Ebola,
Prahara Dunia Ketiga
Tri Satya Putri Naipospos ;
Centre for Indonesian
Veterinary Analytical Studies
|
KOMPAS,
30 Juli 2014
Biasanya
dimulai saat bangun pagi di mana korban merasa tak enak badan. Tak ada nafsu
makan, kepala pusing, tenggorokan sakit, demam, dan menggigil.
Sebenarnya,
apa yang terjadi pada tubuh korban tidak beda dengan penyakit lain yang
menyerang sistem kekebalan tubuh. Namun, ternyata penyakit ebola jauh lebih
agresif. Belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit ini. Ebola secara
perlahan-lahan mulai menyusup dari hutan ke kota dan menembus batas-batas
wilayah negara. Ebola membuat ratusan dokter frustrasi dalam upaya
menyelamatkan korban, tetapi masih selalu gagal menaklukkan penyakit ini.
Dari
Maret sampai Juni 2014, pandemi ebola dengan angka kematian 90 persen telah
membunuh hampir 400 orang di Liberia, Sierra Leone, dan Guinea. Jumlah ini
lebih besar daripada 280 orang meninggal pada 1976, di mana virus ini pertama
kali ditemukan di dekat Sungai Ebola, Zaire, sekarang disebut Kongo.
Krisis
ebola memang masih sebatas benua Afrika. Umumnya, yang terserang wabah adalah
negara-negara sangat miskin. Dari daftar sepuluh negara termiskin di dunia
2013-2014, Kongo menduduki urutan pertama, Liberia ketiga, Sierra Leone
kedelapan.
Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan wabah di ketiga negara itu berpotensi
menyebar lewat perjalanan antarnegara. Negara yang berbatasan di Afrika barat
lain, seperti Pantai Gading, Mali, Senegal, Guinea-Bissau, harus bersiap
diri. WHO tidak saja mengkhawatirkan
penularan lintas batas, tetapi juga lebih lanjut adalah potensi penyebaran
internasional. Saat ini, wabah bukan lagi spesifik satu negara, melainkan
krisis regional yang perlu aksi tegas pemerintah dan mitranya.
Ebola
bukanlah suatu isu menyangkut teknologi tinggi. Persoalan mendasar menyangkut
kebiasaan hidup bersih dan penanganan
pasien yang benar, meliputi isolasi, karantina, dan perlindungan diri,
terutama bagi para pekerja kesehatan. Ebola di suatu negara lebih merupakan
refleksi kemiskinan dan sistem kesehatan yang terabaikan.
Sierra Leone telah memperingatkan warganya,
menyembunyikan seseorang yang terinfeksi virus ebola merupakan pelanggaran
kriminal serius. Tingkat kemiskinan, disinformasi, pendidikan yang rendah, dan lemahnya
persepsi tentang wabah itu sendiri berkontribusi secara cepat terhadap apa
yang disebut sebagai prahara dunia ketiga.
Lewat binatang
Virus
ebola merupakan salah satu virus paling berbahaya di dunia. Virus ditularkan
lewat kontak dengan darah, cairan tubuh, jaringan hewan, atau manusia yang
terinfeksi. Ebola adalah salah satu penyakit zoonosis, yaitu ditularkan dari
hewan ke manusia. Kelelawar diidentifikasi sebagai hospes alamiah dari virus
ebola dan juga penyakit pernapasan, seperti SARS, MERS, dan hendra/nipah.
Empat dari lima subtipe virus ebola asli Afrika. Mekanisme penularan dari
kelelawar belum diketahui pasti.
Penyebab
SARS dan MERS adalah sama, yaitu virus korona. Virus SARS bersirkulasi pada
binatang hutan, seperti musang yang biasanya dikonsumsi manusia di wilayah
selatan Tiongkok. Sementara virus MERS umumnya menginfeksi unta di Timur
Tengah dan kemungkinan menulari manusia lewat konsumsi susu unta mentah.
Bedanya, MERS menyebar tidak semudah SARS.
Gorila,
simpanse, dan antelop adalah binatang mamalia yang sangat besar
kemungkinannya menularkan virus ebola ke manusia. Tradisi atau kebiasaan
makan daging satwa liar (bushmeat), terutama di wilayah pedalaman Afrika,
menjadi faktor pemicu timbulnya wabah ebola. Daging satwa liar yang berasal
dari hewan berkuku, primata, dan rodensia menjadi pilihan sumber protein bagi
penduduk miskin di Asia dan Afrika.
Lompatan virus
Di
abad ke-21 ini, sejumlah penyakit baru muncul dan menyebabkan isu dalam skala
global. Kita juga melihat kejadian wabah beberapa tahun terakhir, baik itu
SARS, hendra/nipah, MERS, maupun dua virus influenza, H7N9 dan H5N1. Daerah
hotspot hampir semua penyakit itu ada di negara-negara Asia dan Afrika.
Dalam
50 tahun terakhir, kasus lompatan virus dari hewan ke manusia meningkat
secara dramatis. Para ahli ekologi penyakit menyatakan ada dua lompatan
utama. Satunya berkaitan langsung dengan virus itu sendiri, satunya lagi
berkaitan secara umum dengan ekosistem dan manusia. Sejumlah virus tertentu,
contohnya rabies, dapat menular antarspesies dengan mudah. Namun, sejumlah
virus lain harus bermutasi terlebih dahulu untuk membuat lompatan ke spesies
lain. Banyak ahli percaya, kesempatan penyakit hewan menulari manusia kian
nyata meningkat karena kerusakan alam, termasuk hutan.
Ada
banyak hal dalam ilmu pengetahuan yang belum kita ketahui tentang lompatan
virus di alam. Seperti halnya virus ebola, keberhasilan pencegahan dan
pengendalian zoonosis ini sangat bergantung pada pemahaman kita tentang kapan
dan di mana suatu lompatan terjadi, serta spesies hewan apa saja yang menjadi
reservoir virus. Hanya cara ini yang dianggap ampuh menghentikan penyebaran
suatu virus berbahaya ke tingkat pandemi.
Antisipasi ke depan
Indonesia
sebagai negara berkembang yang integrasi sistem kesehatan dengan sistem
kesehatan hewan belum memadai dalam menangani kemunculan darurat wabah
penyakit, khususnya wabah zoonosis. Kita memang belum memiliki fasilitas
laboratorium setara dengan laboratorium zoonosis canggih yang diakui secara
global, seperti di Amerika Serikat (Plum Island) dan Australia
(Geelong).
Antisipasi
sangat bergantung pada visi dan misi Indonesia ke depan, terutama pembangunan
kesehatan masyarakat. Indonesia harus bertahap memperkuat negara dalam
memobilisasi tenaga medis, medis veteriner, dan keilmuan lain yang terhubung
dengan jejaring laboratorium veteriner dan laboratorium kesehatan masyarakat
pada waktu dibutuhkan. Dokter, dokter hewan, dan sarjana keilmuan lain, seperti
ahli mikrobiologi, ahli kesehatan masyarakat, ahli ekologi, ahli konservasi,
dan sebagainya, perlu menyesuaikan perannya dalam memahami dan mempelajari
irisan keterkaitan manusia, hewan, dan lingkungan.
Meski
virus ebola muncul 38 tahun lalu di Afrika Tengah, spesies reservoirnya belum
teridentifikasi secara tegas sampai saat ini. Konsekuensinya bagi negara mana
pun di dunia, termasuk Indonesia, adalah ketidakmampuan kita memprediksi
kapan dan di mana wabah zoonosis berikutnya bakal terjadi di alam yang terus
berubah. Ancaman terbesar kita adalah
lompatan virus dengan potensi penularan manusia ke manusia yang efisien. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar