Siapa
yang Intoleran?
Wurianto Saksomo ; Alumni FH UGM dan PNS di Pemkab Ngawi
SUMBER : REPUBLIKA,
12 Juni 2012
Victor
Silaen, dosen FISIP Universitas Pelita Hara pan, dalam opininya di Sinar
Harapan, 29 Mei 012, mengemukakan ke heranannya atas klaim Menteri Agama bahwa
Indonesia adalah negara yang paling toleran. Menurutnya, merujuk data dari
beberapa lembaga dan LSM, toleransi di negara ini masih jauh panggang dari api.
Beberapa
data dalam tulisan yang berjudul “Negara Paling Toleran di Dunia?“ itu
menyebutkan, sepanjang 2010 setidaknya terjadi 81 kasus intoleransi. Selama
2011, insiden kekerasan terhadap umat Kristen di Indonesia hampir berlipat
ganda. Data-data yang dikemukakan merujuk pada laporan PGI, Compass Direct, dan the Wahid Institute.
Apa
yang menarik dari tulisan di atas serta data-data intoleransi yang disertakan
di dalamnya? Asumsi apa yang lahir di benak dengan membaca sebuah opini itu?
Sepertinya, pelaku utamanya adalah umat Islam dan korbannya adalah umat
Nasrani. Oleh karena itu, perlu ada upaya kritis terhadap tulisan tersebut.
Pertama,
perilaku intoleransi selalu saja disematkan kepada umat Islam, baik itu dalam
pemberitaan media maupun opini, baik itu dinyatakan secara langsung maupun tak
langsung, seperti pula dalam tulisan Victor. Memang di sini tidak secara
langsung umat Islam menjadi tertuduh, tetapi jamak diketahui sasaran tembaknya
adalah umat Islam. Sedangkan, di sisi lain, umat Nasranilah sebagai korban
intoleransi. Korban kekerasan atas nama agama. Korban penderita.
Apakah
data di atas turut pula memasukkan umat Islam yang menjadi korban, terutama
dari perilaku umat non-Islam? Adakah angka yang menunjukkan seberapa besar umat
Islam yang menjadi korban kekerasan dari umat beragama lain dalam kaitannya
dengan kebebasan melaksanakan ibadah? Saya rasa tidak. Intoleransi atau
kekerasan atau apalah namanya hanya menempatkan umat Islam sebagai subjek
pelaku, bukan objek penderita.
Kedua,
dengan angka sekian ratus yang diklaim sebagai angka terjadinya intoleransi
(terhadap umat Nasrani) menjadikan negara dengan jumlah penduduk beragama Islam
terbesar di dunia ini menjadi negara yang tergugat toleransinya. Dengan kata
lain, umat Islam sebagai kaum mayoritas dinilai gagal menjamin toleransi
terhadap umat nonIslam, khususnya Nasrani.
Menteri
Agama Suryadharma Ali mengatakan, data pembangunan rumah ibadah dari 1977
hingga 2004 menyebutkan, gereja Kristen dari 18.977 buah menjadi 43.909 buah
(naik 131,38 persen). Gereja Katolik dari 4.934 menjadi 12.473 (naik 152,8
persen). Pura Hindu dari 4.247 menjadi 24.431 (naik 475,25 persen) dan wihara
Buddha dari 1.523 menjadi 7.129 (naik 368,09 persen).
Tidakkah
angka ini menunjukkan betapa besar kebebasan beragama (dan beribadah serta
membangun tempat peribadatan) diberikan dibandingkan (katakanlah) penyegelan
beberapa tempat ibadah umat Nasrani yang memang bermasalah.
Ketiga,
benturan umat beragama yang paling sering terjadi di Indonesia adalah antara
umat Islam dan Nasrani. Anehnya, jarang bahkan hampir tidak ada benturan antara
umat Islam dan umat Buddha serta Hindu. Kalaupun ada, itu tidak dilandasi
karena alasan agama.
Kalau
memang umat Islam (dianggap) tidak toleran, seharusnya terhadap umat agama lain
juga mendapatkan perlakuan yang sama. Namun, ternyata tidak. Mengapa hanya
dengan umat Nasrani di Indonesia saja umat Islam berbenturan? Semestinya,
pertanyaan ini dijawab dengan jujur, tidak hanya untuk umat Islam.
Keempat,
peristiwa penutupan/penyegelan gereja dan kekerasan terhadap sebagian umat
Nasrani merupakan efek saja. Itu hanya akibat. Ada sebab utama yang sayangnya
tak pernah diungkap, terutama oleh media. Menurut umat Islam, ada kecurigaan
yang teramat mendalam atas proyek kristenisasi. Ini bukanlah mitos, tetapi
realitas. Akan tetapi, terus saja banyak pihak yang menutup-nutupi.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleran berarti bersifat atau bersikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri. Islam sendiri menganjurkan umatnya untuk
bersikap toleran. Tentu saja, ini sebatas pada hubungan kemanusiaan. Hubungan
sosial kemasyarakatan.
Sedangkan
dari segi akidah, ada garis batas tegas sesuai petunjuk Allah dalam QS
al-Kafirun, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku!“ Silakan saja umat dari agama lain
untuk beribadah seluas-luasnya. Namun, kebebasan ini bukanlah kebebasan yang
menyakiti umat beragama lain.
Tak
akan ada asap tanpa adanya api. Kalaupun ada reaksi penyegelan tempat ibadah,
berarti ada aksi yang mendahului. Umat Islam bukanlah umat yang suka mencari
gara-gara. Mereka tak akan menyakiti bila tak disakiti. Kalau tahu betapa
sakitnya disakiti, janganlah coba-coba menyakiti.
Dalam
bangsa yang majemuk ini memang sangat perlu adanya sikap toleran, yang
mayoritas menghormati yang minoritas, yang minoritas menghargai yang mayoritas.
Kemudian, yang mayoritas menyayangi yang minoritas, yang minoritas mengasihi
yang mayoritas. Tanpa itu, pecahlah keutuhan negeri ini. Amat lucu kalau sesama
penganut agama memecah belah persatuan.
Dulu
pada awal kemerdekaan, umat Islam merelakan dasar negara bukanlah Islam. Konon,
kabarnya ada tokoh-tokoh dari Indonesia timur yang mengancam keluar dari
Indonesia jika dasar negara adalah Islam. Lalu, pencoretan kata-kata, “...
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ pada sila
pertama Pancasila menunjukkan betapa besar rasa toleran umat Islam.
Jadi, siapa yang sebenarnya tidak toleran?
Siapa yang menyebabkan terjadinya intoleransi? Siapa yang menyebabkan munculnya
kekerasan atas nama agama? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar