Beras
Adalah Kekuasaan
MT Felix Sitorus ; Doktor Sosiologi Perdesaan dari IPB;
Praktisi agrobisnis; Peneliti Sosial Independen
|
MEDIA INDONESIA, 12 Juni 2015
PANGAN adalah kekuasaan. Ini bukan jargon
kosong. Sejarah membuktikan pangan adalah basis sekaligus instrumen kekuasaan
yang sangat efektif. Rakyat suatu negara akan tunduk jika pemerintahnya bisa
menjamin kecukupan pangan.Di Indonesia, pemerintahan HM Soeharto sudah
membuktikannya selama 30-an tahun.
Lalu, di aras global, suatu negara dapat
mendikte politik negara yang defisit pangan jika ia menguasai surplus pangan
yang signifikan. Amerika Serikat, misalnya, bisa mendikte politik
negara-negara yang mengalami `defisit pangan' melalui instrumen bantuan
pangan ataupun ekspor pangan. Itu sebabnya negara-negara kaya yang `defisit
pangan' kini mulai membangun `lumbung pangan' mereka di negara-negara
berkembang Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Untuk konteks Indonesia, dengan pangan
berkonotasi beras, jargon itu bisa direduksi menjadi `beras adalah
kekuasaan'. Ini sebenarnya resep pelanggengan kekuasaan yang pada 1952
dirumuskan Bung Karno sebagai `(Pangan adalah) soal hidup dan mati'. Soekarno
sadar, bukan hanya kedaulatan nasional, kekuasaannya juga akan runtuh jika
masalah defisit pangan (beras) tak terpecahkan.
Karena alasan itulah HM Soeharto kemudian
menetapkan swasembada beras sebagai prioritas utama, sekaligus strategi
`menjinakkan' rakyat demi kelanggengan kekuasaannya.Itu diikuti para
penerusnya termasuk Presiden Jokowi kini.
Beras telah bertransformasi menjadi komoditas
pangan bernilai paling strategis di Indonesia. Lebih dari sekadar bernilai
ekonomi dan budaya, beras terutama adalah komoditas bermuatan nilai politik.
Dalam konteks inilah isu perberasan di Indonesia harus ditempatkan, kemudian
dianalisis, di pahami, dan ditemukan solusi atas permasalahannya yang
kompleks.
Konflik kepentingan
Melekat pada status beras sebagai komoditas
strategis/politis ialah konflik kepentingan antarkelompok stakeholdernya. Kepentingan petani
(harga saprotan rendah, harga gabah tinggi) konflik dengan kepentingan
konsumen (beras bermutu, harga rendah).Kepentingan pengusaha-pedagang (harga
beli gabah/beras rendah, impor, margin tinggi) konflik dengan kepentingan
pemerintah (swasembada, pengendalian impor), petani, dan konsumen.
Sampai masa pemerintahan SBY, konflik
kepentingan itu dikelola melalui implementasi rezim kebijakan `ketahanan
pangan'. Rezim liberalis itu mengandalkan dua sumber untuk kecukupan beras na
sional yaitu produksi domestik dan, jika tak mencukupi, impor beras.
Faktanya, sengaja atau tidak, sejauh ini
hampir tiap tahun produksi domestik di bawah kebutuhan nasional sehingga
keran impor beras senantiasa dibuka. Di satu pihak, impor beras memang
menguntungkan konsumen (beras murah) dan juga pemerintah (kecukupan stok). Tapi
di lain pihak jelas merugikan petani karena menjatuhkan harga gabah. Ini
disinsentif yang menurunkan intensitas kegiatan produksi padi sehingga target
swasembada beras tak kunjung tercapai.
Lalu pemerintahan Jokowi menggusur rezim
`ketahanan pangan' dengan rezim `kedaulatan pangan'. Rezim yang memproteksi
produksi domestik itu menjadi insentif bagi petani. Apalagi ke mudian diikuti
oleh peningkatan investasi pertanian berupa, antara lain,
rehabilitasi/peningkatan irigasi dan pencetakan sawah baru.
Di lain pihak, karena `antiimpor', rezim
`kedaulatan pangan' mengganggu kepentingan `mafia' impor beras. Gejala
resistensi lalu muncul dalam berbagai bentuk trik bisnis untuk melegitimasi
impor. Misalnya, merekayasa lompatan harga gabah saat panen raya seperti
baru-baru ini, untuk mengesankan bahwa produksi domestik rendah sehingga
perlu impor. Atau menebar isu beras plastik untuk mengesankan beras di
pasaran tidak aman sehingga perlu impor beras aman.
Kekuatan `mafia' impor adalah kekuatan
`antikedaulatan' pangan. Bersama jaringan internasional dan domestiknya, ia
akan selalu berusaha menggagalkan swasembada/kedaulatan beras dengan berbagai
cara. Tujuannya agar keran impor beras tetap terbuka, dan kemudian dengan
timbunan stoknya, mereka tetap bisa menguasai dan mengendalikan pasar beras
domestik. Itu berarti ia mengontrol basis kekuasaan pemerintah sehingga bisa
`mendikte' pemerintah untuk menge luarkan kebijakan yang memihak kepentingannya.
Beras incorporated
Bagaimana pun, agar pemerintah berdaulat,
kekuatan `mafia impor' itu serta jaringannya harus dipatahkan. Untuk itu,
lebih dari sekadar penegakan hukum, mutlak dibutuhkan kehadiran entitas
bisnis beras nasionalis berkekuatan lebih besar. Entitas itu, yang bisa
dikonsepsikan sebagai beras incorporated
(beras Inc), bisa dilihat sebagai perwujudan gagasan Presiden Jokowi tentang
`agribisnis kerakyatan' sebagai basis kedaulatan pangan (beras).
Ide dasarnya ialah integrasi empat komponen utama
kekuatan agribisnis beras nasionalis untuk bersinergi mewujudkan swasembada
(kedaulatan) beras, tanpa harus ada konflik kepentingan.
Pertama, komponen produsen padi/beras di
`tengah' yaitu korporasi petani berupa, misalnya, badan usaha milik petani
(BUMP) atau badan usaha milik desa (Bumdes). Selain bergerak dalam budi daya,
korporasi petani ini juga harus bergerak dalam pengolahan beras di `hilir'.
Dengan begitu, petani sekaligus menjadi produsen utama beras sehingga akan
memperoleh margin usaha yang lebih besar.
Kedua, komponen produsen benih/saprotan di
`hulu' yaitu BUMN pertanian produsen benih unggul padi (PT Sang Hyang Seri),
saprotan pupuk/pestisida (PT Pupuk Indonesia), dan irigasi (Jasa Tirta).
Selain menjamin ketersediaan benih unggul, saprotan, dan air, BUMN tersebut
juga bermitra dengan korporasi petani. Tujuannya peningkatan produktivitas
melalui dampingan teknologi dan manajemen budi daya padi. Dengan begitu, BUMN
perbenihan/saprotan turut bertanggung jawab terhadap keberhasilan usaha tani,
tidak semata menjadikan petani sebagai pasar.
Ketiga, komponen agroindustri pengolahan/pemasaran
di `hilir', yaitu BUMN pertanian bidang pengolahan, penyimpanan, dan
distribusi/pemasaran (PT Bulog, PT Pertani). Selain bermitra dengan korporasi
petani dalam pengembangan bisnis pengolahan beras, komponen ini sekaligus
menjadi penjamin pasar beras produksi petani. Kemitraan Bulog dengan
korporasi petani khususnya akan menjadi basis jaminan ketersediaan pasokan
beras untuk stok pemerintah sehingga tak akan kesulitan menguasai stok beras
sebanyak 10% dari total perkiraan kebutuhan konsumsi nasional. Dengan
menguasai stok 10% ini, pemerintah dengan mudah dapat meredam upaya-upaya
rekayasa instabilitas pasar beras yang dimaksudkan menggoyang kekuasaan
pemerintah.
Keempat, komponen industri finansial yaitu
BUMN perbankan/asuransi. Bank BUMN menjamin ketersedian modal produksi
padi/beras melalui skim modal kerja produksi padi dan investasi untuk
agroindustri pengolahan beras.Sementara BUMN asuransi menyediakan
perlindungan bagi petani terhadap risiko gagal panen. Asuransi akan menjadi
insentif bagi petani padi untuk meningkatkan produktivitas usaha taninya.
Gerak sinergis empat komponen itu sebagai
entitas integratif. Beras Inc di bawah kendali pemerintah, katakanlah oleh
Kantor Kepresidenan, niscaya akan mewujudkan target swasembada/kedaulatan
beras. Ukuran minimalnya ialah surplus beras berupa stok beras pemerintah
sebesar 10% dari total perkiraan konsumsi nasional. Pada angka itu pemerintah
akan mendapatkan basis kekuasaan yang kukuh sehingga akan mendapatkan
legitimasi yang kuat dari rakyat, sekaligus superioritas atas `mafia' impor
pangan berikut jaringan domestik dan internasionalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar