Senin, 07 September 2015

Pemerintah Melanggar UU Bahasa

Pemerintah Melanggar UU Bahasa

S Sahala Tua Saragih  ;  Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Universitas Padjadjaran
                                                KORAN SINDO, 05 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bisa jadi hanya KORAN SINDO yang menganggap bahasa Indonesia sebagai hal yang sangat besar dan serius. Media massa lain tampaknya mengabaikan masalah bahasa nasional ini.

Pada edisi Senin (24/8) redaksi koran harian ini menjadikan masalah bahasa Indonesia sebagai kepala berita (berita terutama) di halaman muka dengan judul, “DPR Tegur Pemerintah”. Bahkan pada edisi yang sama KORAN SINDO juga secara kritis mengulas masalah bahasa kita ini dalam rubrik Tajuk (editorial) dengan judul, Bahasa Indonesia dan Tenaga Kerja Asing. Akan tetapi, sayang nian media ini tak menindaklanjuti berita bagus tersebut pada edisi-edisi selanjutnya.

Selain suara DPR, seharusnya disuarakan juga di koran ini tanggapan tegas para bahasawan, sastrawan, serta budayawan nasional dan daerahdaerah. Menurut keterangan Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, pihaknya terpaksa mengubah Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 12/2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) menjadi Permenaker Nomor 16/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA atas instruksi langsung Presiden Joko Widodo.

Dalam Permenaker yang baru ini tak ada lagi pasal yang mewajibkan TKA mampu berbahasa Indonesia. Juga tak ada kewajiban TKA yang bekerja di Indonesia menggunakan bahasa internasional (Inggris). Ini berarti, mulai sekarang TKA yang bekerja di negeri ini bebas menggunakan bahasa nasional masing-masing. Padahal, TKA yang mencari nafkah di republik ini antara lain berasal dari Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Amerika Serikat, Thailand, Australia, Inggris, dan Filipina.

Kini jumlah TKA di sini hampir 70.000 orang. Mereka bukan kelas buruh. Umumnya mereka tergolong pekerja kelas menengah dan atas, yakni konsultan, manajer, direksi, komisaris, supervisor, profesional, dan teknisi (KORAN SINDO, 24/8). Sebagai konsekuensi logis keputusan pemerintah yang antinasionalisme dan antipatriotisme itu para pekerja Indonesia terpaksa menyesuaikan diri dengan para TKA yang menjadi atasan atau mitra kerja mereka.

Fakta menunjukkan, banyak TKA yang tidak mampu berbahasa Inggris, demikian pula tenaga kerja kita. Dapat Anda bayangkan pekerja kita yang semestinya menjadi tuan rumah di negeri sendiri harus belajar sekaligus beberapa bahasa asing bila atasan dan/atau mitra kerjanya berasal dari beberapa negara dan mereka hanya mampu berbahasa nasional masing-masing. Masih dalam suasana meriah dan penuh sukacita perayaan 70 tahun kemerdekaan Indonesia, tiba-tiba kita dikejutkan oleh keputusan besar pemerintah dengan argumentasi yang tidak atau kurang logis.

Demi memperderas arus investasi masuk ke Indonesia, bahasa Indonesia dikorbankan. Padahal, hingga kini tiada studi yang membuktikan bahwa kewajiban TKA mampu berbahasa Indonesia menghambat investor asing masuk ke sini. Selama ini penghambat investor asing berusaha di sini adalah ulah para pejabat pemerintah sendiri, yang menciptakan birokrasi (pengurusan surat izin) yang banyak dan berbelit-belit, pungutan liar, ketidakpastian hukum, dan tiadanya jaminan keamanan.

Keputusan kontraproduktif pemerintah tersebut benar-benar bertentangan dengan Trisakti Bung Karno yang selalu didengung-dengungkan Jokowi dan Jusuf Kalla sejak masa kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun lalu. Trisakti Proklamator yang sangat bagus itu berbunyi, kita harus berdaulat dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Bahasa merupakan salah satu unsur pokok kebudayaan.

Kini kita tak lagi berkepribadian dalam kebudayaan. Demi segepok uang kebudayaan atau bahasa nasional kita sengaja dikorbankan pemerintah, yang selama ini tampaknya senantiasa menggelorakan semangat nasionalisme dan patriotisme.

Melanggar UU Bahasa

Hal yang paling mendasar dalam masalah Permenaker terbaru itu adalah pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Sejak dulu telah disepakati secara nasional, peraturan pemerintah (presiden dan menteri) tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, sedangkan undang-undang tak boleh bertentangan dengan UUD 1945, dan UUD 1945 tak boleh bertentangan dengan Pancasila. Permenaker Nomor16/2015 itu jelas bertentangan dengan beberapa pasal UU Nomor 24/2009, khusus yang menyangkut Bahasa Negara (Bab III).

Pasal 25 ayat 2 UU Nomor 24/2009 menyatakan, bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Pasal 33 ayat 1 berbunyi, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.”

Dalam Pasal 33 ayat 2 juga berbunyi tegas, “Pegawai di lingkungan kerja lembaga pemerintah dan swasta yang belum mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia.” Pasal 41 ayat 1 menyatakan, Pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan perkembangan zaman. Isi pasal-pasal ini sangat jelas, tidak multitafsir.

Jadi, tak dapat dimungkiri lagi, Permenaker tersebut sangat bertentangan secara frontal dengan isi UU Nomor 24/2009. Padahal, dalam Pasal 44 ayat 1 undangundang ini menyatakan, pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.

Bagaimana mungkin bahasa kita menjadi bahasa internasional, di rumahnya sendiri pun ia menjadi tamu asing? Menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, sekurang-kurangnya di lingkungan anggota ASEAN (Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara), kini telah menjadi angan-angan belaka. Ini sungguh menyedihkan bangsa besarini.

Masnur Muslich dan I Gusti Ngurah Oka dalam Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi (2010) mengemukakan betapa kuatnya kedudukan bahasa Indonesia secara hukum. Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, bertambah pula kedudukan bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa perlu senantiasa dibina dan dikembangkan.

Penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagakerjaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pegawai baru, kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada seseorang. Fungsi ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa Indonesia.

Lebih jauh Muslich dan Oka menyatakan, akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36, UUD 1945, bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu, di samping sebagai bahasa negara dan bahasa resmi.

Dalam hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Saat ini bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan semua nilai sosial budaya nasional. Pada situasi inilah bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai bahasa budaya.

Kini pendapat bagus kedua ahli linguistik ini tak/kurang relevan sejak diberlakukannya Permenaker Nomor 16/2015 tersebut. Untuk mengembalikan martabat bahasa, negara, dan bangsa Indonesia, melalui media ini kita mengajak semua pihak yang sangat peduli dan mencintai bahasa Indonesia, terutama DPR, para bahasawan, sastrawan, dan budayawan nasional serta daerah-daerah, untuk mendesak keras pemerintah agar segera mengubah aturan yang menyangkut syarat TKA bekerja di sini. Kita harus tetap menjadi tuan di rumah sendiri, baik dalam era globalisasi (kesejagatan) maupun dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sekejap lagi diberlakukan.

Desakan kuat ini harus disuarakan oleh/ melalui semua media massa di Tanah Air. Bahasa Indonesia merupakan salah satu harta besar negara dan bangsa kita yang semestinya dihargai dan dijaga dengan baik oleh kita semua, terutama oleh pemerintah. Banyak negara hingga kini tak memiliki bahasa nasional sendiri.

Mereka menggunakan bahasa nasional negara penjajah. Kita niscaya tak rela kembali dijajah para TKA gara-gara kecerobohan pemerintah yang terangterangan melanggar hukum nasional tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar