Kapan Rupiah Meriah?
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi Politik Internasional
Financeroll Indonesia, Jakarta
|
JAWA
POS, 09 September 2015
SENIN, 7 September 2015, Kyran Curry, director
of sovereign ratings Standard & Poor’s (S&P) di Singapura, menilai
bahwa posisi Indonesia lebih rentan ketimbang Malaysia saat dana asing
hengkang dari pasar finansial Indonesia. Bahkan, lembaga rating itu
menyatakan keprihatinan yang cukup mendalam atas posisi cadangan devisa
Indonesia yang kian tipis karena tergerus depresiasi rupiah yang sudah
melampaui level kekhawatiran pasar.
Pada sesi perdagangan Senin lalu, misalnya,
rupiah sempat mencatatkan pelemahan terbesar dalam sepekan terakhir. Data
yang dihimpun Bloomberg pada sesi perdagangan siang menunjukkan, nilai tukar
rupiah di pasar spot ”terseok-seok” 0,59 persen ke level 14.256 per dolar AS.
Pada sesi awal perdagangan, mata uang ibu pertiwi sudah berada di level
14.248 per dolar AS.
Kemudian, pada sesi siang kemarin (8/9), nilai
tukar rupiah dalam transaksi antarbank di Jakarta kembali melanjutkan
pelemahan. Rupiah terus terseret ke level 14.273 per dolar AS. Secara teknis,
itu adalah level terlemah sejak Agustus 1998. Juga, sepanjang tahun ini (
year to date), rupiah sudah melemah 13 persen dan menjadi salah satu mata
uang Asia yang mencatatkan performa terburuk setelah ringgit Malaysia.
Mau tak mau, kondisi itu juga menyebabkan
cadangan devisa Indonesia menurun dan akhirnya menjadi salah satu
kekhawatiran lembaga rating ekonomi pasar sekaliber S&P di Singapura.
Lihat saja, untuk periode lima bulan yang berakhir Juli lalu, cadangan devisa
Indonesia tergerus sebesar USD 8 miliar sehingga menjadi USD 107,6 miliar.
Selain digerus depresiasi mata uang, devisa Indonesia sebelumnya terkikis
cukup signifikan lantaran aksi intervensi yang terus dilakukan otoritas
moneter untuk menjaga stabilitas pasar ekuitas dan kepercayaan pasar terhadap
prospek ekonomi nasional.
Implikasi teknis dari aksi itu bisa dilihat
dari perpindahan devisa ke pasar domestik (secondary market) yang terus digalakkan BI. Devisa terlihat makin
berkurang dari Mei lalu jika dibandingkan dengan posisi Juni karena digunakan
oleh BI untuk intervensi pasar dan stabilisasi harga. Juni lalu cadangan
devisa Indonesia tercatat sebesar USD 108 miliar, lebih rendah bila
dibandingkan dengan posisi akhir Mei 2015 yang sebesar USD 110,8 miliar.
Meski pihak otoritas moneter menjelaskan bahwa
cadangan devisa yang terhitung hingga Juli senilai USD 107,6 miliar merupakan
nominal yang cukup untuk membiayai impor selama 6,8 bulan dan masih mampu
membayar utang luar negeri pemerintah, bagi pelaku pasar, penurunan cadangan
devisa secara inkremental seperti itu menjadi sinyal bahwa pemerintah beserta
pihak otoritas moneter sedang berusaha keras membendung pelemahan mata uang
untuk menambal isu perlambatan ekonomi yang sudah terkategori mengancam.
Bagi pasar, prospek dan outlook ekonomi
nasional untuk masa depan masih tergolong tak pasti. Sebab, rupiah ternyata
tak mampu membendung ekses negatif dari isu regional (penurunan proyeksi
pertumbuhan Tiongkok) dan isu global (ketidakpastian The Fed’s rate). Juga, ketakutan pasar justru semakin bertambah
tatkala ternyata beberapa asumsi dan proyeksi dalam APBN 2016 terus tergerus
oleh pelemahan rupiah serta anjloknya harga komoditas global. Pasar akhirnya
gagal menangkap kalkulasi rasional dari APBN yang baru saja digolkan
pemerintah dan DPR.
Jika dilihat secara konseptual, setidaknya
secara teoretis kontemporer, ada tiga faktor yang secara sederhana bisa
dipakai untuk menjelaskan kendurnya vitalitas rupiah. Pertama, perekonomian
yang kurang mapan. Secara kategoris, rupiah termasuk dalam soft currency, yakni mata uang yang
mudah berfluktuasi karena perekonomian negara asalnya relatif kurang mapan.
Umumnya, kategori itu menempel pada mata uang negara-negara berkembang.
Faktor kedua adalah pelarian modal (capital outflow). Tidak bisa
dimungkiri, di antara modal yang beredar di Indonesia, terutama di pasar
finansial, sebagian besar adalah modal asing. Nah, itulah yang akhirnya membuat
nilai rupiah sedikit banyak bergantung pada kepercayaan investor asing.
Sebab, empunya modal-modal itu sangat bergantung pada prospek ekonomi negara
Indonesia. Jika makin suram, besar kemungkinan mereka hengkang sebelum nilai
modalnya (dalam mata uang rupiah) tergerus lebih dalam.
Faktor ketiga adalah ketidakstabilan politik
dan ekonomi. Instabilitas politik akan memberikan efek negatif terhadap
ekonomi nasional serta dunia usaha.
Dengan tiga parameter itu, sebenarnya bisa
disimpulkan bahwa depresiasi rupiah bukan hanya masalah tekanan dan sentimen
global. Tapi, juga lebih mengacu pada kondisi fundamental ekonomi dalam
negeri yang sudah mengkhawatirkan. Level 15.000 per USD akan menjadi level
selanjutnya jika pemerintah dan otoritas fiskal tidak segera mengambil sikap
konkret. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar