Fajar
Keadaban Baru
Masdar Hilmy ;
Pemikir Sosial
Kemasyarakatan;
Dosen
Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel
|
KOMPAS,
31 Juli 2014
”Democracy is a device
that ensures we shall be governed no better than we deserve” (George Bernard Shaw, sebagaimana dikutip Xavier de Souza Briggs,
2008: 27).
Untuk
ketiga kalinya, rahim demokrasi kita telah berhasil melahirkan pasangan
capres-cawapres yang dipilih secara langsung oleh rakyat, setelah Pemilu 2004
dan 2009.
Sekalipun
sama-sama diselenggarakan secara langsung, aman, dan damai, pilpres kali ini
terasa lebih spesial di tengah keraguan sebagian kalangan atas kemampuan
sipil memimpin bangsa yang sangat besar ini. Sebagaimana diketahui, Joko
Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih adalah
pasangan sipil pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Dua pemilu
sebelumnya, figur presiden belum bisa dilepaskan dari bayang-bayang militer.
Tidak
seperti di tingkat akar rumput, polarisasi dan fragmentasi justru sangat
terasa di tingkat elite. Oleh karena itu, ada baiknya para elite menahan diri
untuk tak memperkeruh suasana. Biarlah segala sesuatu terkait sengketa
pilpres diselesaikan secara elegan melalui jalur hukum. Pranata demokrasi
yang telah berjasa mengantarkan bangsa ini menuju fajar ke(ber)adaban baru
terlalu agung untuk dikotori oleh tangan-tangan jahil. Mari kita menghimpun
energi untuk menyongsong hari esok yang penuh harapan.
Kotak pandora
Tak
dapat disangkal, bangsa ini mengidap komplikasi persoalan yang begitu rumit,
akut, dan bertali-temali. Ibarat kotak pandora, berbagai persoalan tersebut
menuntut presiden terpilih untuk mampu membukanya (baca: menyelesaikannya).
Dengan demikian, kunci kesuksesan bangsa ini mengatasi berbagai persoalan
tersebut persis terletak di sini: sejauh mana Jokowi-JK mampu menghimpun
segenap energi bangsa untuk selanjutnya mengorkestrasikannya sebagai sebuah
modalitas menyelesaikan berbagai persoalan tersebut.
Dalam
konteks itu, peran kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode
tak bisa dinafikan. Apresiasi dan kredit layak diberikan kepada SBY untuk
melakukan kerja-kerja ground breaking dalam rangka memuluskan jalan menuju
tradisi ke(ber)adaban baru. Kekurangan dan kelemahan pasti ada. Betapapun,
SBY berhasil membawa bangsa ini pada satu fase transisi yang cukup krusial.
Tinggal bagaimana Jokowi-JK meneruskan dan mengembangkannya untuk memastikan
perjalanan bangsa ini on the right track di jalan ke(ber)adaban.
Terhadap
berbagai persoalan tersebut, saya yakin SBY bukan tidak tahu sama sekali; dia
menyadari jika pembukaan kotak pandora tersebut membutuhkan banyak
pengorbanan, integritas, dan totalitas komitmen segenap anak bangsa. Berbagai
persoalan yang membelit bangsa ini telah sedemikian endemik, dari hulu hingga
hilir.
Di
tingkat hulu, bangsa ini mengidap penyakit mental block yang menghalangi
bangsa ini menuju kemajuan dan kesejahteraan bersama. Jalan revolusi mental
sebagaimana ditawarkan Jokowi menemukan relevansinya di sini.
Di
tingkat hilir, berbagai persoalan yang tak kalah kompleksnya telah
menghadang, mulai dari misterisunya pengelolaan sumber daya alam, tidak
transparannya perjanjian kontrak karya multinasional, makin melebarnya rasio
gini akibat distribusi ekonomi yang tidak merata, produktivitas ekonomi yang
belum mengangkat harkat dan martabat bangsa, rendahnya kemauan mengapresiasi
kompetensi anak-anak bangsa yang menyebabkan fenomena brain drain, hingga
akutnya persoalan korupsi yang menggerogoti marwah bangsa.
Dalam
konteks ini, penyusunan komposisi kabinet yang mempertimbangkan prinsip
meritokrasi merupakan salah satu langkah membuka kotak pandora tersebut.
Sudah seharusnya semboyan the right man
in the right place menjadi konsideran utama dalam penyusunan kabinet.
Paradigma ”siapa mendapatkan apa”
sama sekali tidak relevan dalam penyusunan kabinet. Parpol harus menyadari
bahwa zaman sudah berubah. Justru inilah saatnya mereka menginisiasi budaya
politik baru yang mengedepankan semangat good
and clean governance.
Perjalanan
sejumlah menteri yang tersandung persoalan hukum akibat korupsi harus jadi
pelajaran berharga bagi perubahan paradigmatik di tingkat elite. Ini menjadi
bukti paling absah bahwa pendasaran koalisi parpol pada prinsip bagi-bagi
kekuasaan sudah ketinggalan zaman. Buat apa parpol memaksakan diri bagi-bagi
kekuasaan jika mereka tidak memiliki kesiapan dan kesanggupan mengelola
lembaga secara akuntabel, transparan, dan bertanggung jawab.
”Problem solving”
Dalam
konteks urgensi membuka kotak pandora di atas, tiada pilihan lain bagi
presiden terpilih untuk menempatkan seluruh proses politik-demokrasi sebagai
alat untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Sebagaimana dikutip di
awal tulisan ini, demokrasi tiada lain adalah alat untuk menjamin bahwa
rakyat diperlakukan secara layak. Satu paket dalam ungkapan ini, juga
kelayakan demokrasi menyelesaikan berbagai soal yang ada.
Menurut
de Souza Briggs (Democracy as Problem
Solving, 2008), ada tiga tahap pemahaman atas demokrasi: medan perebutan
kuasa, proses deliberasi, dan demokrasi sebagai problem solving. Ketiga tahapan itu memang tak mesti dipahami
terpisah, fragmentatif, atau sepotong-sepotong. Pemahaman yang utuh atas
demokrasi jelas mensyaratkan ketiganya sebagai sebuah interrelasi tunggal.
Artinya, jangan sampai bangsa ini memahami perhelatan politik-demokrasi hanya
sebatas perebutan kuasa atau proses deliberasi publik. Lebih dari itu,
politik-demokrasi adalah juga kemauan dan kemampuan menyelesaikan seluruh
persoalan bangsa ini.
Jika—dan
hanya jika—bangsa ini mampu menempatkan demokrasi sebagai interrelasi yang
utuh antara ketiga tahap di atas, jurang pemisah antara hiruk pikuk politik
keseharian di satu sisi, dan berbagai persoalan bangsa di sisi lain, dapat
teratasi dengan baik. Inilah fase ketika bangsa ini telah sampai pada tahap civility, jalan ke(ber)adaban baru.
Meski
demikian, siapa pun tak bisa menampik kenyataan bahwa demokrasi di negeri ini
baru sebatas perebutan kuasa dan proses deliberasi publik, belum sepenuhnya
penyelesaian masalah. Dalam konteks inilah, di pundak presiden-wakil presiden
terpilih, Jokowi-JK, terpikul harapan segenap warga bangsa untuk memerankan
diri mereka sebagai kunci pembuka kotak pandora. Mampukah? Kita tunggu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar