Elite
yang Guru
Radhar Panca Dahana ;
Budayawan
|
KOMPAS,
31 Juli 2014
Ada
satu hal esensial, dalam hemat penulis, pada sistem pendidikan nasional kita
yang bermasalah, sekurangnya karena ia dianggap tidak cukup berhasil
menciptakan murid atau manusia dengan integritas (kultural) sebagaimana yang
kita idamkan.
Hal
itu berawal dari dasar adab dan filosofis sistem pendidikan itu yang diacu
pada kebudayaan yang bukan milik kita sendiri, tapi pada kebudayaan
kontinental/daratan, khususnya budaya oksidental. Acuan tersebut tentu saja
memiliki argumentasi—sekurangnya—historis, sama sekali tidak dibalut
prasangka atau spekulasi konspiratif seperti sebagian kalangan menuduhnya.
Tertanam
kuatnya kultur kontinental dalam adab hidup kita, termasuk dalam sistem
pendidikan, terjadi bukan hanya dalam 200 tahun belakangan, tapi bahkan sejak
2000 tahun lebih lalu, sejak bangsa Arya-India melakukan intervensi bahkan
kolonialisme kulturalnya ke lebih dari setengah bagian negeri ini.
Sebagaimana
budayanya yang melihat manusia serta realitas komunalnya dalam sebuah
struktur yang meruncing ke atas (piramida, sebagaimana juga realitas
religiusnya yang memusat di puncak gunung, dan lain-lain), pendidikan
kontinental pun dibentuk dalam pola struktural yang sama. Tidak hanya secara
organisatoris dan administratif, tapi juga dalam praksisnya, di mana sebuah
kelas dibangun oleh dua posisi: guru di satu pihak sebagai sentral atau
puncak relasi dan murid-murid sebagai subordinat yang ada di bawah atau di
hadapannya.
Dalam
sistem ini, otoritas mutlak— tidak hanya secara keilmuan, tapi juga hingga
moral, bahkan spiritual—berada pada puncak struktur/kuasa: guru (yang juga
berpola piramidal hingga ke tingkat pejabat tertingginya, seperti menteri).
Di sini murid-murid berposisi sebagai obyek dari kuasa-kuasa di atas. Apa
yang terjadi dalam kelas pun, umumnya, adalah relasi yang bersifat monofonik,
satu arah, di mana sang guru memainkan kemampuan monolognya ketimbang dialog.
Murid bertanya dalam perkenan sang guru.
Di
sinilah masalah besar adanya. Ketika pola pendidikan yang struktural dan
piramidal itu ternyata melulu menghasilkan manusia-manusia yang berkembang
dalam terali atau rambu-rambu intelektual, moral, hingga fisikal yang
ditetapkan oleh sang ”penguasa”. Mau tidak mau, lulusan yang dihasilkan
sebenarnya tidak lebih dari robot-robot ideologis, yang sekujur hidupnya
hanya mengafirmasi produk-produk ideologis dari sistem atau penguasa sistem
tersebut.
Dunia
kognitif di sini berperan sentral. Diktat dan hukum penguasa berlaku keras
untuk membentuk obyek/muridnya tidak menyimpang dari internalisasi nilai
(ideologis) yang ditanamkan sejak pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga
S-3.
Sebagai
contoh, pendidikan di Indonesia sejak dini hingga S-1 (sarjana) berakhir pada
sebuah kerja intelektual yang semata hanya menyusun dasar-dasar logis
bagaimana sebuah teori (yang notabene produk kontinental/ oksidental) dapat
diimplementasikan dalam hidup praksis masyarakat lokal. Dan apa yang terjadi?
Semua calon sarjana melakukan semacam utak-atik gathuk agar ia bisa lulus uji
dengan ”membuktikan” teori tersebut sungguh dapat diimplementasikan. Tidak
peduli bias maupun deviasinya. Secara tragis, semangat dan cara berpikir ini
pula yang digunakan institusi pendidikannya (universitas, akademi, institut,
dan lain-lain) saat menerima ”order” atau proyek penelitian, entah dari
swasta, pemerintah, atau lembaga asing.
Dalam
sistem semacam ini, diktat dan hukum menjadi acuan utama berikut reward dan
sanksi moral, akademik, hingga politiknya. Bagaimana hal itu menciptakan
kerusakan bahkan kekacauan dalam terapannya di kehidupan bernegara dan
berbangsa, dalam proses—yang kita sebut—developmentalis, teori dan kultur
kontinental tidak peduli. Sistem pendidikan tidak memiliki metodenya.
Pembiaran akan ekses-ekses yang kemudian menjadi fallacies itu jadi semata
urusan internal kita. Orangtua, guru mengaji, masyarakat, atau polisi
(pemerintah)-lah yang kemudian diminta mengambil alih tanggung jawab itu.
Malangnya, lembaga-lembaga tradisional itu ternyata melempem bahkan
pecundang, lebih jauh juga tinggal sebagai korban sebagaimana produk-produk
pendidikan umumnya.
Pengajaran maritim
Pola
atau sistem pendidikan daratan di atas berbeda hampir secara diametral dengan
apa yang ber/dikembangkan oleh masyarakat berlatar budaya bahari (kelautan).
Dalam sistem beradab kelautan, guru dan murid tidak memiliki jarak struktural
berbasis kelas, kedudukan, atau oposisi binarik (obyek-subyek, patron-klien,
dominan-subordinat, dan lain-lain). Seorang guru, tidak sebagaimana definisi
sistem pendidikan kontinental, tidak hanya menjadi acuan (intelektual, moral,
spiritual saja), tapi juga menjadi contoh bagaimana semua acuan itu
diimplementasikan dalam disiplin keseharian.
Dalam
sistem perguruan atau pesantren maritim, seorang murid atau santri itu
nyantri atau ngenger mengikuti guru, dalam acuan dan perilaku. Mungkin konsep
guru sebagai abreviasi unik digugu dan ditiru menjadi terminolog yang tepat
menggambarkan konsep atau sistem itu. Seorang guru tidak berarti apa-apa bila
apa pun yang ia ajarkan (sebagai acuan yang digugu) tidak terimplementasi
dalam praksis sehari-hari (yang pantas ditiru).
Dalam
filosofi orang Jawa, dikenal sebuah frase terkenal dari Mangkunegara IV yang
menyatakan, ”ngelmu kuwi kalakone nganti kalaku”. Sebuah ilmu (pengetahuan)
tidaklah berarti sama sekali, bahkan dapat dikatakan belum menjadi ilmu,
ketika ia tidak terterapkan dalam perilaku atau perbuatan (kalaku). Ini
berlaku pada siapa saja yang belajar atau mengejar ilmu. Dan menjadi imperasi
keras bagi seorang guru. Karenanya, seorang guru yang bias, deviatif,
selingkuh, dan korup sesungguhnya sudah kehilangan otoritas atau
legitimasinya sebagai guru. Karena ia sudah tidak berilmu, tidak ulama.
Karena
itu, dalam pola atau tradisi transmisi nilai dan ilmu seperti ini,
sesungguhnya proses yang terjadi di antara guru dan murid tidak mungkin
berlangsung searah. Dalam proses implementasi nilai tadi, seorang guru pun
harus belajar pada sang murid dalam soal menghadapi dunia/realitas/ problemasi
hidup kontemporernya. Dengan itu, sang guru selalu mengaktualisasi dirinya
dengan realitas mutakhir yang di-”ajar”-kan muridnya.
Proses
ajar-mengajar ini tampaknya kurang bisa diakomodasi oleh istilah ”pendidikan”
(education) yang berkonotasi
searah, tunggal, monolog. Menurut penulis, istilah yang lebih cocok adalah
”pengajaran”, di mana konotasi adanya komunikasi dua arah dalam proses
ajar-mengajar terjadi. Sulit menemukan padanannya dalam bahasa asing. Dengan
akar kata Latinnya, mungkin istilah ini cocok dengan kata edification.
Dalam
kamus Merriam-Webster dan Oxford, istilah ini bermakna ”anjuran untuk
meningkatkan kualitas seseorang, baik secara intelektual, moral, maupun
spiritual”. Akar katanya, edify, yang berasal dari bahasa Perancis kuno,
edifier, dari kata Latin aedificare,
bermakna asal ”membangun”, ”mendirikan bangunan”, atau ”memperkuat” dalam
dimensi moral dan spiritual. Di dalam istilah edification ini, menurut kamus
Oxford, sudah termaktub makna-makna kata lain, termasuk instruksi, mengajar,
tuitisi, persekolahan, pendidikan, pencerahan, pelatihan, pedagogi,
informasi, dan sebagainya.
Mungkin
akan baik, karenanya, bila sebuah institusi, katakanlah sebuah kementerian,
menggunakan istilah ”pengajaran” ketimbang bentuk tradisionalnya,
”pendidikan”. Selain karena alasan-alasan di atas, terma ”pengajaran” juga
mengindikasikan proses pembentukan karakter yang lebih utuh/integratif, di
mana pelakunya—subyek maupun obyeknya—seluruh aparatus kebudayaan dan bangsa
ini. Bukan sebuah golongan yang dianggap profesional saja, guru dalam hal
ini.
Elite yang maskulin
Dengan
pengertian yang terurai di atas, kita pun dapat membaca lebih baik realitas
sosial kita di masa mutakhir yang sudah ketat diselimuti adab global yang
notabene oksidental ini. Pola hubungan antara manusia dan masyarakat kita
yang saat ini juga struktural-piramidal ditandai oleh sistem atau
tradisi—yang mengikuti pendapat para ahli ilmu sosial
oksidental—paternalistik atau patron-client.
Yakni pola hubungan atau relasional yang ditandai oleh posisi atau kedudukan
mereka yang ada di kelas ”atas”, baik secara feodal, kapital, intelektual,
dan sebagainya, menjadi acuan dan panutan dari mereka yang ada di kelas
bawahnya.
Mengacu
pada arti terminologis (pater, papa,
patron) yang mengacu pada jenis kelamin tertentu, maskulin, dapat kita
pahami bahwa relasi ini memang relasi yang menempatkan dominasi lelaki
(maskulin) di atas jenis kelamin lain. Bahwa adab oksidental adalah adab yang
macho tidak dapat ditolak oleh
semua bukti kultural, historis, antropologis, bahkan arkeologis. Kita semua
jadi saksi dan bukti- buktinya menyebar tak hanya dalam kehidupan agama,
politik, hukum, ekonomi, akademik, tapi juga kesenian dan olahraga. Dalam
sejarah kolonialisme negeri ini yang berusia dua milenia, tradisi atau sistem
hubungan sosial di atas memang seakan sudah berakar cukup dalam dalam
kehidupan bermasyarakat hingga bernegara kita. Kedudukan kelas atas,
penguasa, atau elite dalam istilah generiknya memang menjadi penentu bagi
keberlangsungan sebuah masyarakat dan adabnya.
Perilaku
menyimpang dan koruptif, misalnya, yang masa kini menjadi gejala kolektif
ketika ia dilakukan secara masif, mendapatkan legitimasi moral, kultural,
hingga spiritualnya dari pola relasi di atas. Bila pihak elite (atas)
melakukannya, kenapa kami (yang di bawah) tidak boleh. Maka saling sandera moral
pun terjadi di antara kelas-kelas masyarakat yang ada (baca: tercipta) dalam
sistem ini.
Karena
itu, bila kita hendak kembali pada jati diri kultural kita yang berbasis pada
adab kelautan/bahari, maka sang penguasa, orang kaya, atau elite memiliki imperasi
untuk menjadi anutan dan contoh dalam memuliakan manusia, dirinya sendiri.
Menjadi guru kebudayaan bagi masyarakat luas, rakyat banyak yang menjadi
konstituen atau pemberi mandat. Elite, jika mereka menganggap dirinya
”lebih”, dalam soal ilmu, kematangan emosional maupun spiritual, sudah
selayaknya menunjukkan bagaimana ilmu (kehidupan) itu menjadi praksis
kehidupannya sehari (kalaku).
Apakah
itu mungkin terjadi? Bukan pada siapa-siapa jawaban untuk itu harus
diberikan, kecuali elite itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar