Manusia
"Selesai"
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
|
KOMPAS, 11 Juni 2015
Seorang menteri,
pejabat tinggi, atau tokoh nasional yang sebelumnya menunjukkan kinerja baik
dan mengundang respek publik mendadak terjerat korupsi. Publik tak kaget
lagi, apalagi menangisi. Antiklimaks dalam karier politik seseorang sudah
terlalu sering terjadi.
Bunuh diri
eksistensial atas tokoh penyelenggara negara jadi kenyataan rutin. Ada banyak
nama terkubur dengan batu nisan "koruptor". Negeri ini pun (berpeluang)
menjelma jadi kuburan nama baik, kehormatan, harga diri, dan martabat dari
banyak tokoh nasional yang gagal melawan godaan korupsi.
Tak ada jaminan apa
pun terkait pejabat publik yang memiliki kekayaan melimpah lantas tidak
mencuri duit negara. Korupsi lebih erat berhubungan dengan kesentosaan dan
mutu mentalitas manusia yang memiliki rasa cukup. Penyelenggara negara yang
memiliki rasa cukup cenderung tak tergoda korupsi. Sikap moral yang
terkandung di dalam rasa cukup mendorong manusia berdamai dengan dirinya
sendiri. Pertarungan melawan segala godaan berupa pamrih material pun selalu
dimenangi.
Damai dengan diri
sendiri lahir dari pergulatan nilai yang berlangsung sengit dalam batin
manusia. Manusia yang selalu ndangak (memandang ke atas dalam konteks
kepemilikan material) selalu merasa kurang atas apa yang sudah digenggamnya.
Akibatnya, manusia ngongso (selalu
mencari dan mengambil) secara material demi memenuhi kepuasan yang tanpa
ujung. Manusia pun menderita kemiskinan mental dan spiritual. Meski
depositonya tak terhitung lagi dan kekayaannya super melimpah, tetap saja
masih merasa sebagai orang miskin. Duit dan segala bentuk material jadi
obsesi nan tak pernah selesai. Rasa syukur tak dimiliki. Keinginan berbagi
dengan sesama cenderung dihindari karena takut harta bendanya tergerogoti.
Takut miskin berandil besar atas maraknya korupsi di negeri ini.
Kekayaan eksistensial
Sastrawan dan
rohaniman YB Mangunwijaya secara sederhana merumuskan orang kaya sebagai
orang yang memiliki banyak kemungkinan atau pilihan meningkatkan diri secara
eksistensial. Dalam pandangan sastrawan itu, kekayaan tak selalu berhubungan
(identik) dengan hedonisme material/biologis dan hedonisme psikologis.
Kekayaan adalah himpunan nilai yang menjadi modal bagi manusia melakukan
pembudayaan dan pemberadaban diri. Dalam konteks idealisasi itu, otomatis
orang kaya selalu berbudaya dan beradab. Berbudaya karena dengan kekayaannya,
seseorang berpeluang besar melakukan berbagai perubahan mental dan spiritual
demi meraih kejayaan eksistensial (manusia bermartabat tinggi). Beradab
karena dengan nilai-nilai budaya itu, manusia memiliki etika dan etos daya
cipta tinggi sehingga berkemuliaan hidup.
Terkait kemuliaan
hidup, inti problem manusia terbesar tercakup dalam lima hal mendasar: etika,
logika, saintika, estetika, dan keterampilan teknis. Etika mengharuskan
manusia berorientasi pada kebaikan moral. Logika mewajibkan manusia bisa
rasional dan obyektif/adil. Saintika mendorong manusia memiliki kecukupan
ilmu dan pengetahuan agar ekspresi dan aktual- isasi dirinya selalu
kontekstual-fungsional. Estetika
menuntun manusia pada keindahan, kehalusan budi, dan kesantunan perilaku.
Adapun keterampilan teknis berhubungan dengan upaya mewujudkan kreativitas.
Manusia belajar sepanjang hayat.
Manusia yang memiliki
rasa cukup secara material layak disebut manusia "selesai" atau
manusia yang sukses gemilang mengatasi segala godaan duniawi sehingga mampu
lahir jadi manusia baru yang memiliki potensi berupa etika, logika, saintika,
estetika, dan keterampilan teknis. Berbasis integritas, komitmen, dan
dedikasi, semua potensi itu diaktualisasi dalam kehidupan sosial. Manusia
"selesai" adalah manusia yang peduli pada kemuliaan hidup dan
menghasilkan karya besar kebudayaan demi memperkuat nilai-nilai keadilan dan
kemanusiaan. Keterpurukan negeri ini secara kebudayaan dan peradaban salah
satunya disebabkan sedikitnya kehadiran manusia "selesai" dalam
berbagai lini dan bidang kehidupan, terutama penyelenggara negara, politisi,
dan pengusaha.
Kebanyakan yang ada
adalah insan yang masih digelayuti sikap mental "tak merasa cukup"
secara serius. Akhirnya peran sosial, politik, dan ekonomi dipahami hanya
sebatas wahana perburuan kepentingan dan untung yang berujung pada
terpenuhinya obsesi material. Penghayatan perasaan selalu "miskin"
(selalu merasa kurang) mendorong mereka bergerak liar, menyeruduk ke segala
arah, membobol kantong kekayaan negara: hasil pajak, migas, sampai APBN/D.
Kekuasaan adalah
godaan paling manis sekaligus jahat. Hanya manusia berkarakter "selalu
merasa kurang" yang tergilas jadi korban. Celakanya, rakyat turut jadi
korban, padahal tak menikmati apa-apa. Indonesia yang selamat dan sehat butuh
surplus manusia "selesai" yang mampu melampaui kepentingan
personalnya. Atau, para penyelenggara negara dan politisi yang masih punya
rasa malu menumpuk kekayaan, sementara rakyat sesak napas didera kemiskinan
dan penderitaan. "Masihkah kalian
tega nyolong, padahal sudah sangat kaya? Kurang apa lagi, coba??? Jangan
ngongso tho." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar