Haji: Ziarah Persatuan
Husein Ja'far Al Hadar ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 03 September 2015
Ibadah haji adalah salah satu ritual yang penuh simbol. Karena
itu, ia butuh penghayatan tinggi, untuk menggali makna terdalamnya. Jika
tidak, kata Imam Ali Zainal Abidin, para jemaah hanya akan dicatat sebagai
orang yang berteriak-teriak di pusaran Ka'bah, bukan seorang haji (yang
mabrur). Dan di antara makna terdalamnya itu adalah tentang persatuan umat
Islam (ukhuwah islamiah), serta antarmanusia beragama.
Kita telanjur melekatkan beragam identitas pada diri kita:
identitas kemazhaban, kelompok, keorganisasian Islam, dan lain-lain. Tentu,
itu tak salah dan tak juga negatif. Namun ia menjadi masalah ketika beralih
dari fungsi dasarnya yang seharusnya menjadi jembatan kita menuju identitas
utama kita: hamba-Nya. Dalam arti, identitas-identitas itu justru menjadikan
kita fanatik, tertutup, saling sentimen, membenci, bahkan saling menuduh yang
bukan-bukan.
Maka, saat berhaji, Allah menghendaki kita untuk melepas semua
identitas tersebut, saling bergandengan tangan sesama hamba yang
dipanggil-Nya, dan berfokus hanya kepada Allah. Sesampainya di Miqat, mereka
harus melepas seluruh pakaiannya dan menggantinya dengan dua helai kain putih
yang masing-masing dililitkan di bahu dan pinggang. Ihram namanya.
Pakaian itu, sebagaimana menurut Ali Syariati (filsuf sekaligus
sosiolog muslim asal Iran) dalam Hajj (1978), adalah simbol
identitas-identitas kita itu. Pakaian sebagai simbol itulah yang sering kali
mengotak-ngotakkan kita sebagai umat Islam dalam berbagai macam perbedaan
yang kemudian memicu ketidakharmonisan. Termasuk identitas-identitas lain
yang bukan berbasis perbedaan dalam keislaman maupun keagamaan, misalnya
identitas ekonomi, kelas sosial, dan lain-lain. Maka, jauhkan
identitas-identitas tersebut dari diri kita sebagai muslim. Sebab, tujuan
utama penciptaan kita, sebagaimana dalam Adz-Dzaariyaat: 56, tak lain adalah
untuk menghamba kepada-Nya.
Identitas-identitas itu bisa menyeret kita pada egoisme (keakuan).
Sedangkan Allah menciptakan kita untuk berharmoni di tengah keragaman sebagai
satu kesatuan yang-meminjam istilah Syariati-disebut ummah. Dalam
pusaran-Nya, tak boleh lagi ada "aku", tapi "kami" dan
"Dia".
Ummah itulah yang kemudian bertawaf bersama dalam harmoni,
mengelilingi Ka'bah sebagai simbol penghampiran kepada-Nya. Artinya, tanpa
harmoni di antara sesama, mustahil kita bisa berjalan, mengitari, menuju, dan
berada bersama-Nya. Allah tak akan menerima kita dalam keadaan yang
terpecah-belah, apalagi dengan tangan "kotor" lantaran menuding dan
menyakiti saudaranya yang lain sesama muslim, sesama manusia, atau sesama
hamba-Nya.
Tawaf itu juga menjadi simbol tentang sistem yang berdasarkan
ide monoteisme (tauhid), dengan Allah sebagai pusat dan satu-satunya. Kita
dididik untuk melihat segala sesuatu dengan keragamannya sebagai tajalli
(manifestasi)-Nya, sehingga kita tak akan pernah melihat segalanya itu-bahkan
sesuatu yang terburuk sekalipun-kecuali memiliki sisi ketuhanan yang suci
dalam aspek terdalamnya. Kita juga tak akan lagi melihat keragaman
manifestasi itu sebagai masalah, namun justru rahmat.
Maka, pada akhirnya, berhaji berarti berziarah menuju persatuan.
Tak ada kemabruran haji bagi mereka yang pulang dari Tanah Suci, namun tak
menjadi inspirator persatuan di Tanah Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar