabaikan aspek ini,
terutama terhadap calon yang berasal dari penegak hukum. Misalnya, Pansel
tetap meloloskan calon yang tidak patuh melaporkan harta kekayaannya. Padahal
pelaporan kekayaan adalah aspek yang paling mudah dinilai untuk mengukur
sejauh mana kepatuhan penegak hukum terhadap aturan. Selain itu, kinerja yang
bersangkutan selama menjadi penegak hukum tidak menjadi perhatian dan
kriteria Pansel dalam meloloskan calon tersebut.
Ketiga, Pansel merestui keberadaan calon yang justru sudah
(berniat) melemahkan KPK. Dalam wawancara terbuka, ada calon yang menyatakan,
penyidik yang ditugaskan di KPK seharusnya hanya berasal dari kepolisian dan
kejaksaan.
Pernyataan ini sangat berlawanan dengan penguatan fungsi
penindakan yang tengah didesain oleh KPK, yaitu bagaimana agar KPK
"memproduksi" penyidik sendiri tanpa harus bergantung pada lembaga
kepolisian dan kejaksaan. Secara hukum, juga tidak disebutkan satu pasal pun
dalam undang-undang yang menyatakan bahwa penyidik KPK harus dan wajib
berasal dari kepolisian dan kejaksaan.
Keempat, Pansel membuat kekeliruan dengan menyampaikan calon
kepada Presiden berdasarkan komposisi tertentu, yaitu bidang pencegahan,
penindakan, dan seterusnya. Komposisi ini bisa dibaca sebagai upaya
menyandera Presiden. Sebab, komposisi ini justru menempatkan calon pada
bidang tertentu yang bertolak belakang dengan pandangan calon tersebut.
Misalnya, menempatkan calon tertentu di bidang penindakan, padahal yang bersangkutan
justru memiliki semangat untuk melemahkan penindakan KPK.
Keempat hal ini sudah lebih dari cukup untuk memperlihatkan
bahwa arah seleksi pemimpin KPK seakan dibajak di tengah jalan. Presiden,
sebagai pemegang mandat untuk menyeleksi calon pemimpin KPK, harus
mengintervensi proses tersebut dengan meminta Pansel tidak mengusulkan calon
yang nyata-nyata akan melemahkan KPK. Sebagai pemegang mandat, Presiden
menurut undang-undang berwenang melakukan hal tersebut.
Jangan sampai proses seleksi oleh Pansel justru menjadi alat
legitimasi bagi proses pemilihan di DPR untuk memilih calon pemimpin KPK yang
integritasnya diragukan.
Sebagai lembaga independen, KPK dalam menjalankan kewenangannya
tentu bebas dari intervensi dari kekuasaan mana pun. Namun, sebagai badan
antikorupsi, KPK tidak akan bisa bekerja dengan baik tanpa didukung oleh
pemimpin pemerintahan tertinggi, yaitu Presiden (Jeremy Pope, 2008). Dan itu bisa dilakukan oleh Presiden saat ini
juga dengan mengoreksi hasil seleksi yang telah dilakukan Pansel. Semoga
Presiden memihak penguatan KPK, bukan justru sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar