Jumat, 12 Juni 2015

Moral dan Pembangunan Jiwa

Moral dan Pembangunan Jiwa

Daoed Joesoef  ;  Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
KOMPAS, 12 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah perlu mewujudkan ide "membentuk negara adalah membangun jiwa". Realisasi keharusan ini memang tidak mudah karena ia bukan hanya merupakan masalah politik, melainkan juga menyangkut kinerja kabinet: mutu keprofesionalan individual para menteri, keterpaduan kerja mereka dalam term team-work, serta kekompakan visi kondisional presiden dan wakilnya.

Populis Amerika, Andrew Jackson, menyatakan, "Any American could fill any office". Populis Rusia, Nikolai Lenin, berujar, "Any cook can run the state." Ujaran ini kiranya lebih realistis.

Lenin kelihatan ingat peringatan Schumpeter, pendiri mazhab ekonomi Austria, betapa pentingnya penemuan "kombinasi baru" dalam mengatasi siklus bisnis. Sementara "koki" adalah julukan terhadap pemasak andal yang mampu membuat menu lain melalui perbedaan kombinasi dari bahan makanan yang tersedia. Setiap menteri di kementeriannya masing-masing pasti berurusan kerja dengan para birokrat yang kebanyakan sudah berdinas relatif lama sebelum sang menteri datang dan berencana akan masih lama berkarya di situ sesudah dia pergi. Le gouvernement passe, l'administration reste -- pemerintah (menteri) silih berganti, administrasi negara tetap.

Maka, walaupun kedemokrasian negara-bangsa memberi kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk menjadi menteri, bahkan presiden dan wakil presiden, dia masih dituntut menyiapkan diri sepatutnya untuk mampu bertugas selaku pejabat-pejabat tersebut. Tidak cukup hanya dengan menjadi anggota parpol, kader-petugas parpol yang setia. Dengan kata lain, dia dituntut masuk kabinet "tidak dengan kepala kosong". Kekosongan itu perlu diisi dengan nilai-nilai teknis dan etis yang mumpuni melalui proses pendidikan, tidak cukup dengan obsesi spiritual by the Grace of God karena keturunan pejuang besar.

Moralitas aspirasi

Berhubung pemerintah, dalam hal ini kabinet, dituntut melegislasi moral demi mewujudkan ide "pembentukan negara adalah pembangunan jiwa", pendidikan nasional dalam proses pembelajarannya perlu pula "mengultivasi" dan "moralitas tugas" dalam jiwa warga negara kita. Moralitas aspirasi adalah moralitas dari kehidupan yang baik, terpuji, unggul, dan mencerminkan realisasi sepenuhnya dari kemampuan-kemampuan human. Jika seseorang tidak sanggup meraih semua yang dia aspirasikan, bisa saja dianggap tidak berhasil, tetapi bukan berarti warga negara apkiran untuk penugasan apa pun. Dia "bersalah" karena kurang mencukupi, bukan karena berbuat jahat. Moralitas aspirasi selaku standar keunggulan, mengelola aspirasi-aspirasi dengan mempertanyakan apakah setiap kegiatan merupakan suatu "kegiatan yang bernilai"?

Lalu, ada moralitas tugas. Ia mengatur orang selaku warga negara, sementara moralitas aspirasi mengatur orang ketika dia berusaha menangani sebaik-baiknya "tanggung jawab yang terkait kemungkinan besar dari kehidupan yang melampaui perimeter sphere politik. Dengan kata lain, moralitas aspirasi mengatur kegiatan-kegiatan orang melampaui tugas-tugas sosial yang dia tanggung bersama dengan lain-lain warga negara. Moralitas tugas memang kurang menuntut, tetapi lebih streng dalam pertimbangan keputusannya.

Jika moralitas aspirasi berawal di puncak kinerja human, moralitas tugas dimulai di bawah. Ia menyiapkan aturan-aturan dasar. Sebab, tanpa aturan tersebut, tidak mungkin ada suatu masyarakat yang tertata rapi dan jika diarahkan ke suatu tujuan tertentu pasti gagal. Ia adalah contoh moralitas dari "Perjanjian Lama" dan dari The Ten Commandments. Ia lebih sering berujar dalam term thou shalt not ketimbang thou salt. Ia tidak mengutuk manusia karena gagal memanfaatkan kesempatan demi realisasi yang sempurna dari kekuatan-kekuatannya. Ia mengutuk manusia berhubung gagal memenuhi tuntutan-tuntutan dasar dari kehidupan manusia yang adil dan beradab.

Perbedaan antara moralitas tugas dan moralitas aspirasi menyatakan ketidakmungkinan atau ketidakarifan (unwisdom) dari usaha mewujudkan suatu fusi, secara teoretis atau faktual, antara "penduduk yang baik" dan "warga negara yang baik". Hukum sekalipun kelihatan tidak berdaya untuk memaksa seseorang meraih keunggulan yang sebenarnya dia mampu lakukan. Maka, demi adanya suatu workable standard of judgment, hukum berpaling ke moralitas tugas. Apa yang raib di moralitas aspirasi dalam relevansinya yang langsung dengan hukum, ditemukannya dalam pandangan yang mendalam dari implikasinya.

Dari pertarungan berabad-abad mengurangi peran irasional dalam urusan-urusan human, dapat kiranya disimpulkan bahwa tak ada jalan tersedia bagi kita untuk memaksa manusia hidup sesuai kehidupan bernalar. Padahal, dalam Kitab Suci Al Quran kata nalar ('aqala) disebut sebanyak 44 kali, sedangkan kata kerja (berpikir, merenung, absraksi, dan lain-lain) dan kata benda ('ilm) yang terkait dengan kata nalar tadi bertebaran dalam aneka ayat dan surah. Kita hanya bisa berusaha memisahkan kehidupan manusia dari manifestasi besar-besaran faktor kebetulan, irasionalitas, dan takhayul.

Pendidikan visioner

Di antara paksaan dan ketidakpedulian terbentang suatu area luas dari imbauan, insentif, dan lain-lain dorongan halus ke kehidupan yang lebih baik. Kita dapat menciptakan kondisi yang esensial bagi suatu eksistensi human yang serba rasional. Pendidikan, misalnya, dapat berbuat demikian melalui pematangan berpikir. Jika segala sesuatu dimulai dalam pikiran, di dalam pikiran itu kita bangun kemampuan to judge properly. Namun, pikiran (judgment) itu masih perlu diluruskan melalui kesucian jiwa.

Aksi-aksi pendidikan visioner meliputi usaha-usaha melokalisasi bidang-bidang yang memungkinkan sukses dalam mengarahkan warga negara, melalui hukum, ke kehidupan yang layak. Sudah tentu peran serta pemerintah dalam kegiatan ini sangat diperlukan karena bisa sekali menentukan sukses atau kegagalan usaha itu. Jika kita amati keseluruhan isu moral, kita mungkin dapat membayangkan sejenis skala atau ukuran yang berawal dari bawah, dan bersamaan dengan keinginan kehidupan sosial lalu meluas ke atas, ke capaian tertinggi dari aspirasi manusia.

Di salah satu titik dari skala itu ada petunjuk tersembunyi yang menandakan garis pemisah, di mana tekanan tugas berakhir dan tantangan dari keunggulan berawal. Keseluruhan medan dari argumen moral didominasi oleh pertarungan besar tentang lokasi petunjuk itu. Dan, di medan pertarungan itulah anak-anak manusia justru lahir dan dibesarkan. Maka, anak didik sedini mungkin perlu dibiasakan, sesuai daya tangkap intelek pembawaan umurnya, untuk selalu menjaga keseimbangan antara kesehatan badan (body), pikiran (mind), dan jiwa (soul). Demi kesehatannya masing-masing unsur itu perlu asupan (feeding) yang khas.

Badan cenderung dilayani lebih dahulu, diutamakan, karena sangat menuntut. Ia tidak membiarkan kita melupakannya walau sesaat. Kalau kita lupa, ia menyebabkan kita lemah secara fisik dan merasa tidak enak secara mental.

Pikiran juga menuntut asupan karena ia menjadi gelisah jika dibiarkan tidak efektif. Manusia bisa haus pengetahuan, literatur, fine arts, terutama jika dia pernah menempuh pendidikan formal memadai. Dibandingkan dengan makhluk hewan, anak makhluk manusia bisa tumbuh lebih sempurna dan mendewasakan diri secara ekstra-genetik dan bantuan pengetahuan ekstra-somatik, yaitu pengetahuan yang disimpan di luar tubuh manusia berupa tulisan, buku, perpustakaan, dan museum.

Jiwa yang sering terabaikan. Ia memang pendiam, sabar, dan tak mengajukan pertanyaan yang istimewa. Jika diabaikan, jiwa menangis dalam hati, tak bersuara. Namun, kalau sudah sejauh itu manusia menjadi gelisah tanpa tahu mengapa. Ada rasa kekurangan dan kehilangan. Jika jiwa tak pernah diberi feeding khas yang ia perlukan, ia akan menjauh dan rontok menjadi serbuk halus yang sulit diamati. Pantas disesalkan jika jiwa yang seharusnya hidup, bergairah, dan cemerlang, lambat laun pudar, lenyap into nothingness. Padahal, himne nasional kita, "Indonesia Raya", sudah menegaskan kita perlu membangun jiwa lebih dulu, baru membangun badan, demi Indonesia Raya.

Maka, pemerintah ditantang untuk mewujudkan ide "membentuk negara adalah membangun jiwa", dan terkait dengan respons yang tepat terhadap tantangan itu, diniscayakan menempatkan warga negara yang enlightened dalam komposisi kabinet, bukan sekadar politikus-petugas partai. Bukankah Bung Karno sendiri sering mengulang ucapan Nehru, "When my loyalty to my country begins, my loyalty to my party ends." Sementara para anggota kabinet menjalankan tugas kenegaraan, wajar kalau mereka harus setia pada negara yang melambangkan negerinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar