Pendidikan
Asingkan Budaya Bernalar
Iwan Pranoto ; Guru Besar ITB
Sumber : KOMPAS,
16 Juni 2012
Dalam pembangunan republik ini, sejak 1970-an
pendidikan kerap dianggap kemewahan, bukan kebutuhan. Penyediaan pendidikan
bermutu dinomorduakan dibanding penguatan ekonomi. Kebijakan seperti ini
berbahaya.
Budaya pendidikan dunia memodelkan
pembangunan berdasarkan intelektualitas. Karena sumber daya alam terbatas serta
jagat semesta rentan terhadap gangguan, pembangunan berkelanjutan perlu
berpusat pada intelektualitas. Implikasi dari model ini, masyarakat belajar
serta budaya belajarnya yang tumbuh mengakar jadi penggerak utama pembangunan
setiap negara.
Suka atau tidak, pendidikan merupakan
lokomotif terdepan pembangunan. Kesejahteraan bangsa serta kekokohan ekonomi
bergantung mutlak pada pendidikan. Ekonomi kokoh dapat dicapai jika pendidikan
kuat.
Penerapan model ini butuh prasyarat: tujuan
pendidikan negara harus dirumuskan dengan akurat. Kecakapan yang diperkirakan
dibutuhkan di masa depan harus dikenali dan dianalisis. Dari sana kemudian
dibuat standar pendidikan. Oleh karena itu, pertanyaan utama dan pertama yang
mutlak dikaji pemimpin negara adalah: ”Kecakapan
strategis apa yang perlu dibelajarkan?”
Kecakapan Abad Ke-21
Di pengujung abad ke-20, dua peneliti—Richard
J Murnane (Harvard Kennedy School)
dan Frank Levy (MIT)—melakukan riset
bersama guna menjawab pertanyaan di atas. Murnane (pakar kebijakan pendidikan)
dan Levy (pakar ekonomi urban) mengkaji kecenderungan jenis kecakapan yang kian
dibutuhkan dan tak dibutuhkan dunia kerja.
Berdasarkan data tahun 1969-1998, mereka
mengungkapkan bahwa kecakapan memecahkan masalah tak rutin dan kecakapan
berkomunikasi kompleks semakin dibutuhkan. Pada saat komputer serta teknologi
informasi semakin berdaya, banyak masalah rutin dapat dipecahkan oleh mesin.
Sebaliknya, manusia justru semakin dibutuhkan pada pemecahan masalah tidak
rutin. Kecakapan kedua yang juga semakin dibutuhkan adalah kecakapan
berkomunikasi kompleks, seperti kecakapan seorang manajer dalam memotivasi
stafnya.
Hal yang paling drastis menurun kebutuhannya
adalah kecakapan kognitif rutin. Kecakapan seperti menghafal serta kecakapan
berpikir tingkat rendah semakin tak diperlukan.
Berdasar penelitian itu, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)
merumuskan Programme for International
Student Assessment (PISA) guna menjawab pertanyaan: ”Seberapa siap pelajar di dunia di akhir masa wajib sekolahnya, yakni
umur 15, untuk menguasai kecakapan abad ke-21?”
Untuk Indonesia, hasilnya memang buruk. Ini
dapat dibaca di situs OECD. Mengapa pelajar kita begitu buruk pencapaiannya di
PISA? Kita pasti sepakat anak-anak kita tidak bodoh. Lalu, mengapa hasilnya
buruk?
Jawabnya sederhana. Anak- anak kita telah
ditunjukkan arah belajar kecakapan yang salah. Analoginya, anak-anak kita
seperti dibekali kompas yang rusak untuk berpetualang. Mereka dibuat fokus
mengejar kecakapan kedaluwarsa, seperti kognitif rutin itu. Sebaliknya,
anak-anak kita sangat jarang diberi kesempatan mengembangkan kecakapan abad
ke-21, seperti bernalar tingkat tinggi.
Insentif bagi pelajar yang berhasil
mengembangkan kecakapan modern tersebut justru nyaris tak terdengar. Bukan
maksud tulisan ini mengatakan bernalar tingkat rendah tak diperlukan lagi, tapi
harus ada keseimbangan antara kecakapan bernalar tingkat rendah dan tingkat
tinggi.
Sampai kini sangat sulit meyakini adanya
upaya serius dan sistematis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam
menindaklanjuti hasil PISA guna meningkatkan pencapaian dua kecakapan tadi.
Rangkaian kebijakan pendidikan nasional yang dicanangkan justru kerap bertolak
belakang dengan upaya penguasaan dua kecakapan itu.
Budaya Belajar
Kecemasan sebagai motivasi atau pemaksa
belajar tentu sangat bertentangan dengan upaya mewujudkan masyarakat belajar
yang sepatutnya senang belajar dan menghargai proses bernalar. Penggunaan
kecemasan sebagai motivator belajar juga bertentangan dengan teori belajar,
yang meletakkan motivasi intrinsik sebagai prinsip utama dalam proses belajar
untuk memahami.
Kesukacitaan belajar dan penghargaan pada
proses bernalar adalah jiwa masyarakat belajar. Sebagai tambahan, pemanfaatan
informasi di masa ini jauh lebih bernilai dibandingkan nilai informasinya
sendiri. Masalah penyimpanan dan sistem pencarian informasi sudah dipecahkan
oleh Google. Sungguh absurd jika pelajar kita justru difokuskan mengejar
kecakapan yang sudah dapat dikerjakan mesin.
Ironisnya, praktik pendidikan di republik ini
justru berpusat pada kecakapan seperti mesin itu. Proses bernalar dengan
sengaja diasingkan dari pendidikan. Dalam pembelajaran matematika, khususnya,
bukannya bernalar tingkat tinggi yang dibelajarkan di ruang kelas, melainkan
justru kecakapan kedaluwarsa, seperti berhitung cepat dan menghafal rumus tanpa
makna.
Alasan klise bahwa para guru kita tak mampu
membelajarkan kecakapan bernalar mungkin saja ada benarnya, tetapi jika guru
mampu pun, mereka tidak akan membelajarkan kecakapan bernalar tingkat tinggi.
Mengapa? Salah satunya karena model dan sistem ujian nasioanl (UN) kita.
Sistem UN yang dominan pada kecakapan
menghafal informasi semata ini jadi alasan sahih mengapa para pelajar kita,
juga gurunya, menghindari proses bernalar tingkat tinggi. Siswa dan guru akan
bertanya: mengapa perlu memahami bagaimana membuktikan Dalil Pitagoras, jika UN
tak pernah mengujinya. Yang dituntut di UN toh sekadar bagaimana memasukkan
angka- angka ke rumus a2+b2>c2'>.
Akibatnya, siswa menjadi sangat lemah dalam
pemahaman matematikanya serta kecakapan bernalarnya. Jika pengasingan budaya
bernalar melalui UN bermutu buruk ini dilanjutkan, bangsa kita sangat mungkin
akan kesulitan melibatkan diri dalam pembangunan dunia di masa depan.
Dampaknya, ekonomi kita pun akan hancur.
Untuk menyuburkan kembali budaya bernalar,
perlu gerakan penyadaran bersama tentang pentingnya bernalar pada era sekarang.
Perguruan tinggi di seluruh daerah dapat menciptakan forum semacam ”Akademi
Sabtu”, tempat guru bersama akademisi menyegarkan budaya bernalar serta
meningkatkan kemampuan guru membelajarkan kecakapan bernalar.
Sebelum melanjutkan penggunaan UN untuk
kelulusan, Kemdikbud harus membenahi hal berikut. Standar isi dibenahi dengan
tujuan menyiapkan pelajar menguasai kecakapan modern. Lembaga pendidikan guru
perlu menekankan penguasaan konsep dan teori belajar, bukan administrasi
mengajar.
Sistem UN Matematika perlu dirombak agar
mampu mengukur kecakapan bernalar tingkat tinggi. Misalnya, dengan menambahkan
daftar rumus yang dibutuhkan dan dilekatkan pada berkas ujian. Hal seperti ini
diterapkan pada berbagai tes profesional. Konsekuensinya, UN akan melibatkan
tuntutan yang lebih bermakna ketimbang sekadar ”tahu” atau ”ingat” rumus. Yang
juga sangat penting, berbagai pernyataan Kemdikbud harus mengirimkan pesan
pentingnya budaya bernalar dan belajar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar