Menghina Diri Sendiri
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
11 September 2015
Siapakah yang
terbayang dalam kepala Anda saat mendengar nama Celina Evangelista atau Baby
Valerta Duarte? Atau mungkin nama-nama seperti Brandon de Angelo, Andrew
Ralph Roxburgh, Catherine Wilson, Febby Lawrence, atau Chico Jericho? Nama
fiktif? Bukan! Jelas nama manusia. Manusia asing? Juga bukan.
Nama-nama di
pertanyaan pertama saya ambil secara acak dari daftar nama bayi kelahiran
bulan Juli 2015 di sebuah kecamatan, ya, kecamatan di negeri ini: RI. Adapun
nama-nama dalam pertanyaan kedua adalah sebagian dari nama-nama artis kita,
artis Indonesia tentu saja, yang bisa Anda dapatkan di Wikipedia.
Lalu berkelilinglah
Anda di berbagai kota besar Indonesia, di perumahan, klaster-klaster, mal,
skuar (square, maksudnya), plasa,
dan berbagai pertokoan. Atau lihatlah nama-nama atau judul acara di banyak
saluran televisi di rumah. Lagi? Ya, bahkan lebih dari 25 persen judul film
lokal di bioskop, bahkan nama-nama LSM (lembaga swadaya masyarakat), kelompok
studi, kursus-kursus, hingga nama organisasi agama baru, pikuk dengan
nama-nama yang tidak kita temukan lema atau kosakatanya dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI).
Bukan hanya anak
tetangga, anak saudara, bahkan anak saya sendiri, teman-teman sekolah anak
saya, tak sekadar gandrung, tetapi cenderung terbius untuk menggunakan nama
asli atau alias yang asing (entah dari bangsa atau negara mana karena kadang
begitu anehnya). Bahkan, para orang dewasa/orangtua pun kini tidak sungkan
menggunakan atribut-atribut bukan hanya keluaran Paris dan New York,
melainkan juga India, Jepang, Korea, atau Tiongkok. Dari nama, penamaan dan
julukan saja, bangsa ini mulai tidak percaya diri: lebih memilih sebutan
asing ketimbang apa yang mereka miliki di adat dan tradisi mereka sendiri.
Lebih memilih Hollywood, Bollywood, Harajuku, Anime, Cosplay, K-pop,
ketimbang gambang kromong, tari bedhaya, baju bodo, gobak sodor, atau perahu
dari kulit jeruk,
Apakah semua itu
gejala yang lumrah saja, sebagai bagian dari dinamika budaya kita saat
berhadapan dengan kultur global yang dipenetrasi dengan deras melalui
teknologi terdepan informasi-komunikasi (dari Google hingga Line dan
Instagram)? Apakah semua itu given
atau memang taken for granted?
Baiklah, periksa
baik-baik bagi jawaban yang dengan segera mengafirmasi atau mengiyakan
pertanyaan-pertanyaan itu. Karena, sadar atau tidak, semua perilaku di atas
sekadar permukaan atau simtom dari kerendahdirian bangsa. Satu pergeseran
sikap yang lebih mengagungkan (secara sistemik dan struktural, dalam arti by design) produk kultural asing yang
dominatif dan, pada saat yang sama, menekan hingga bisa jadi menghina produk
kulturalnya sendiri.
Dalam pergulatan
kerasnya bangsa ini mencoba keluar dari posisi yang—dikhawatirkan—masuk dalam
”perangkap kelas menengah”, hambatan dan gangguan menerpa silih berganti.
Banyak kalangan, bahkan dari pihak militer ataupun intelijen, menengarai
ancaman-ancaman eksternal itu berupa intervensi militer/intelijen asing,
terorisme, ideologi radikal, dan perampasan sumber daya alam kita yang kaya.
Yang kurang diperhitungkan, yang justru jauh lebih keras dan ganas dampaknya,
adalah intervensi melalui internalisasi kultur global (notabene sesungguhnya
kultur Oksidental-Kontinental) yang bagai tsunami mendera terutama generasi
muda kita melalui media-media hiburan ataupun gawai teknologis terbaru dengan
fitur dan penyelenggara jasanya.
Dibandingkan
ancaman-ancaman eksternal tradisional lainnya, intervensi terakhir di atas
harus diakui paling sedikit dapat perhatian dari pihak-pihak yang berwenang
untuk itu. Masih langka, misalnya, hasil-hasil penelitian dari
lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga/organisasi swasta yang didedikasikan
untuk persoalan-persoalan tersebut. Sampai seberapa jauh sesungguhnya
intervensi kultural via media sosial, misalnya, memengaruhi perkembangan
kepribadian anak? Menggeser pola acuan hingga tindakan masyarakat secara
keseluruhan? Mengubah tatanan nilai, tradisi, hingga kebudayaan dan
produk-produknya di seluruh dimensi?
Generasi korban
Demikianlah
kenyataannya jika kebudayaan tetap dianaktirikan, dianakjadahkan, oleh
seluruh program dan proses pembangunan negeri ini. Pembangunan yang dalam
slogannya selalu menggaungkan kebutuhan-kebutuhan mendesak dibangunnya jati
diri, karakter, hingga perilaku penuh martabat masyarakat kita sesuai dengan
isi dan sejarah kebudayaan bangsa ini yang begitu panjang riwayatnya. Mengapa
kita tidak juga tergerak batin dan nuraninya akan fakta yang mengeras ini?
Apa yang kita nafikan
atau remehkan dari kerja kebudayaan ini sudah dimulai dari tidak adanya
komprehensi yang utuh dan adekuat tentang kebudayaan dan produk-produknya.
Berulang kali harus dikatakan, sebagai contoh, kalau kebudayaan kita saat ini
bukanlah apa yang selalu kita deretkan dalam memori keliru kita tentang: tari
saman, batik, Borobudur, wayang golek, La Galigo, Serat Centhini, atau
Majapahit dan Sriwijaya. Bukan, sama sekali bukan. Itu semua produk dari
kebudayaan nenek moyang kita dahulu. Bukan produk dari kebudayaan kontemporer
kita saat ini. Namun, masih saja kita tak berani mengakuinya dan masih
beromansa, lebih tepatnya bersembunyi, di balik karya luhur para leluhur.
Akibatnya kita tak
berani (dan jujur) mengakui apabila peradaban kita saat ini adalah lanskap
semua kota (wilayah urban) negeri ini, yang diisi pencakar langit, bangunan
megah, perumahan mewah yang sama sekali tidak merepresentasi arsitektur,
keindahan ornamentik, hingga kosmologi, tata ruang atau kesadaran spasial
yang begitu kaya dan dalam dari banyak tradisi etnik di seluruh sudut negeri
ini. Kita tidak berani mengakui betapa identitas diri kita sebagai manusia,
etnik, bahkan bangsa kita kian lamur dan kabur, bahkan chaos dan
disorientatif, dimulai dari cara kita menamai segala bentuk dan gejala,
bahkan nama diri kita sendiri, seperti terlukis di atas.
Generasi muda,
generasi Y dan Z saat ini, adalah bagian dari bangsa kita yang—lebih banyak
tanpa mereka sadari—menjadi korban terburuk dari itu semua. Bukan hanya
mereka tidak mampu lagi secara adekuat menjelaskan keberadaan dirinya
sendiri, sebagai bagian dari sebuah bangsa atau adat/tradisi misalnya. Mereka
pun mengalami kerancuan— persisnya kehilangan—acuan untuk berperilaku yang
”pantas” di depan orangtua, guru, pejabat negara, bahkan dengan teman atau
pacarnya sendiri. Maka, pelanggaran norma, moralitas hingga etika kerap
terjadi di kalangan mereka, tanpa para orangtua dapat mencegah, bahkan
mengerti sebab musababnya.
Syukurlah jika hanya
orangtua. Ia menjadi bencana ketika pihak yang kita beri wewenang dan
tanggung jawab, berikut fasilitas luar biasa yang mengikutinya, yakni
pemerintah dari legislatif hingga eksekutif, juga tidak memahami situasi
tersebut dengan baik lalu mengeluarkan kebijakan-kebijakan hingga program
yang justru sesat. Perubahan atau pergeseran mendasar dari acuan nilai, pola
pikir, cara hidup hingga visi dan orientasi baik dalam skala ruang maupun
waktu di kalangan generasi muda itu bukan hanya memberi ancaman besar bagi
kelangsungan kebudayaan dan peradaban negeri ini, melainkan juga semua proses
pembangunan yang gencar kita upayakan sekarang ini.
Kesaktian bahasa
Apa sebenarnya yang
dibayangkan seorang anak muda dengan istilah ”kebebasan...” atau tentang ”hak
asasi”, tentang ”kesetaraan gender”, tentang ”persaingan”, atau tentang adat
dan tradisi? Ketika kita memasuki arena yang bernama media sosial, sedikitnya
kita mafhum, anak-anak remaja dan muda bangsa ini mengekspresikan kebebasan,
misalnya, adalah ”pendapat atau mau gue sendiri”. Sementara kebebasan atau kebenaran
orang lain sekadar, ”ah.. itu, kan, cuma menurut lo”, atau ”ngomong aja lo
ama tembok”.
Dalam diskursus
kebudayaan, sikap kolektif semacam itu mewakili gambaran masyarakat yang
relatif primitif karena ketakmampuannya dalam mengomprehensi dan menciptakan
konsensus tentang hal-hal yang normatif, apalagi di tingkat moralitas. Bangsa
seperti ini bukanlah bangsa dengan peradaban cukup tinggi, bahkan menengah
pun tidak, sehingga janganlah bermimpi kita mampu menciptakan masyarakat yang
penuh etika, apalagi padat dengan estetika.
Inilah masyarakat yang
telah secara berangsur menghancurkan dirinya sendiri, dimulai dengan menghina
produk kebudayaannya sendiri. Menghina produk puncak kebudayaan (sebagaimana
berlaku di mana saja) sendiri, yakni bahasa. Tidak mengherankan jika karya
sastra kita, atau puisi sebagai ultimasi dari simbolisme kebudayaan, makin
terpuruk kualitas, juga peran dan fungsinya di masyarakat. Bahasa menunjukkan
bangsa. Maka, bangsa yang telah menghina bahasa sesungguhnya telah meremukkan
eksistensinya.
Inilah sesungguhnya
bentuk lain dari proxy war yang juga harus jadi perhatian khusus dari
kalangan militer dan intelijen. Merangsek dan merasuknya program-program
digital di semua bentuk dan level teknologisnya memiliki dampak dan maksud
tersembunyi menghancurkan kepribadian sebuah masyarakat, setidaknya
mengacaukan, sehingga ia menjadi goncang dan labil untuk kemudian mudah
diarahkan atau dibentuk sesuai kepentingan pemilik teknologi serta (server)
data yang mengiringi kepemilikannya.
Jadi, tidak saja kita
harus berhati-hati dengan program ambisius, tetapi sembrono untuk
mendigitalisasi semua perangkat dan mengoneksi via hotspot atau Wi-Fi seluruh
elemen bangsa. Kita pun harus waspada serta mengontrol nafsu kita yang begitu
hebat akan investasi asing. Jangan karena tekanan dari segelintir negara
investor lalu kita jual martabat dan harga diri bangsa dengan membolehkan
pekerja asing mencari nafkah sebanyak-banyaknya di negeri kita tanpa
pengetahuan sedikit pun tentang bahasa kita.
Implikasi kebijakan
oportunis ini bukan hanya menciptakan banjir tenaga asing sehingga mengurangi
peluang kerja bagi buruh lokal yang sudah sempit. Juga harus pula dilihat
implikasinya terkait peluang penyelundupan manusia terselubung (pekerja asing
yang kemudian menetap permanen dengan cara ilegal) hingga infiltrasi
intelijen yang bermain katak di antara para pekerja asing tersebut.
Bagaimana pekerja
asing dapat bekerja dengan baik dan efisien jika ia tidak mampu berkomunikasi
dengan baik dengan sejawat lokalnya sehingga tak mampu mengenali atau
memahami kondisi sosial-psikologis-kultural masyarakat atau bangsa di mana
kemampuan profesionalnya ia kerahkan? Bahasa adalah lambang jati diri bangsa
kita, bukan saja karena diakui seluruh kebudayaan dunia, melainkan juga disumpahkan
oleh para pemuda perintis kemerdekaan kita pada 1928.
Apakah sudah begitu
remuk dan rendahnya bangsa ini menjual jati diri dan martabatnya demi sejuta
atau semiliar dollar saja? Bahkan, kepada sosok seperti Donald Trump? Suku
bangsa mana pun di negeri ini, saya yakin, mereka pasti akan menggelengkan
kepalanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar