Pemerintah Melanggar UU Bahasa
S Sahala Tua Saragih ; Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Universitas
Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 05 September 2015
Bisa jadi hanya KORAN SINDO yang menganggap bahasa Indonesia
sebagai hal yang sangat besar dan serius. Media massa lain tampaknya
mengabaikan masalah bahasa nasional ini.
Pada edisi Senin (24/8) redaksi koran harian ini menjadikan
masalah bahasa Indonesia sebagai kepala berita (berita terutama) di halaman
muka dengan judul, “DPR Tegur Pemerintah”. Bahkan pada edisi yang sama KORAN
SINDO juga secara kritis mengulas masalah bahasa kita ini dalam rubrik Tajuk
(editorial) dengan judul, Bahasa
Indonesia dan Tenaga Kerja Asing. Akan tetapi, sayang nian media ini tak
menindaklanjuti berita bagus tersebut pada edisi-edisi selanjutnya.
Selain suara DPR, seharusnya disuarakan juga di koran ini
tanggapan tegas para bahasawan, sastrawan, serta budayawan nasional dan
daerahdaerah. Menurut keterangan Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri,
pihaknya terpaksa mengubah Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor
12/2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) menjadi
Permenaker Nomor 16/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA atas instruksi
langsung Presiden Joko Widodo.
Dalam Permenaker yang baru ini tak ada lagi pasal yang
mewajibkan TKA mampu berbahasa Indonesia. Juga tak ada kewajiban TKA yang
bekerja di Indonesia menggunakan bahasa internasional (Inggris). Ini berarti,
mulai sekarang TKA yang bekerja di negeri ini bebas menggunakan bahasa
nasional masing-masing. Padahal, TKA yang mencari nafkah di republik ini
antara lain berasal dari Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Amerika
Serikat, Thailand, Australia, Inggris, dan Filipina.
Kini jumlah TKA di sini hampir 70.000 orang. Mereka bukan kelas
buruh. Umumnya mereka tergolong pekerja kelas menengah dan atas, yakni
konsultan, manajer, direksi, komisaris, supervisor, profesional, dan teknisi
(KORAN SINDO, 24/8). Sebagai konsekuensi logis keputusan pemerintah yang
antinasionalisme dan antipatriotisme itu para pekerja Indonesia terpaksa
menyesuaikan diri dengan para TKA yang menjadi atasan atau mitra kerja
mereka.
Fakta menunjukkan, banyak TKA yang tidak mampu berbahasa
Inggris, demikian pula tenaga kerja kita. Dapat Anda bayangkan pekerja kita
yang semestinya menjadi tuan rumah di negeri sendiri harus belajar sekaligus
beberapa bahasa asing bila atasan dan/atau mitra kerjanya berasal dari
beberapa negara dan mereka hanya mampu berbahasa nasional masing-masing.
Masih dalam suasana meriah dan penuh sukacita perayaan 70 tahun kemerdekaan
Indonesia, tiba-tiba kita dikejutkan oleh keputusan besar pemerintah dengan
argumentasi yang tidak atau kurang logis.
Demi memperderas arus investasi masuk ke Indonesia, bahasa
Indonesia dikorbankan. Padahal, hingga kini tiada studi yang membuktikan
bahwa kewajiban TKA mampu berbahasa Indonesia menghambat investor asing masuk
ke sini. Selama ini penghambat investor asing berusaha di sini adalah ulah
para pejabat pemerintah sendiri, yang menciptakan birokrasi (pengurusan surat
izin) yang banyak dan berbelit-belit, pungutan liar, ketidakpastian hukum,
dan tiadanya jaminan keamanan.
Keputusan kontraproduktif pemerintah tersebut benar-benar
bertentangan dengan Trisakti Bung Karno yang selalu didengung-dengungkan
Jokowi dan Jusuf Kalla sejak masa kampanye pemilihan umum presiden dan wakil
presiden tahun lalu. Trisakti Proklamator yang sangat bagus itu berbunyi,
kita harus berdaulat dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri (berdikari)
dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Bahasa merupakan salah
satu unsur pokok kebudayaan.
Kini kita tak lagi berkepribadian dalam kebudayaan. Demi segepok
uang kebudayaan atau bahasa nasional kita sengaja dikorbankan pemerintah,
yang selama ini tampaknya senantiasa menggelorakan semangat nasionalisme dan
patriotisme.
Melanggar UU
Bahasa
Hal yang paling mendasar dalam masalah Permenaker terbaru itu
adalah pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 24/2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Sejak dulu telah disepakati secara nasional, peraturan pemerintah
(presiden dan menteri) tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
sedangkan undang-undang tak boleh bertentangan dengan UUD 1945, dan UUD 1945
tak boleh bertentangan dengan Pancasila. Permenaker Nomor16/2015 itu jelas
bertentangan dengan beberapa pasal UU Nomor 24/2009, khusus yang menyangkut
Bahasa Negara (Bab III).
Pasal 25 ayat 2 UU Nomor 24/2009 menyatakan, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu
berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya
daerah. Pasal 33 ayat 1 berbunyi, “Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja
pemerintah dan swasta.”
Dalam Pasal 33 ayat 2 juga berbunyi tegas, “Pegawai di lingkungan kerja lembaga pemerintah dan swasta yang belum
mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam
pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia.” Pasal 41 ayat 1
menyatakan, Pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa
dan sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan perkembangan
zaman. Isi pasal-pasal ini sangat jelas, tidak multitafsir.
Jadi, tak dapat dimungkiri lagi, Permenaker tersebut sangat
bertentangan secara frontal dengan isi UU Nomor 24/2009. Padahal, dalam Pasal
44 ayat 1 undangundang ini menyatakan, pemerintah meningkatkan fungsi bahasa
Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan
berkelanjutan.
Bagaimana mungkin bahasa kita menjadi bahasa internasional, di
rumahnya sendiri pun ia menjadi tamu asing? Menjadikan bahasa Indonesia sebagai
bahasa internasional, sekurang-kurangnya di lingkungan anggota ASEAN
(Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara), kini telah menjadi angan-angan belaka.
Ini sungguh menyedihkan bangsa besarini.
Masnur Muslich dan I Gusti Ngurah Oka dalam Perencanaan Bahasa
pada Era Globalisasi (2010) mengemukakan betapa kuatnya kedudukan bahasa
Indonesia secara hukum. Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, bertambah
pula kedudukan bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa
resmi. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa perlu
senantiasa dibina dan dikembangkan.
Penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor
yang menentukan dalam pengembangan ketenagakerjaan, baik dalam penerimaan
karyawan atau pegawai baru, kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau
jabatan tertentu pada seseorang. Fungsi ini harus diperjelas dalam
pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa Indonesia.
Lebih jauh Muslich dan Oka menyatakan, akibat pencantuman bahasa
Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36, UUD 1945, bahasa Indonesia pun kemudian
berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu, di samping sebagai bahasa
negara dan bahasa resmi.
Dalam hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia
merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan
kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memiliki
ciri-ciri dan identitas sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah.
Saat ini bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan semua
nilai sosial budaya nasional. Pada situasi inilah bahasa Indonesia telah
menjalankan kedudukannya sebagai bahasa budaya.
Kini pendapat bagus kedua ahli linguistik ini tak/kurang relevan
sejak diberlakukannya Permenaker Nomor 16/2015 tersebut. Untuk mengembalikan
martabat bahasa, negara, dan bangsa Indonesia, melalui media ini kita
mengajak semua pihak yang sangat peduli dan mencintai bahasa Indonesia,
terutama DPR, para bahasawan, sastrawan, dan budayawan nasional serta
daerah-daerah, untuk mendesak keras pemerintah agar segera mengubah aturan
yang menyangkut syarat TKA bekerja di sini. Kita harus tetap menjadi tuan di
rumah sendiri, baik dalam era globalisasi (kesejagatan) maupun dalam era
Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sekejap lagi diberlakukan.
Desakan kuat ini harus disuarakan oleh/ melalui semua media
massa di Tanah Air. Bahasa Indonesia merupakan salah satu harta besar negara
dan bangsa kita yang semestinya dihargai dan dijaga dengan baik oleh kita
semua, terutama oleh pemerintah. Banyak negara hingga kini tak memiliki
bahasa nasional sendiri.
Mereka menggunakan bahasa nasional negara penjajah. Kita niscaya
tak rela kembali dijajah para TKA gara-gara kecerobohan pemerintah yang
terangterangan melanggar hukum nasional tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar